PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Secara etimologis,
Sosiologi berasal dari kata latin, Socius yang berarti kawan dan kata Yunani
Logos yang berarti kata atau yang berbicara. Jadi Sosiologi adalah berbicara
mengenai masyarakat. Bagi Comte,
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umun yang merupakan hasil
akhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Sosiologi didasarkan
pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya.
Pitirim Sorokim mengatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum
dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).
Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang mengatakan
bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan
kelompok-kelompok.
Nah
berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial
yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah
memiliki unsur ilmu pengetahuan.
Dalam
ilmu Sosiologi dipelajari juga mengenai peran masyarakat terhadap hukum yang
hidup di dalamnya, sumber hukum materiel dan beberapa fungsi hukum dalam
masyrakat.
Dewasa ini, peranan hukum mempunyai kedudukan yang miris dan kurang berfungsi
adnya. Hal ini terbukti dengan sudah tidak banyak diindfhknny
perturan-peraturan hukum dalam masyarakat sendiri. Selain itu fungsi hukum
sebgai sutu kekuatan atau power juga sudah seberapa di gubris. Contohnya banyk
sekali aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mempermainkan kedudukan
hukum sehingga sudah tidak kuat lagi dan fungsi powernya sudah hilang.
Nah, oleh karena itu pada makalah ini, penulis akan mencoba menelisik kembali
tentang fungsi-fungsi dari pada hukum tersebut dalam masyarakat sendiri.
Sehingga diinginkan adanya suatu perubahan mendasar agar hukum di Indonesia
mampu berjalan maksimal sebagaimna fungsinya.
Pengembangan dan konsolidasi tatanan hukum nasioanal
mengalami perubahan. Hukum cenderung diterapkan meliputi bidang-bidang
kehidupan yang sangat luas, mencakup berbagai etnik, asal keturunan, dan
golongan, meliputi berbagai macam daerah yang mempunyai ciri fisik dan
kebudayaan masing-masng. Hukum perseorangan diganti dengan hukum teritorial,
hukum special diganti hukum umum, dan hukum kebiasaan diganti hukum tertulis.
Di dalam masyarakat bangsa Indonesia, politik hukum di
antaranya termaktub dalam GBHN dan menjadi salah satu sumber hukum dalam
tatanan hukum nasional. Politik hukum itu, antara lain berupa peningkatan
pembaharuan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu, penyusunan
peraturan perundang- undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk menunjang
pembangunan nasional sejalan dengan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang
berkembang di tengah masyarakat Upaya kearah kodifikasi dan unifikasi hukum di
Indonesia, terutama hukum keperdataan merupakan hal yang amat rumit.
Usaha di bidang Ini dihadapkan pada kemajemukan masyarakat
Indonesia yang memiliki keaneka ragaman agama dan etnik. Ia juga dihadapkan
pada perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupan yang dikehendaki dan
direncanakan secara nasional. Oleh karena itu, kodifikasi dan unifikasi hukum
dituntut untuk memperhatikan dan menampung keaneka ragaman budaya dan kesadaran
hukum masyarakat yang mengacu pada keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut.
Upaya dalam hal ini dilakukan dalam berbagai bidang, di antaranya: bidang hukum
ketata-negaraan, bidang hukum pidana dan perdata.
Menurut Bagir Manan, Program penyusunan kodifikasi hukum ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kodifikasi selamanya mengandng berbagai kelemahan bawaan. Di satu sisi ia membutuhkan waktu lama karena harus lengkap dan menyeluruh, namun di sisi yang lain, kebutuhan hukum tidak mungkin menunggu, akibatnya timbul terobosan yang sering bersifat fighting the problem bukan solving the problem.
Menurut Bagir Manan, Program penyusunan kodifikasi hukum ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kodifikasi selamanya mengandng berbagai kelemahan bawaan. Di satu sisi ia membutuhkan waktu lama karena harus lengkap dan menyeluruh, namun di sisi yang lain, kebutuhan hukum tidak mungkin menunggu, akibatnya timbul terobosan yang sering bersifat fighting the problem bukan solving the problem.
Dari asumsi diatas maka diperlukan terobosan-terobosan dalam
pembentukan Hukum yang dapat mengikuti dinamika kehidupan masyarakat yang terus
berubah dalam setiap tatanan hukum nasional sehingga harapan menjadikan hukum
sebagai regulasi dan rel dalam perjalanan kehidupan dapat secara dinamis dapat
mengikuti setiap perkembangan dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Berikut ini dalam makalah kami, akan dibahas tentang bagaimana Urgensi kajian sosiologis terhadap pembentukan hukum, dan Hukum dan Dinamika masyarakat.
Berikut ini dalam makalah kami, akan dibahas tentang bagaimana Urgensi kajian sosiologis terhadap pembentukan hukum, dan Hukum dan Dinamika masyarakat.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah Sebagai objek
pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah kami ini. Antara lain
sebagai barikut :
1. Dinamika Masyarakat dan kebudayaan.
2. Hukum dan Dinamika Masyarakat.
3. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
2) Untuk mengetahui hukum dan dinamika masyarakat.
Sedangkan kegunaan penulisan ini sebagai berikut :
2. Hukum dan Dinamika Masyarakat.
3. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
2) Untuk mengetahui hukum dan dinamika masyarakat.
Sedangkan kegunaan penulisan ini sebagai berikut :
1.
Memberi dorongan kepada mahasiswa untuk senantiasa
menambah wawasan dalam sosiologi hukum khusus pada masalah hukum dan dinamika
masyarakat.
2.
Dapat menjadi bahan pembelajaran dalam mata kuliah
Sosiologi Hukum.
3.
Dapat mengimplementasikan pembelajaran Sosiologi Hukum
dalam kehidupan sehari-hari.
Penulisan
makalah ini penulis batasi dalam hal:
1.
Apakah dalam masyarakat selalu ada hukum?
2.
Apakah sumber hukum itu terdapat dalam masyarakat?
3.
Bagaimana eksistensi fungsi hukum sebagai Law Is Tool Social Engineering
PEMBAHASAN
1.
Ada Masyarakat, Maka Hukum Juga
Ada
Manusia adalah makhluk yang mempunyai hasrat hidup bersama. Hidup bersama
yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 orang. Tidak ada manusia yang dapat
hidup sendiri, Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah zoon
politicon, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang selalu ingin
bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainya. Dan karena sifatnya itu
manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda.
Dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong
menolong dan saling menbantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau
kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai.
Tetapi kalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang menganggu keserasian.
Dan bila kepentingan tersebuit berbeda yang kuatlah yang akan berkuasa dan
menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.
Karena itu diperlukan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam
masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma
tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan
terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna
agar tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang
boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaiman cara berperilaku
dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan
adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap individu masyarakat
dapat hidup selaras.
Sehingga Tujuan hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
Seperti yang
manusia itu adalah makhluk yang bersifat sosial dan tinggal dalam kelompok
masyarakat. Dengan berbagai macam individu yang tingal dalam masyarakat,
diperlukan adanya aturan-aturan yang menjamin keseimbangan agar tidak terjadi
kekacauan dalam kehidupan masyarakat.
a. Sebagai
alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala
sesuatu dapat berjalan tertib dan teratur.
b. Sebagai
sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: hukum dapat memberi
keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar,
dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi
pelanggarnya.
c. Sebagai sarana penggerak
pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau
didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum adalah alat untuk membuat
masyarakat yang lebih baik.
d. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara
terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang
harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep
hukum konstitusi negara.
2. Sumber Hukum Itu Terdapat Dalam Masyarakat (Sumber Hukum Materiil)
Sumber hukum dalam arti material, yaitu: suatu keyakinan/
perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan
demikian keyakinan/ perasaan hukum individu (selaku anggota masyarakat) dan
juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan hukum. Kebiasaan
atau Hukum tak tertulis
Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan
oleh pemerintah,
tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku
sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yangberlaku dan sekaligus
menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harus
ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang
sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
b. Harus
ada keyakinan
hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam
arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh
kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/
ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
3.
Hukum Itu Salah Satu Fungsinya
Sebagai Law Is Tool Social Engineering
Sebuah perbincangan yang hingga kini tak juga kunjung putus
adalah soal fungsi hukum dalam masyarakat. Di satu pihak orang meyakini
kebenaran premis bahwa hukum itu tak lain hanyalah refleksi normatif saja dari
pola-pola perilaku yang telah terwujud sebagai realitas sosial. Sedangkan di
pihak lain orang masih banyak juga yang suka menteorikan bahwa hukum itu sesungguhnya
adalah suatu variabel bebas yang manakala dioperasionalkan sebagai kekuatan
yang bertujuan politik akan mampu mengubah tatanan struktural dalam masyarakat.
Pandangan yang disebutkan pertama adalah pandangan yang
melihat hukum sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat, dan karena itu hasil
penggambarannya secara konseptual akan melahirkan konsep hukum sebagai bagian
dari elemen kultur ideal. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang melihat
hukum benar-benar sebagai instrumen, dan karena itu hasil penggambarannya
secara konseptual akan banyak menghasilkan persepsi bahwa hukum adalah bagian
dari teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, hukum itu
adalah “tool of social engineering“.
Menurut Lawrence sebagaimana dikutip oleh Soetandyo,
menyatakan bahwa Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara
modern. Jeremy Bentham (dalam Soetandyo) bahkan sudah mengajukan gagasan
ini di tahun 1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe
Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin
sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan
perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya
sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa
dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll
tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan
a. Pembangunan
Hukum
Dewasa ini jumlah eksponen pendukung ide “law as a tool of
social engineering” kian bertambah. Perkembangan yang disebut Geertz
(dalam Soetandyo) sebagai perkembangan “from old society to new state”
memang telah menyuburkan tekad-tekad untuk menggerakkan segala bentuk kemandeg-an
dan untuk mengubah segala bentuk kebekuan, baik lewat cara-cara revolusioner
yang ekstra legal maupun lewat cara-cara yang bijak untuk menggunakan hukum
sebagai sarana perubahan sosial.
Menurut Soetandyo hal ini berimplikasi para banyaknya
praktisi yang berminat untuk memikirkan strategi-strategi perubahan yang paling
layak untuk ditempuh dan untuk merekayasa ius constituendum apa yang
sebaiknya segera dirancangkan dan diundangkan sebagai langkah implementasinya.
Sedangkan para teoritisnya banyak berminat untuk mendalami studi-studi tentang
keefektifan hukum guna menemukan determinan-determinan (paling) penting yang
perlu diketahui untuk mengfungsionalkan hukum sebagai sarana pembangunan.
Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua
arti.
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, definisi pembangunan hukum adalah “mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi
hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, definisi pembangunan hukum adalah “mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
b. Manifestasi
Rekayasa Sosial dalam Pembentukan Undang-Undang
Dalam salah satu artikelnya, Paramita menyatakan bahwa
perundang-undangan ialah suatu gejala yang relatif kompleks yang proses
pembentukannya melibatkan berbagai faktor kemasyarakatan lainnya. Pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam
arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks
kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah
hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan,
sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu pada
idea atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan
kepastian hukum. Membentuk undang-undang juga berarti menciptakan satu sumber
hukum yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait
dengan pelaksanaan undang-undang tersebut.
Berbeda dengan pandangan Paramita, mazhab fungsional atau
biasa disebut mazhab sosiologik hukum (sociology of law) melalui
tokohnya Roscoe Pound (dalam Satjipto) yang berpendapat bahwa hukum itu lebih
dari sekadar himpunan norma-norma yang abstrak atau ordo-hukum. Namun, hukum
merupakan satu proses untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang
berlawanan dan memberikan jaminan, kepastian kepuasan kepada keinginan golongan
terbanyak dengan gesekan yang sekecil mungkin. Analogi dari pemahaman hukum
yang demikian itulah yang oleh Pound disebutkan sebagai rekayasa sosial (social
engineering).
Perlu diperhatikan juga sebelumnya bahwa suatu peraturan atau
hukum baru dapat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat menurut teori Radbruch,
yaitu secara filosofis dapat menciptakan keadilan, secara sosiologis bermanfaat
dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian. Sedangkan menurut Pound suatu
undang-undang harus berfungsi sebagai “tool of social control “ dan “tool
of social engineering”.
Sejalan dengan Pound, Prof. Max Radin sebagaiama dikutip oleh
Mahendra, menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu
mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali bila
mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu
Maurice Duverger (dalam Mahendra) menyatakan: “hukum didefinisikan oleh
kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau
diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang
kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan
tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa.
Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil
keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara
tertib.
c. Kritik
terhadap pandangan “law as a tool of social engineering”
Walaupun para eksponen yang menyokong gagasan “law as a
tool of social engineering” kini tercatat cukup mendominasi percaturan dan
posisi kunci pembinaan hukum nasional, itu tidaklah berarti bahwa gagasan dan
langkah-langkah operasional mereka dapat berkembang dan berjalan dengan tanpa
kritik.
Kritik-kritik yang terlontar berdasarkan alasan ideologi dan
atau paradigma moral yang sifatnya mutlak dan memihak—dalam kerangka penetapan
kebijakan politik—memang sudah tak sekuat dulu lagi. Akan tetapi polemik dan
diskusi tentang kedudukan dan fungsi hukum dalam tata kehidupan masyarakat yang
makro ini bukannya telah tiada.
Menurut Soetandyo pembicaraan dan perbincangan tetap saja
ramai untuk mempersoalkan apakah hukum dalam kenyataanya in concreto
memang akan dapat merekayasa masyarakat dengan efektif manakala ia hanya terbit
sebagai manifestasi—meminjam adagium kaum positivitis—”the command of the
sovereign” (perintah yang berdaulat), dan tidak pernah mempertimbangkan dua
soal berikut ini: Pertama, apakah sesungguhnya nilai-nilai moral dan
kaidah-kaidah social yang dianut rakyat dalam kehidupan sehari-harinya; Kedua,
sejauh manakah rakyat awam itu bersedia berbagi kesetiaan dan ketaatan, tidak
hanya kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya sendiri yang informal tetapi juga
kepada “the command of the sovereign” yang bergaya formal itu.
Soetandyo menambahkan mereka yang berpendapat bahwa hukum
adalah sarana yang efektif untuk merekayasa masyarakat tentunya lebih condong
untuk bersikap antisipatif pada perubahan-perubahan yang selalu terjadi. Mereka
tanpa ayal akan bergerak merancang perubahan masa depan, dan akan menggunakan
hukum sebagai model gambaran hubungan-hubungan antar subjek di masa depan yang
harus direa lisasikan dengan tindakan-tindakan yang bersanksi. Maka di tangan
mereka hukum akan berfungsi sebagai sarana untuk mendinamisasi perubahan, dan
tidak (sekedar) sebagai sarana untuk mengontrol status-quo yang serba
statik di dalam struktur.
Para pengritik ide “law as a tool of social engineering”
umumnya menambahkan bahwa orang masih harus mempertanyakan, adakah cara yang
dapat dianjurkan untuk mengubah referensi normatif rakyat, dari kecondongannya
pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat yang parokial dan berwawasan ke
masa lampau ke nilai-nilai dan kaidah-kaidah baru yang nasional dan berwawasan
ke masa depan.
Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu
(harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai
dalil “law is a tool of social enginereeng“, bahwa menurut von Savigny
(dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan
rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum sesungguhnya selalu
berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat
dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah
bagaimana sesungguhnya “law is a tool of social engineering” harus kita
tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule
of law
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Yesmil, Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. 2008.
Bandung: PT Grasindo.
Malsem Van. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita.
1992. Jakarta: Gramedia.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. 1976. Bandung: Alumni.
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.