P E N D A H U L U A N
Dalam
era reformasi dan dan situasi krisis moneter yang sekarang ini terjadi membuat banyak perusahaan maupun bank-bank
menjadi tak berdaya. Bahkan banyak diantara
menjadi bangkrut sehingga timbul berbagai macam perkara.
Dengan
banyaknya perkara yang timbul akibat situasi tersebut disatu sisi memberikan
banyak pekerjaan bagi para ahli hukum, salah satunya yang bergerak sebagai
Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara yang tangguh
dalam bidang perdata diperlukan
pengalaman dan keahlian diantaranya adalah dalam membuat gugatan atau
menganalisa suatu gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu
Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila
cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah
jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu
bila tidak dapat memberikan analisa
hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau
Jawabannya tidak sempurna atau keliru maka hal ini tentunya merugikan kepentingan klien. Untuk itu diperlukan
pemantapan keahlian yang harus dimiliki
sebelum terjun di bidang litigasi di
Pengadilan.
Untuk
menanggulangi hal tersebut maka
diperlukan pendalaman pemahaman terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering
dijumpai dalam melakukan praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai
bagaimana bila akan beracara (perdata)
di Pengadilan baik itu dalam kaitan gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan
Niaga adalah sangat penting sekali. Pemahaman yang benar akan dapat memberikan
jalan keluar atau “problem solving” atas masalah yang diserahkan oleh klien
untuk dicarikan jalan keluarnya tersebut. Kadangkala Pengacara Litigasi dapat berperan sebagai
Kuasa Tergugat yang harus mampu mengaplikasikan
pengetahuan hukum perdatanya baik
dari aspek acaranya (formil) maupun dari aspek hukum perdata materiilnya. Hal ini sangat penting untuk
diperhatikan karena kesempurnaan dalam
membuat suatu Jawaban dapat
menggagalkan suatu guatan dari lawannya. Karenanya tidak ada salahnya kita
untuk mempelajari kembali masalah-masalah ini sebagai suatu “refreshing” semasa
kuliah dulu sekaligus untuk dapat dijadikan sebagai salah satu pegangan dalam
menerapkan ilmunya dalam praktek khususnya dalam Praktek Hukum Perdata.
Surat Kuasa (khusus)
Pendahuluan
Dalam
setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya
mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat
menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan
dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya
dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang
diberikan secara tertulis. Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang
dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang
dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan secara lisan namun dalam praktek hal tersebut
jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap
pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik
bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan
kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik
persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena
hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai
batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa
diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat
pelimpahannya dapat dilakukan secara umum dan dapat dibuat dalam pelimpahan
yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat dilakukan secara
dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu
adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini
dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik. Dengan
dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang
sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut,
terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui
pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka
pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim
pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara
tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa. Namun bila
pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat
dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima
kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan
dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi
karena sipemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu
masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya
tersebut.
Maka diharapkan dengan bentuk tertulis jelas
dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam
suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang
dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi
kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan
penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila hal ini terjadi maka pihak yang
dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara pribadi kepada penerima
kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan
tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat
kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan
surat kuasa khusus.
Dalam kaitan ini yang akan diuraikan adalah
mengenai surat kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan,
Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus) perlu dicermati dengan baik karena kesalahan
atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi
hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.
Kekeliruan
dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun
syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau
dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana
Penasehat Hukumnya begitu yakin akan
keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang
diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah
Agung ternyata hanya melulu membahas dan
lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut,
walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan
dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak dapat diterima karena tidak
dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan
perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan
Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei
1999) Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan
putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November
1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta
Pusat tanggal 31 Januari 19784 No.
516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam
putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan
bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama
Pengadilan Negri hukum mana gugatan harus diajukan.
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur
secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu
suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus)
sekurang-kurangnya harus memuat. Nama para pihak, subjek (identitas);
1.
Pokok
Sengketa atau obyek sengketa
2.
Nama
Pengadilan
3.
Apa
berlaku juga untuk banding/kasasi
Ad.1 Nama Para Pihak
Untuk
menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali,
karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu
surat kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan.
Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak
bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan
hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti
putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala
daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali
putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut
dibatalkan karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus
digugat. Padahal proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun,
maka hal ini sungguh ironis sekali.
Mengenai
tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan.
Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah
pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan
keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak
diterimanya suatu gugatan.
Agar
tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka
dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah
pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memberikan orang perorangan
(persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi
kuasa termasuk dalam pengertian cakap
hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang
ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan
berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari
semua ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.
b. Apakah
pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau
yang berbadan hukum ?
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi
kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang namun tidak berbadan hukum
seperti Persekutuan Perdata (matschaap),
Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai
pada praktek dokter bersama, law firm (kantor
hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma
maka yang berhak memberi kuasa adalah
mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut.
Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa
adalah sekutu komanditer.
Apabila pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum
maka harus dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan
sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata,
juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum
perdata. Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum
perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan
Perseroan maka pihak yang dapat memberi
kuasa masing-masing adalah
Kepala Jawatan untuk Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk
Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan. Sedangkan
untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan
Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan
anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah
melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat
berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak
dibidang Perbankan. Karenanya dalam
mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran
dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan
Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan
perundangan pasar modal, Perbankan. Seperti misalnya dalam perbankan maka bila
bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam
anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah
karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17
tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada
persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam perkara
permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan
ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam permohonan
pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya
kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan
kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan
Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei
1999) Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana
Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh
Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk
Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat
setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut
hanya dapat beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah
Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil
dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut
tidak merata, karena ada Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin
insidentiil tapi ada yang tidak dapat. Namun ijin praktek Pengacara sesuai
dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya dapat beracara di wilayah Pengadilan
Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya
diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah
Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi
setempat maka barulah ijin diberikan. Ijin ini berlaku di seluruh wilayah
Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar wilayah Pengadilan
Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum tersebut maka sesuai dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum tersebut hanya cukup memberitahukan
rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut
dengan beberapa tembusannya. Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu
orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya tercantum harus menandatangani
surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan
bila sebagai Penggugat atau membuat
Jawaban sebagai Terrgugat maka para
Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut Kadang-kadang
sering dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di
luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena
jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka
untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom penerima kuasa
harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul
tersebut maka bila ada salah satu atau lebih penerima kuasa tidak dapat
menandatangani baik itu gugatan atau Jawaban karena sedang berada di luar kota,
maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Ad.b. Obyek gugatan
Kemudian obyek dari gugatan juga harus
ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut misalnya apakah gugatan
itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera janji ataukah berkaitan dengan
perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya kasus
sungguh bervariasi misalnya ada perkara yang berkaitan dengan penyerobotan,
sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan dalam
persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari
dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan
melawan hukum. Suatu perkara dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi
bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan hukum
antara para pihak biasanya dibuat secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada
hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka
terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji.
Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada hubungan hukum seperti suatu
perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah
satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana
pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan hukum yang berlaku
maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.
Ad.c. Nama Pengadilan
Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak
apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini
sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula
juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di
pengadilan mana gugatan ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah
menentukan pengadilan akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang merupakan
eksepsi yang absolut atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan
eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di
pengadilan mana gugatan ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu
ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus
dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang
bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan
yang mengatur mengenai tempat penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta
Pusat maka walau para pihak tidak berada
diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di
Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang
bersengketa tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di
sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya adalah
menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para
Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana gugatan itu
diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian
bagi Penggugat berada bersama sama
dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak
langsung dianggap turut terlibat maka
harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya
eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan tentang eksepsi kurangnya para pihak
sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan
kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit investigasi untuk menentukan status
dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus
dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau
sebagai (Direksi) suatu badan hukum
tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat
maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau
berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka
alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu
ditulis semua agar gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan
banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan
tersebut.
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Dalam mencantumkan klausul hak
banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau
law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu
mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan
kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding
untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah
perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak
bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk
putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu
surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang lama
sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi.
Namun kadang-kadang ada hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat Pengadilan
Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada
bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau masih
ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan
dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa
aslinya bukan salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan tehnis
administrasi tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat suarat
kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih
mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak penerima kuasa
yang harus dicantumkan dalam setiap surat kuasa. Seperti hak untuk mengajukan
dan menerima Jawaban, Replik, Duplik, saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan
dan termasuk mendengarkan putusan. Kadangkala terjadi suatu debat seru antara
kuasa hukum dengan majelis hakim mengenai hak-hak tertentu yang tidak
dicantumkan terutama bila si kuasa hukum ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila
ada hak –hak tertentu tidak dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik
dsb maka Hakim akan menolak permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik
bila tidak dicantumkan hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa
subtitusi hanya dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada
sidang berikutnya kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena
tidak ada hak untuk tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut
menyangkut masalah gugatan perceraian .
Demikian
pula dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta
mencabut perkara dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi
perdamaian yang telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan
alasan dia tidak memberikan hak tersebut.
Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di
Pengadilan dan biasanya sekaligus
ingin membatalkan apa yang telah
disepakati dalam akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini
bila tidak dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara
begitu saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara
tersebut baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut.
Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita
sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau
yang dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa
Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat
dan mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak
mempunyai dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk
mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal
demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi
baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek
kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan
pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna
kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai
hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si
kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada
pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan
tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau
tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam
surat kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibuat dan
isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka
sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa
khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas
meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang
antara satu Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam
standarisasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa.
Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia
dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan
suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik
Indonesia paling tidak dalam surat kuasa
dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, serta
secara tegas dengan hak retensi dan
seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata
dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi,hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pembanding, mewakili, mengajukan dan
menanda-tangani banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan
Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan…………………………….selaku Terbanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi,
menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan
pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala
perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap
perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Terbanding, mewakili, mengajukan dan
menanda-tangani memori banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan
Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan……………………………………selaku Pembanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi,
membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu
yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan
putusan, mencabut perkara dari rol,
menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan
yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima
uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran
dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan
banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan
pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan
dan menanda-tangani memori kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan
Pengadilan Tinggi………………No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selaku
Pemohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka
Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang
berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading,
mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti,
mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang
lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan
hak retensi dan seterusnya menurut
hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Langkah-Langkah Dalam Pembuatan Gugatan
I.Pendahuluan
Seseorang atau badan hukum atau
kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat
melakukan gugatan kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak
mutlak harus ada perselisihan hukum.. Adapun
pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan
orang-orang ataupun suatu badan hukum.
Apabila
pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian datang
pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau
penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam
proses membuat gugatan.
Dalam
membuat gugatan tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para
pengacara. Kesalahan dalam membuat gugatan sehingga secara formil tidak
terpenuhi akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa
jadi masalah pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan
dalil-dalil yang berkaitan dengan eksepsi.
Namun
yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai
dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau
dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan menjadi ditolak.
Oleh
karena itu dalam membuat gugatan kita harus hati-hati dan cermat jangan sampai
kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah
perjalanan.
II.Tahap Persiapan
Dalam
membuat suatu gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena
kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang
mengakibatkan syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat
gugatan kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat
pembuatan Surat Kuasa Khusus maka dalam
membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Siapa
yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan hukum
ataukah pula sebagai keduanya ?
2.
Di-
pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu
perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian
terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada hubungan
hukum sebelumnya ?
3.
Bukti-bukti
apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian
ataukah hanya berupa foto copi saja?
4.
Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita
sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam
membuat suatau gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang
dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang
dimiliki oleh klien. Kadang –kadang bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak
relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita
harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data bukti diserahkan
seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan kita menentukan
langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah tersebut.Apabila data
bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah terkumpul maka adakalanya
diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang akan digugat. Apakah
pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan , kumpulan orang-orang atau
suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat digugat sebagai perorangan dan sekaligus
badan hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita klien kita.Kemudian juga perlu diteliti
alamat tempat tinggal terakhir perorangan yang akan digugat, domisli dari badan
hukum yang terakhir. Demikian pula bila yang digugat adalah bank cabang maka
terhadap bank cabang tersebut dapat digugat secara berdiri sendiri dan bukannya
kantor pusat bank tersebut yang digugat karena bank cabang.
Pada waktu melakukan investigasi tersebut juga
perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan
digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai
jaminan atas gugatan klien kita harus jelas diketahui batas-batasnya juga
data-data pendukungnya.
Kalau
perlu diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan sengketa yang merugikan klien kita kemudian
dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah
data-data bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam
pembuatan suatu gugatan maka langkah pertama adalah membuat surat kuasa lebih
dulu sebagaimana yang telah pernah diuraikan.
III. Menentukan siapa yang
menjadi Penggugat
Untuk dapat menntukan siapa yang akan
menjadi Penggugat atau yang berhak secara hukum memberikan kuasa kepada kita
maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila klien kita yang dirugikan berupa
perorangan maka yang perlu diteliti adalah apakah dia mempunyai hubungan hukum
dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana
pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian
pula bila klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma,
matschaap atau namloze vennoschap (cv) maka yang dapat bertindak sebagai
penggugat sekaligus pemberi kuasa adalah para sekutu yang sah sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa badan hukum maka
kita harus lebih cermat untuk menentukan siapa yang dapat mewakili dari badan hukum itu.
Tapi
secara umum yang dapat memberikan kuasa atau mewakili sebagai penggugat adalah
Direksi yang memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran
dasarnya. Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang
mewakili sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat
pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang
dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti
adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.
IV. Menentukan siapa yang
menjadi Tergugat
Sebagaimana dalam pembuatan Surat
kuasa Khusus maka dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Apakah ada pihak yang dianggap telah melakukan
tindakan yang merugikan hak keperdataan klien kita dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum ?
2.
Apakah
diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai
hubungan hukum ?
3.
Bila
mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada
ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4.
Perlunya
informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data
sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam
hubungan dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang
dianggap pihak lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa
melakukannya.
Secara
hukum apabila ada perbuatan yang dilakukan yang menurut pandangan satu pihak
wajar dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap
sebagai suatu tindakan kelalaian yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366
KUHPerdata dapat dituntut secara hukum penggantian kerugiannya.
Kemudian
pihak yang dianggap merugikan secara langsung tersebut dimasukan sebagai
Tergugat utama baru ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung
dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan adalah
dal;am penyusunan gugatan terhadap perkara yang demikian penyusunan para tergugat tersebut harus
memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR. Ketentuan ini
harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi
relatif.
Namun apabila diantara para pihak
kemudian ternyata ada hubungan hukum sbelumnya dimana hubungan hukum itu
berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah
sepakat mengenai pengadilan atau badan tertentu sebagai penyelesaian bila
terjadi perselisihan hukum maka
pengajuan gugatan dilakukan ditempat yang yang telah disepakati
tersebut.
Sedangkan
para pihak yang akan digugat adalah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian
yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan
digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu
mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta
kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan.
Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga
tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat
biaya sita menjadi membengkak karena adanya duakali atau lebih permohonan sita.
Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut
seperti batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa,
sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula,
dan kadang-kadang gugatan bisa menjadi batal. Detail yang lengkap ini diperlukan agar pada
waktu pendaftaran sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan
sita jaminan yang sah dan berharga. Kadangkala bila tanahnya belum
bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita acaranya
diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual
beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi
tidak bersedia melakukan pembuatan akte jual beli tersebut.
V. Persona Standi in Judicio
Setelah menentukan siapa Penggugat dan
siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana
gugatan itu akan diajukan maka hal itu merupakan bagian dari persona standi
dari gugatan ini.
Untuk
lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat
dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang
dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak sama maka dapat membuat pihak Tergugat
kemungkinan untuk mengajukan eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam
menuliskan data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik
data-data seperti nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas sebagai Tergugat harus jelas benar. Apakah
Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu badan
hukum. Atau dapat pula digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan badan
hukumnya sekaligus.
VI. Posita Gugatan
Dalam penyusunan posita dalam praktek
dapat diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model
pertama, bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah
lengkap, dan hubungan hukum dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada
bagian posita gugatan akan disusun sedemikian rupa dari masalah yang luas menjadi menyempit
seperti kerucut. Sehingga setiap orang akan mudah memahami bila gugatan
tersebut adalah merupakan gugatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum.
Disamping itu runtutan peristiwa hukum telah disusun dengan baik. Penyusunan model demikian akan nampak jelas
mudah dipahami karena peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits) yang merupakan
dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari
peristiwa-peristiwa hukum yang disusun jelas nampak kapan tergugat wan prestasi
atau kapan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan
cara ini akan lebih sempurna bila gugatannya dibuat dengan memperhatikan syarat
formil dan materiil suatu gugatan.
Model
kedua, dalam penyusunan gugatan maka peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang
diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian
bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan dapat tahap
berikutnya setelah ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian
dipakai bila kuasa hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang
dimiliki kliennya. Namun bisa juga karena ada hubungan hukum tertentu dari
peristiwa hukum yang diajukan masih samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada
tahap Replik baru sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya
dipakai juga bila kliennya hanya memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian
lain ada di tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian
bukti saja sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya
berada di tangan tergugat atau pihak lain.
Model
ketiga, bila klienya hanya memiliki sebagian kecil bukti saja maka penyusunan
positanya biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing.
Namun karena disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan
terpancing dan memberikan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi
dalam Dupliknya . Kadangkala ada juga pengacara yang begitu mudah terpancing
sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang
berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun
sering pula dalam praktek kuasa hukum lawan tidak mau terpancing, terutama
pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian dia akan menyatakan akan
menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan
buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya pasti akan menyatakan bukti asli tidak ada pada
kliennya. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka
setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai
dalam pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag).
Permohonan sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan tersebut tidak menjadi
sia-sia belaka harus diajukan bersama-sama dalam gugatan. Kadang-kadang walau telah diajukan dalam
posita gugatan juga diajukan lagi dalam
permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat
berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari
tanggung jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat diajukan
pada saat berkas masih berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas
belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan pada saat
di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui
proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan pula
alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai
dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan gantirugi
atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini
disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
VII. Petitum Gugatan
Apabila kita membuat petitum dalam
suatau gugatan maka dalil-dalil yang
akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita,
baru dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah
diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu
tak dapat dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya.
Dapat pula dimasukkan
permohonan subsidair atau ex aquo et bono
Untuk lebih jelasnnya
dapat dilihat pada contoh-contoh model
terlampir.
1.
PT. Berkatama Raya
Finance, beralamat
di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160
dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut “Tergugat I”.
2.
Saderah
Susantadiredja,
berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama
No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat
11440, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat
II”.
Adapun
alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa Tergugat II , semula adalah Direktur
Utama dari Tergugat I, yang bergerak di
bidang pembiayaan yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa pemberian
kredit dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank
dalam keadaan baru atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya
dengan cara pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan
debitur kepada Supplier (factoring) yang dibuat berdasarkan kontrak atau
perjanjian lainnya.
2. Bahwa Tergugat II dalam mengajukan
permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk
meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan usaha Tergugat
tersebut yaitu memberikan fasilitas kredit berupa pinjaman uang kepada
debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang
disetujui.
3.
Bahwa Tergugat I melalui Tergugat II dalam
beberapa kali presentasi begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai
Direksi Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin
usaha tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].
4.
Bahwa karena prospek usaha PT. Berkatama Raya
Finance nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di
atas, maka Penggugat dan Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II sepakat
mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No.
316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) tanggal 13
Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing,
SH., dibawah No. 5726/MONO (“Perjanjian
Kredit”)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie)
Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H.
Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].
5.
Bahwa semenjak Perjanjian Kredit
ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik dan
bahkan usaha Tergugat I menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah
nasabahnya, oleh karena itu maka Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi.
Bahwa
karena hal tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat
mengucurkan dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :
5.1 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (“Perubahan I”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.
000.000.000,- (lima milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar Rupiah); [vide P.4]
5.2 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (“Perubahan II”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas
milyar Rupiah);[videP.5]
5.3 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (“Perubahan III”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh
belas milyar Rupiah).[vide P.6]
6.
Bahwa sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir 7.7 telah disepakati sebagai
berikut :
“Debitur tidak diperkenankan, tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur
permodalan atau dengan cara bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan agar akta
pendirian atau anggran dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya
yang diambil daari laba yang ditahan atau penempatan modal baru oleh pemegang
saham, (ii) mengijinkan, mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii)
mengubah atau mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris
atau staff
inti, akan tetapi jika perubahan atau
penggantian tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau
meninggal dunia, hal mana tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini
jika kekososngan tersebut diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
terjadinya kekososngan tersebut dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali
untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas;
7.
Bahwa Para Tergugat kemudian secara
diam-diam merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat
pada tanggal 15 Juli 1998; tindakan
Para Tergugat ini jelas bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].
8.
Bahwa karena Perjanjian Kredit tersebut telah
disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai
pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh
kedua pihak. Oleh karena itu tindakan
perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat adalah
batal demi hukum.
9.
Bahwa kemudian diketahui setelah pengalihan
Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar Tergugat II tidak bertanggung jawab
lagi akan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan
Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide
P.2 s/d P.6]) dengan Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan usaha
Tergugat II dengan itikad buruk untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada
pihak lain.
10.
Bahwa ternyata setelah dilakukan pemeriksaan
keuangan oleh Penggugat ternyata dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan
tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi oleh Tergugat II yang pada waktu itu berkapasitas sebagai
Direktur Utama dari Tergugat I, karena nampak berusaha untuk mengalihkan
tanggung jawabnya pada pihak lain.
11.
Bahwa setelah Penggugat berkali-kali
menghubungi Para Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian
kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat I dan
Tergugat II untuk menyelesaikannya.
12.
Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus
1998 mendapat surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan
yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat II adalah penanggung jawab dalam
Perusahaan [vide P.7].
13.
Bahwa wajar bila Penggugat dalam hal ini
hanya menuntut tanggung jawab Tergugat II karena dalam penandatanganan
Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian
Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide
P.2 s/d P.6]) dilakukan oleh Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang
dari tanggal 13 Desember 1996 sampai dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam
tanggung jawab Tergugat II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang
saham lain akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.
14.
Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan
Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada
dalam tanggung jawab Tergugat II dan telah terbukti bahwa Tergugat II telah
lalai dalam menjalankan kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Tergugat II dapat dituntut untuk
bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15.
Bahwa kerugian akibat kredit macet yang
diderita Penggugat per tanggal
16.
Bahwa karena adanya jaminan pribadi dari
Tergugat II [vide P.1] dan dengan
adanya surat dari pemegang saham lainnya [vide
P.7] dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu
berada ditangan Tergugat II, maka secara hukum baik Tergugat I mauapun Tergugat
II bertanggung jawab secara tanggung renteng.
17.
Bahwa untuk menjamin agar gugatan ini tidak
sia-sia dan guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada
pihak lain, maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:
17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik
Tergugat I);
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan,
Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama
Tergugat II;
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440
yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.
18.
Bahwa karena gugatan ini didudkung oleh
bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat
dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij
voorraad).
19.
Bahwa wajar pula bila Penggugat membebankan
adanya uang paksa / dwangsom yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam
melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu
sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) per hari.
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan
hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan
sebagai berikut :
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat seluruhnya;
2.
Menyatakan
Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3.
Menyatakan
secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung
jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan
perjanjian yang terkait [vide P.2–P.6])
yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;
4.
Menghukum
Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp. _________ kepada Penggugat
secara tunai;
5.
Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6.
Menyatakan
putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, damupun
verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7.
Menghukum
Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta
Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak
tanggal putusan ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8.
Biaya
perkara menurut hukum
Atau
bila Pengadilan berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Langkah-Langkah
Dalam Membuat Jawaban
Pendahuluan
Apabila kita berperan sebagai kuasa
hukum dari klien kita yang digugat seseorang maka diperlukan data-data
pendukung untuk memberikan suatu tanggapan hukum. Tanggapan hukum tersebut
sering dinamakan Jawaban. Jawaban ini merupakan suatu langkah yang penting dan
sangat menentukan dalam memenagkan suatu kasus. Kadangkala bila Jawaban kita
terutama bila eksepsi yang diajukan diterima oleh Majelis Hakim yang kemudian
ditungkan dalam pertimbangan hukum dalam putusannya maka dapat dipastikan
gugatan lawan kita dinyatakan tak dapat diterima (niet onvankelijk).
Namun dapat pula
terjadi dalil-dalil yang dibuat dalam gugatan dapat dipatahkan dalam Jawaban
sehingga dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan secara sempurna. Bila
terjadi demikian maka dapat dipastikan gugatan yang diajukan dinyatakan
ditolak. Oleh karena itu perlu sekali kita mendalami agar dalam membuat Jawaban
benar-benar dapat dilakukan sesuai dengan faktanya dengan didukung bukti-bukti
akan membantu kita dalam membuat suatu Jawaban atas gugatan yang diajukan
seseorang atau badan hukum tertentu.
A.
Tahap
Persiapan
Dalam membuat suatu Jawaban diperlukan persiapan dan penguasaan materi
pokok perkara dalam suatu sengketa keperdataan.
Disamping
memerlukan data-data pendukung berupa bukti-bukti yang dimiliki oleh klien juga
diperlukan kronologis kejadian perkara yang sebenarnya.
Mungkin
data-data yang diberikan masih kurang dan baru kita minta pada klien setelah
membaca kronologis perkaranya baik yang disampaikan secara tertulis maupun
secara lisan. Biasanya baru akan dibuat Jawaban bila kita telah hadir pada
sidang pertama dengan menyerahkan Surat kuasa Khusus yang menunjukkan kewenangan kita sehingga dapat
bertindak untuk dan atas nama klien kita selaku Tergugat. Dalam persidangan
dapat juga kita minta pada Majelis Hakim Surat Kuasa lawan dimuka persidangan
untuk dicocokan dengan gugatan yang kita terima.
Namun
dalam perkara tertentu bisa saja terjadi pada saat sidang pertama setelah Hakim
menyampaikan usulan perdamaian kepada para pihak ternyata ada pihak yang
langsung menyerahkan Jawaban. Hal ini terjadi bila memang diketahui dengan
pasti gugatan yang diajukan pihak lawan ternyata tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan.
Bila
hal ini terjadi maka penggugat tidak dapat merubah gugatannya tanpa persetujuan
tergugat.
B.
Tahap
Pembuatan
Dalam membuat jawaban
maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah gugatan penggugat telah
memenuhi syarat formal suatu gugatan. Dalam praktek sering terjadi suatu gugatan
disusun secara tergesa-gesa atau mungkin dengan data yang tidak lengkap atau
dapat juga karena ada kekeliruan dalam melakukan upaya hukum. Perbaikan gugatan
masih dapat dimungkinkan sepanjang dalam persidangan (pertama) tidak diajukan
jawaban terlebih dulu oleh tergugat. Bila telah diaajukan jawaban maka
perubahan gugatan diperbolehkan asal tidak ada keberatan dari tergugat, hal ini
mustahil terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas,
maka dalam membuat suatu Jawaban harus memperhatikan :
1.
Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat
sama dengan gugatannya?
2.
Apakah memang benar penggugat dalam
menentukan kompetensi pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
3.
Apakah diantara para pihak ada hubungan hukum sebelumnya
dalam bentuk suatu perjanjian ?
4.
Apakah ada konsistensi antara persona standi,
posita maupun petitum gugatan penggugat ?
5.
Apakah ada konsistensi tuntutan dalam posita
dengan petitum gugatan ?
Ad.1. Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat sama
dengan gugatannya ?
Dalam membuat gugatan
kadangkala para pihak dalam gugatan dengan surat kuasa khusus yang menjadi
dasar kewenangan kuasa hukum penggugat tidak sama. Pada gugatan tertulis ada
tiga tergugat tapi dalam surat kuasa hanya dua tergugat. Bila terjadi demikian dapat diajukan eksepsi atas hal tersebut.
Demikian pula sebaliknya bila ada ketidaaksamaan jumlah pihak yang digugat bila
anatara surat kuasa dengan persona standi gugatan tidak sama. Disamping itu
juga bila dalam persona standi surat kuasa seperti nama, pekerjaan, alamat bila
tergugat merupakan perorangan/pribadi tidak sama dengan persona standi dalam
gugatan. Sedangkan bila merupakan suatu badan hukum yang digugat ternyata
tertulis langsung atas nama direkturnya misal Drs. Amin Singgih SE, pekerjaan
Direktur yang bertindak untuk dan atas nama PT.X, alamat Jl. Situbaru…dstnya .
Maka penulisan yang demikian bisa juga dijadikan eksepsi, karena suatu
perseroan terbatas tiap bulan atau dua
bulan direksinya dapat berganti terus silih berganti, tanpa mudah untuk diketahui secara umum.
Ad.b. Apakah memang benar penggugat dalam
menentukan kompetensi
pengadilan dengan para pihak yang
digugat ?
Apabila penggugat
dalam gugatannya ternyata ada beberapa
tergugat, namun dalam gugatannya ternyata tidak dapat membedakan mana yang
tergugat utama dan mana yang menjadi
turut tergugat, maka dalam hal ini dapat juga diajukan suatu eksepsi
kompetensi. Demikian pula jika penggugat
dalam gugatannya ternyata ada banyak tergugat tapi gugatannya diajukan di
Pengadilan Negri dimana letak tanah yang akan digugat juga ada salah satu dari
tergugat tapi bukan tergugat utama. Terhadap gugatan demikian dapat pula
diajukan ekssepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Ad.c Apakah diantara
para pihak ada hubungan hukum sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
Bila
penggugat dalam menentukan pihak
yang digugat ternyata melupakan
adanya perjanjian diantara para pihak dimana dalam perjanjian itu jelas dan
tegas ternayat para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul di lembaga tertentu misal Arbiter ad hock dan bila tak selesai baru ke BANI . Bila
memang telah disepakati demikian maka penggugat tak dapat langsung mengajukan
gugatan ke BANI melainkan harus menunjuk arbiter ad hock terlebih dulu untuk
menyelesaikan permasalahan mereka; kemudian bila tidak selesai dalam jangka
waktu yang telah disepakati baru dapat diajukan ke BANI. Demikian pula bila
telah disepakati dalam perjanjain tersebut penyelesaian masalah akan diputus dan tunduk pada ketentuan BANI,
maka tidak dapat dalam gugatannya langsung dilakukan di Pengadilan Negri tanpa
melalui BANI terlebih dahulu. Bila dalam gugatan terjadi seperti diatas maka
terhadap gugatan tersebut dapat diajukan eksepsi yang berkaitan dengan
kompetensi absolut.
Ad. Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita
maupun petitum gugatan penggugat ?
Apabila
ada gugatan yang ternyata tidak konsisten antara persona standi dengan posita
maupun petitum dapat juga dijadikan eksepsi atau bahan pertimbangan hukum yang
dimasukkan dalam jawaban yang akan melemahkan dalil-dalil dalam gugatan
penggugat. Misalnya dalam persona standi para tergugat tidak dijelaskan kaitan
dalam hubungan hukum sehingga terjadinya gugatan ini kemudian muncul dalam petitum yang menyatakan
para tergugat harus secara tanggung renteng menanggung kerugian penggugat maka
hal in dapat pula dijadikan dasar untuk mengajukan eksepsi maupun sanggahan
atas dalil-dalil dalam gugatan. Contoh lain misalnya dalam posita gugatan
diuraikan peristiwa-peristiwa hukum yang
secara keseluruhan merupakan suatu gugatan cidera janji ternyata dalam
petitumnya para tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Hal ini merupakan suatu kontradiksi yang kadang-kadang dalam kasus tertentu
dapat membuat gugatan kandas ditengah jalan. Bila dalam petitum gugatan
kemudian muncul begitu saja permohonan serta merta (uit voerbaar bij voorraad),
sita jaminan, dwangsom tanpa diuraikan dasar pertimbangan hukumnya dalam posita
maka ini juga dapat dijadikan dasar untuk melemahkan gugatan.
Demikian pula bila
dalam petitum gugatan ternyata para
tergugat dinyatakan telah melakukan cidera janji juga dinyatakan telah
melakukan perbuatan melawan hukum, maka dalam praktek juga dijadikan bahan
pertimbangan untuk melemahkan gugatan.
Dalam gugatan kadangkala
tidak diteliti lebih lanjut dalam perjanjiannya sehingga dibuat gugatan tanpa mempertimbangkan masalah
waktu tersebut juga dapat dijadikan pertimbangan yang melemahkan gugatan;
bentuknya dapat berupa eksepsi atau sanggahan dalil dalam pokok perkara.
Seringpula terjadi seharusnya upaya yang dilakukan adalah bantahan tapi justru
diajukan dalam gugatan ini juga sebagai pertimbangan dalam Jawaban.
C.
Tahap
Membuat Jawaban
Setelah
mempersiapkan semua itu dan setelah mempelajari dari bahan-bahan untuk membuat
jawaban, maka diperlukan suatu kecermatan dan naluriah untuk dapat menemukan
kelemahan-kelemahan gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu
jawaban.
Jawaban
dibuat dengan dua bagian yaitu bagian eksepsi dan bagian pokok perkara. Pada bagian
eksepsi seperti kita ketahui dapat merupakan eksepsi yang absolut atau relatif.
Bila ada eksepsi yang merupakan eksepsi absolut kemudian dalam persidangan
biasanya diminta Hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dasar-dasar hukumnya, maka
bila terbukti akan dibuat suatu putusan sela yang menyatakan Pengadilan tidak
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Bila tak terbukti
pemeriksaan akan dilanjutkan sesuai dengan tahapan prosedur yang berlaku.
Dalam bagian eksepsi juga dapat dimasukkan
bermacan eksepsi seperti dilatoir eksepsi, obscuur libel, ne bis in idem,
kurangnya para pihak, kadaluarsa dan macam-macam eksepsi lainnya.
Eksepsi–eksepsi yang dikemukakan diatas merupakan eksepsi yang termasuk dalam
pokok perkara sehingga putusan atas eksepsi tersebut dilakukan bersama-sama
dengan putusan akhir dengan telah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak. Setelah bermacam eksepsi diajukan dalam jawaban maka dalam
pokok perkara ada beberapa klausul yang
setidaknya harus dicantumkan dalam pokok perkara tersebut diantaranya
-
Menyatakan agar hal-hal yang telah diuraikan pada bagian eksepsi
merupakan bagian dalam pokok perkara yang
tidak terpisah; maksud klausul tersebut adalah karena kebanyakan eksepsi yang
diajukan merupakan bagian dari pokok perkara sehingga harus diperiksa
bersama-sama dengan pokok perkara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan para pihak.
- Klausul kedua adalah merupakan penolakan atas
seluruh dalil-dalil
penggugat kecuali yang secara tegas dan
nyata diakui oleh tergugat.
- Dalil berikutnya adalah merupakan dalil-dalil
yang membenarkan dalil
penggugat
bila memang benar; atau membantah kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh
penggugat dalam gugatannya satu demi satu tanpa ada yang terlewatkan; karena
bila ada yang tidak dibantah hal tersebut dianggap oleh penggugat mengakui
secara tidak langsung dalil-dalil yang dikemukakannya; dalam bantahan dalil
tersebut harus dikemukakan dasar hukumnya, bila perlu pendapat doktrin maupun
yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dibantah atau yang didalilkan
itu.
-
Kemudian pada bagian petitum jawaban diajukan permohonan yang
disesuaikan dengan masalahnya baik itu
pada apa yang diminta bagian
eksepsi maupun bagian pokok
perkaranya;
Pada bagian petitum jawaban bila ada eksepsi
yang diajukan dimana eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang termasuk dalam
pokok perkara maka ada pergeseran bentuk.Bila dalam jawaban ternyata mempunyai
kesempatan untuk mengajukan gugatan rekopensi sebagaimana yang diatur dalam
pasal 132a HIR. Sedangkan cara membuat gugatan rekovensi hampir sama dengan
ketentuan membuat gugatan.Namun yang harus dicermati adalah posisi/kwalitas
dari subjek hukum menjadi berbeda secara terbalik dimana semula sebagai
tergugat dalam konvensi kemudian menjadai penggugat dalam rekovensi.
Bentuk petitum jawaban tidak sama modelnya
dengan petitum gugatanm namun bula ada rekovensi maka petitumnya menjadi
berbeda .untuk lebih jelasnya lihat
contoh atau model.
Dalam Replik biasanya
akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas
sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam
jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan
dalilPenggugat dalam gugatannya maka pada tahap replik penggugat akan berusaha
memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat
doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan erat dengan dalil yang telah dibantah
tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil
tersebut juga ditambahakan bukti baru yang menambah kejelasan akan dalil yang
telah dikemukakan dalam gugatan semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil
baru yang belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil baru tersebut biasanya
merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin
memperkuat dalil-dalil gugatan secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan
dalam gugatan semula. Dengan demikian dapat dikatakan dalil-dalail yang
dikemukakan penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah
dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan
memperkokoh dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada
eksepsi yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada
repliknya harus memberikan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi
dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut.
Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus
benar benar mempunyai dasar hukum yang kuat, karena bila tidak kuat bila dalil
eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang
absolut maupun yang relatif akan membuat majelis yang memeriksa perkara
tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk memeriksa tersebut dalam suatu putusan sela. Bila
eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara
seperti eksepsi ne bis in idem maka
dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya
melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta
yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne
bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat
dalam repliknya harus memberikan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah
membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada bagian pokok perkara dalam
replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama adalah
menyatakan bila pada bagian eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan atas dalil
eksepsi tergugat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya
tersebut. Hal ini penting dinyatakan karena hampir sebagian besar eksepsi
merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga harus diperiksa
dan diputus bersama-sama dalam pokok
perkara pada putusan akhir.
Kedua, klausul yang
berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil yang
dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan diakui bila
ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat
harus menetukan sikap dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil
yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam
repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut
mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan
penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat
mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk
yang tidak sama dengan petitum dalam gugatan dan petitum dalam jawaban sepanjang mengenai eksepsinya.
Duplik
Duplik
merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat
diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat
dalam jawaban.
Bila
dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh
penggugat dalam repliknya, maka tergugat
dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang pada dasarnya semakin
memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut dapat merupakan pendapat doktrin
atau yurisprudensi yang berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil
tersebut.
Bila
perlu dalil tersebut sekaligus juga harus dapat mematahkan atau setidaknya
melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya.
Kemudian
dalam pokok perkara sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat.
Pertama, berisi pernyataan agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian
eksepsi dianggap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya.
Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara
keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian
dalil-dalil pada replik harus satu demi
satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Sedang
bentuk petitumnya memakai model yang sama dengan replik namun isinya tentunya
harus bertentangan dengan apa yang dikemukakan pada replik tersebut.
TEORI
1. Teori
yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang
didasarkan pada pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak
Subyektif harus membuktikan tiadanya hak subyektif tersebut.
2. Teori
yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang
didasarkan pada hukum objektif/ UU
3. Teori
yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat
dan Tergugat sama (Equality before the law)
4. Teori
HUKUM ACARA
Asas “ Audi et
Alteram Partem”
5. Teori
yang bersifat hukum PUBLIK
BUKTI TULISAN
PASAL 1867 KUHPerdata;
Pembuktian
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan
tulisan-tulisan dibawah tangan.
PASAL 1868 KUHPerdata;
Suatu
akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuat.
PASAL 1874 KUHPerdata;
Sebagai
tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah
tangan, surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain
tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum ..........
Kekuatan
Pembuktian akta :
1.
Akta otentik, Pembuktian sempurna (Ps. 1870
KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2.
Akta dibawah tangan,
-
Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian sempurna.
-
Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa
dipersidangan oleh hakim
PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI
1.
DASAR
HUKUM
Pasal
139 s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178 HIR,
Pasal
165 s.d. 179 RBg.
Pasal
1895, Pasal 1902 s.d. 1912 KUHPerdata.
2.
PENGERTIAN
Kesaksian
adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan
tentang peristiwa atau kejadian itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat
atau dugaan yang diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.
3. LARANGAN SEBAGAI SAKSI
Ø Keluarga
sedarah atau semenda menurut keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145
ayat (1) HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg.,
Pasal 1910 ayat (1) KUHPerd.)
Ø Suami
atau isteri salah satu pihak, walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3,
4 HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3 RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian
:
- Kedudukan keperdataan salah satu
pihak,
- Mengenai nafkah yang
belum dibayar menurut Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan
kekuasaan orang
tua/
wali;
- Perkara persetujuan perburuhan.
PERSANGKAAN
1.
DASAR
HUKUM
-
Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
-
Ps. 173 HIR
2. PENGERTIAN
Persangkaan
ialah kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang terkenal ke arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis : (Ps. 1915 KUHPerd.)
- Persangkaan
yang ditetapkan oleh Undang-undang (Wettelijk vermoden)
- Persangkaan
yang ditetapkan oleh hakim (Rechtelijk vermoden)
PENGAKUAN
1.
DASAR
HUKUM
-
Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
-
Pasal 174 HIR
-
Pasal 312 RBg.
2.
PENGERTIAN
Pengakuan
adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa,
tentang apa yang dikemukakan oleh lawannya.
3.
MACAM
; (Ps. 1923 KUHPerd.)
Ø Menurut Undang-undang
a. Di
muka hakim
- Merupakan
bukti sempurna (Ps. 1925 KUHPerd.)
- Tak
dapat ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b. Di
luar sidang
- Diikuti saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø Menurut Ilmu Pengetahuan
- Pengakuan
murni,
- Pengakuan
dengan Klausula
- Pengakuan
dengan Kwalifikasi
SUMPAH
1.
DASAR
HUKUM
- Pasal
155 s.d. 158 HIR,
- Pasal
17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
- Pasal
1929 s.d. 1945 KUHPerd.
2.
PENGERTIAN
Sumpah adalah
pernyataan khidmat yang dilakukan oleh salah stu pihak yang berkaitan dengan
agamanya.
3.MACAM
Sumpah Pemutus (decissoir)
Sumpah Tambahan (supletoir)
Penerapan Pembuktian
Pembuktian dilakukan
setelah para pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai
dilakukan. Kesempatan pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih
dulu.Dalam praktek kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m baru
kemudian tergugat. Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada
penggugat baru tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat
setelah itu baru tergugat. Kalau diperlukan baik atas usulan salah satu pihak
atau atas pertimbangan majelis hakim dapat juga dihadirkan saksi ahli.Dalam
kasus tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi kejadian terjadinya
obyek perkara.
Contoh akta pembuktian /daftar bukti
PUTUSAN
PENGERTIAN
Di bawah ini merupakan pengertian
putusan hakim atau pengadilan menurut:
1. Rubini,
S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan
suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut
vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim
serta memuat akibat-akibatnya. Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang
Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan
kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di
persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
gugatan.
2. Ridwan
Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan
dan mengakhiri perkara perdata.
3. Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962
menginstuksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut
diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan
persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus
dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak
dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk
penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan hakim
harus dituangkan secara tertulis dan
ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut.
Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka
putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut
memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan
maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan
hakim harus berisi :
a.
Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari
isi gugatan dan jawaban.
b.
Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari
putusan hakim.
c.
Keputusan hakim tentang pokok perkara dan
tentang ongkos perkara.
d.
Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara
hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e.
Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu
undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan
hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23
UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
BAGIAN PUTUSAN
Suatu
putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1) Kepala
Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai
kepala putusan yang berbunyi : “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No.
14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan
eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut
maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2) Identitas
pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas para
pihak yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan
dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada
orang lain.
3) Pertimbangan
(alasan-alasan)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu
putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk
perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan
pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan
pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16
Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup
pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi
yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372
k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang
didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah
dibatalkan.
4) Amar
(dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968,
menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam
kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus
dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21
Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).
PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan
dapat di golongkan menjadi :
1.
Putusan
Sela (Tussenvonnis)
Merupakan
putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan
atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan
dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap
salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya
dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa
macam putusan sela yaitu :
a.
Putusan Preparatoir.
Adalah
putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses
persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b.
Putusan Interlocutoir.
Adalah
putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi
putusan akhir.
c.
Putusan Incidentieel
Adalah
putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara,
masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d.
Putusan Provisionieel
Adalah
putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara
supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
2.
Putusan
Akhir (eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri perkara
perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan akhir menurut sifat amarnya
(dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a.
Putusan Declaratoir
Adalah
putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut
hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum
semata-mata.
b.
Putusan Constitutief
Adalah
putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut
dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum yang baru.
c.
Putusan Condemnatoir
Adalah
putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi.
Dalam
praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat
putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan
condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan
sebagainya.
PUTUSAN PERDAMAIAN
Merupakan putusan
yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak yang berperkara untuk
melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya telah disetujui oleh
para pihak.
Berdasarkan pasal 130
ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973
putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
PUTUSAN GUGUR
Putusan gugur
dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat tidak hadir pada
hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh wakilnya
untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan patut (Pasal 124
HIR).
Tentang pemanggilan
yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122, 388-390 HIR. Agar tidak
terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka hakim harus terlebih
dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan para pihak terutama
pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang dilakukan oleh juru
sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah dan patut maka hakim
harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan pemanggilan kembali.
Dalam menjatuhkan
putusan agar hakim tidak mempertimbangkan pokok perkara karena memang hakim
belum memeriksa pokok perkara gugatan melainkan putusan tersebut dijatuhkan
untuk kepentingan tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan
tenaga, waktu dan biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan
terhadap gugatannya tidak hadir di persidangan.
Apabila penggugat
hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap gugatan penggugat tidak
dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara contradictoir.
PUTUSAN VERSTEK
Putusan verstek
merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat tidak hadir pada
hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah
dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam suatu
gugatan terdapat lebih dari satu tergugat dan salah satu tergugat datang pada
hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya tidak hadir pada hari
sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap gugatan penggugat maka
terhadap gugatan penggugat tersebut tidak dapat diputus secara verstek
melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat (1)
HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu putusan verstek dapat
dikabulkan :
1.
Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak
datang pada hari sidang yang telah ditentukan.
2.
Ia atau mereka tidak mengirimkan
wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3.
Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil
secara saah dan patut
4.
Petitum tidak melawan hukum
5.
Petitum beralasan.
PUTUSAN SERTA MERTA
Putusan serta merta
merupakan suatu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad) walaupun terhadap
putusan tersebut ada upaya hukum lain (baik upaya hukum biasa maupun luar
biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu
walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jika :
a.
Ada surat otentik atau tulisan di bawah
tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b.
Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah
mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya
dengan gugatan yang bersangkutan.
c.
Ada gugatan provisionil yang dikabulkan.
d.
Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek
putusan uit voerbaar bij voorraad sangat sulit dikabulkan karena banyak
menimbulkan kesulitan.
UPAYA HUKUM
PENGERTIAN
Upaya hukum adalah
upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk
dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan
praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa
pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan
dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak
menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa
terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1.
BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa
yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara
terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila
merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi
melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan
diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat
dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij
voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam
pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d.
205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951
(Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura.
Keputusan pengadilan
yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan
bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat
diajukan hanya kasasi.
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu
pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para
pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak
hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo
pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah
pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu
pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang
diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan
Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
dapat dieksekusi.
Pendapat diatas
dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa
Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut
undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk
pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi
bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari
seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang
pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk
kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima
(Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1.
Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan
Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar
lunas biaya permohonan banding.
2.
Permohonan banding dapat diajukan tertulis
atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3.
Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte
banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan
ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut
dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara
Perdata.
4.
Permohonan banding tersebut oleh panitera
diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan
banding diterima.
5.
Para pihak diberi kesempatan untuk melihat
surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6.
Walau tidak harus tetapi pemohon banding
berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan
kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu
pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
(Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7.
Pencabutan permohonan banding tidak diatur
dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi
pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2.
KASASI
PENGERTIAN
Kasasi
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.
Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan
Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser”
yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan dibawahnya
diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan
oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan
hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh
putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang
mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak
boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan
kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan
dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa
terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat
gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku.
Yang
dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun
hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan
oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku
atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat
dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh pertauran perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu
putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi
harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau
penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46
ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak
dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1.
Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang
berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2.
Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan
kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang
dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3.
Paling lambat 7 hari setelah permohonan
kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4.
Dalam tenggang
waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon
kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi
(pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5.
Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan
salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU
No. 14/1985).
6.
Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori
kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7.
Setelah menerima memori dan kontra memori
kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan
semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3.
VERZET
PENGERTIAN
Verzet
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN
VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam
waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat
sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan
boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang
tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam
delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).
Dalam prosedur verzet kedudukan para
pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat
sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat
yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan
satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan
verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. PENINJAUAN
KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum
peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan
pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun
Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde),
mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali
menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap
putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat
(verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan
perlawanan. Peninjauan kembali
(Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara
perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam
perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15
UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan
Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request
Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)
Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari
Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan
agar dibatalkan.
2)
Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah
putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih
ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)
Bahwa PK dapat diajukan oleh yang
berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam
perkara tersebut.
Dalam perkembangannya sekarang
Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67
UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan
perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat
diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)
Apabila putusan didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
b)
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak ditemukan.
c)
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai
suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan
belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang
dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No.
14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau
seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut
jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut
tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu
mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1) Permohonan
kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2) Membayar
biaya perkara.
3) Permohonan
Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4) Bila
permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan
yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No.
14/1985)
5) Bila
diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan
dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang
ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya
surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena
permohonan ini hanya dapat diajukan
sekali.
7) Setelah
Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera
berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut
kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat
diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak
lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan
untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal
72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat
jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap,
hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan
kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) permohonan
peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan
kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan
permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi
permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No.
14/1985)
DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa
yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet
merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang
bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat
mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya
punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh
putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah
hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga
dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
DAFTAR
PUSTAKA
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan. Cet. 1,
Jakarta : Sinar Grafika, 1994.
Soetantio, Retnowulan dan Iskandar
Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata
dalam teori dan Praktek. Cet.8. Jakarta:
CV. Mandar Maju,1997.
Subekti,
R. Hukum Acara Perdata,Cet. 2, Bandung: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman, 1997.
Supomo, Prof. Dr. , S.H. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnja Paramita, 1967.
Syahrani, Riduan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum. Cet. 1. Jakarta : Sinar Grafika,1994.
EKSEKUSI
A. PENGERTIAN EKSEKUSI
Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,
merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.
Menurut Prof.R. Subekti adalah
pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati
secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan
eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati
putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya
dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi
bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata.
Menurut Djazuli Bachar adalah
Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk
mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan
secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan
kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan
eksekusi.
Menurut R. Supomo adalah hukum yang
mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna
membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila
pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang
ditentukan.
B. SUMBER HUKUM EKSEKUSI
Hal menjalankan putusan hakim diatur
dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44
yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa
dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb.
1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi
putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa
dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan
(Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan
dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Undang-undang (darurat) No. 1
tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata
sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai acara perdata.
Cara menjalankan putusan pengadilan
yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR, namun
pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara
efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 sampai pasal
208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 sampai pasal 222 HIR yang mengatur
tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang
dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan
pembayaran menurut putusan pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung
No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No.
04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 sampai dengan
pasal 222 HIR, karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar
falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah
satu dari Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera
dilarang untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari
1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi
Bandung, 1978, hal. 378-382.
Selain peraturan peraturan di atas
masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi yaitu :
1. Undang-undang
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 33 ayat (4) yaitu tentang
kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan
putusan pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.
2. Pasal
33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU No. 2 tahun 1985 tentang
Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam
perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
3. Mengenai
pelaksanaan putusan Pengadilan Agama
diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat (5) menyatakan, sesudah itu
keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan biasa tentang menjalankan
keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63-639,
pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan
menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan
Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).
4. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa
permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
eksekusi.
5. SEMA
No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah
tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan
karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk
berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.
C. ASAS-ASAS EKSEKUSI
C.1. Menjalankan putusan
yang telah berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan eksekusi biasanya baru
menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam
tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak
Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak
ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan
status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak
yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan
suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu,
menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti
itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan
oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak
yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan
adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua
putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah
putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada asasnya putusan yang dapat
dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,
karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung
wujud hubungan hukum yang tetap dan
pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara
pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak
yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa
dengan bantuan kekuatan umum.
Dari keterangan diatas dapat
dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum
berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa
terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak
tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini
dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap
berdasarkan Undang-undang adalah :
a. Pelaksanaan Putusan lebih dahulu
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR,
eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun
putusan yang bersangkutan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk
mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau
kasasi.
b. Pelaksanaan putusan provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengemal
putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu
yang bersifat sementara
mendahului putusan pokok perkara.
Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan
provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi)
sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).
c. Akta Perdamaian.
Pengecualian
ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh
hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta
perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia
tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.
d.
Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang
dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap
perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan
bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.
C.
2. Putusan Tidak dijalankan secara
Sukarela.
Dua cara
menjalankan isi putusan, yaitu :
C.2.a. Secara sukarela
Pihak yang
kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun,
menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena
pihak tergugat dengan sukarela memenuhi
isi putusan kepada penggugat, berarti
isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa
kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan
membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua
orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan
ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak
sendiri (Penggugat dan Tergugat).
Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim.
Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari
pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.
C.2.b. Menjalankan putusan dengan jalan
eksekusi
Terjadi bila
pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang
disebut eksekusi agar pihak yang kalah
dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan
dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk
melakukan eksekusi bahkan bila
diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus
ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal,
disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.
C.3. Putusan yang dapat dieksekusi
bersifat kondemnator
Maksud putusan
yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung
unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak
mengandung unsur penghukuman tidak
dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).
Menurut
sifatnya amar atau diktum putusan
dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
a)
Putusan
Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi “ Menghukum dan seterusnya”;
b)
Putusan
Declarator, yaitu yang amar
putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut
hukum, dan
c)
Putusan
yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
C. 4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR
yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas
putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara
nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan
syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat
penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif.
Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan
penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya
surat penetapan maka akan tampak jelas
dan terinci batas-batas eksekusi yang
akan dijalankan oleh jurusita dan
panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi
tersebut..
D. MACAM-MACAM EKSEKUSI
D. 1. Eksekusi yang
diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk
membayar sejumlah uang.
Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana
ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan
dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan,
maka sita jaminan itu setelah dinyatakan
sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan
cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah
yang harus dibayar menurut putusan hakim dan
ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila sebelumnya belum
dilakukan sita jaminan, maka eksekusi
dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak
cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga
cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan
putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.
D. 2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana
seorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan.
Pasal 225 HIR mengatur tentang
beberapa hal mengadili perkara yang
istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk
melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan
tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus
dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya
penggantian ini adalah wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka dapatlah
dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain
perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri
mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan
oleh Ketua Pengadilan Negri yang
memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.
D.
3. Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak
diatur dalam HIR
Perihal ini tidak diatur dalam HIR
pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi riil.
“
Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.”
Pasal
ini memberi petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan.
Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota
Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan
pengosongan rumah itu anggota ABRI
misalnya.
Meskipun eksekusi riil tidak diatur
secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam
praktek sangat diperlukan.
E. TAHAP-TAHAP/PROSEDUR PERMOHONAN
EKSEKUSI GROSSE AKTA HAK TANGGUNGAN
Sebelum
mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri
harus disiapkan surat permohonan eksekusi. Surat permohonan eksekusi ini
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
sesuai dengan pilihan hukum yang tertera dalam akta Hak Tanggungan dengan
dilampiri dokumen-dokumen hukum yang diperlukan. Dokumen-dokumen hukum yang
diperlukan adalah :
1)
Asli
Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang mengajukan permohonan
adalah kuasa dari Kreditur.
2)
Copy
Perjanjian Kredit dan atau Akta Pengakuan Hutang beserta
perpanjangan-perpanjangannya dan/atau perubahan-perubahan perjanjian kredit
tersebut yang telah di nazegling (Pemateraian di Kantor Pos).
3)
Copy
Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen kelengkapannya (Misalnya Ijin
Mendirikan Bangunan, jika ada) yang telah di nazegel Kantor Pos.
4)
Copy
Sertifikat Hak Tanggungan (Berikut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang
telah di nazegling.
5)
Copy
Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang telah di Nazegling
(jika ada).
6)
Copy
Surat Peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegling.
7)
Copy
Catatan/ Pembukuan Bank yang membuktikan besarnya jumlah hutang debitur
(Outstanding) yang telah di nazegling.
E.1. AANMANING
Setelah permohonan diajukan dan
surat kuasa khusus di daftarkan dan pengadilan menganggap permohonan tersebut
dapat diterima, maka Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Aanmaning
(Tegoran/peringatan) kepada Debitur dan atau penjamin. Pengertian Aanmaning
dihubungkan dengan menjalankan putusan menurut M. Yahya H. adalah merupakan
tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “Teguran”
kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo
yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai tenggang waktu
peringatan, Pasal 196 HIR menentukan batas maksimum yaitu delapan (8) hari
sejak debitur dipanggil untuk menghadap peringatan adalah :
1)
Dalam
batas waktu yang diberikan diharapkan debitur dapat menjalankan putusan secara
sukarela.
2)
Bila
tidak terlaksana, maka sejak itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa.
Isi
teguran harus sesuai dengan seluruh bunyi amar putusan yang bersifat
penghukuman. Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak
merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai
pelaksanaan putusan tentang sengketa itu. Setiap teguran dilakukan dengan
membuat berita acara, maksudnya agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat
bukti bahwa peneguran telah dilakukan).
Berapa orang dan siapa-siapa yang
akan ditegur dapat diketahui dari surat permohonan yang dalam amar putusan juga
dikutip atau dikurangi, akan tetapi tidak selalu semua yang dihukum sama
orangnya dengan pihak-pihak dalam permohonan. Tereksekusilah sebagai pihak yang
sebenarnya bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan putusan dan
ia pula yang memikul tanggung jawab terhadap orang lain yang ada hubungan
dengannya sebagai pihak.
Pemanggilan harus memenuhi syarat
syah yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan
disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/Lurah setempat bila yang
bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai
dua kali atau langsung dilanjutkan proses eksekusinya.
E.2.1. SITA EKSEKUSI
Apabila
batas waktu yang diberikan kepada Debitur dan atau Penjamin untuk menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya secara sukarela telah lewat waktu (tidak ada
pelunasan/perdamaian), maka selanjutnya Bank/Kreditur mengajukan permohonan
Sita Eksekusi atas tanah yang dijaminkan tersebut kepada Ketua Pengadilan
Negeri.
Penetapan sita eksekusi merupakan
lanjutan dari penetapan aanmaning, dan harus disusul dengan tahap penetapan
penjualan umum/lelang oleh jawatan tersendiri dan setiap proses dibarengi
dengan tata cara serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Secara
garis besar ada dua macam cara peletakan sita yaitu Sita Jaminan dan Sita
eksekusi.
Sita
Jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan
dikemudian hari barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjual
belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Ada dua
macam Sita Jaminan yaitu Sita
Conservatoir (Conservatoir beslag)
yaitu sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat baik yang bergerak
atau yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau
dengan lain perkataan bahwa barang-barang tersebut tidak dapat dialihkan,
diperjual-belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain.
Jenis Sita Jaminan yang lain adalah Sita
Revindicatoir (Revindicatoir beslag),
yaitu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi
juga terhadap barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada
pada penguasaan tergugat juga dapat diletakkan sita jaminan.
Sita
Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara
mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Ada
dua macam sita eksekusi, yaitu Sita Eksekusi yang langsung, adalah
sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak
bergerak milik debitur atau termohon eksekusi. Sehubungan dengan pelaksanaan
grosse akta hipotik atau grosse akta hak tanggungan yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, atau sita eksekusi lanjutan apabila barang-barang yang disita
sebelumnya dengan sita conservatoir,
yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang,
hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan
putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap
barang-barang milik tergugat untuk kemudian di lelang. Jenis sita eksekusi yang
lain adalah Sita Eksekusi yang tidak
langsung, adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah
dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi
sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau perkakas
yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat
(8) HIR) Letak perbedaan yang paling
pokok antara sita jaminan dan sita eksekusi adalah pada tahap proses
pemeriksaan perkara. Pada Sita Jaminan, tindakan paksa perampasan hak untuk
ditetapkan sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada saat proses
pemeriksaan perkara, sedangkan sita eksekusi penyitaan yang bertujuan
menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran
sejumlah uang kepada penggugat/pemohon dilakukan pada tahap proses perkara yang
bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.
Makna sita eksekusi yang dapat
dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR, adalah Penyitaan harta
kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Penyitaan
sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang harus dibayarkan
kepada pihak pemohon (Kreditur/bank). Cara untuk melunasi pembayaran jumlah
uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan termohon yang telah
disita. Perampasan harta kekayaan debitur/Termohon eksekusi adalah sebagai dana
pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya.
E.2.2. TATA CARA SITA EKSEKUSI
1.
Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri
Merupakan syarat formal pertama,
surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita ekseskusi yang dikeluarkan
Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya Surat Penetapan tersebut
adalah :
a)
Termohon
tidak mau menghadiri panggilan
peringatan tanpa alasan yang syah.
b)
Termohon
tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2.
Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita
Surat perintah/penetapan sita
eksekusi berisi perintah kepada panitera
atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang
jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1)
HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi adalah :
·
Penunjukan
nama pejabat yang diperintahkan
·
rincian
jumlah barang yang hendak disita eksekusi.
Undang-undang memisahkan fungsi
Ketua Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua Pengadilan Negeri
berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi
(Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita sebagai pejabat
yang menjalankan eksekusi secara mutlak.
Pejabat yang terlibat dalam eksekusi merupakan satu kesatuan yang utuh, baik
dalam pelaksanaan maupun
pertanggungjawabannya.
3.
Pelaksanaan dibantu Dua Orang Saksi
Merupakan syarat formal, baik pada
sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal 197 ayat (6) HIR. Bila
syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi dianggap tidak sah. Kedua
orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan
sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. Agar syarat formal terpenuhi maka
kedua orang pembantu yang menyaksikan jalannya pelaksanaan sita eksekusi harus
mencantumkan nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua saksi dalam berita acara
sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut menandatangani asli dan salinan berita
acara sita eksekusi, sebagai syarat sah berita acara Sita Eksekusi. Syarat
penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7) HIR adalah: telah berusia 21 tahun,
berstatus penduduk Indonesia, dan memiliki sifat jujur atau dapat dipercaya,
umumnya diambil dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4.
Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5),(9)
HIR tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan persyaratan tentang
keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak
di sita.Hal ini disyaratkan agar panitera atau juru sita dapat melihat sendiri
jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus dapat
memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan
penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.
5.
Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi
Merupakan satu-satunya bukti otentik
kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap awal menuju
penyelesian eksekusi merupakan tindakan
yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua Pengadilan Negeri dan
juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi.
Hal
penting yang harus tercantum dalam
Berita Acara Sita Eksekusi adalah :
·
Memuat
nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.
·
Merinci
secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
·
Ditandatangani
Pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
·
Tidak
diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangai berita
acara.
·
Pemberitahuan
isi berita acara kepada pihak tersita, maksudnya untuk perlindungan hukum.
6.
Penjagaan Yuridis Barang yang Disita
Berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR,
penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada ditangan tersita,
sebab bila penjagaan dan penguasaan
barang yang disita diberikan kepada
pemohon sita maka seolah-olah sita itu sekaligus langsung menjadi eksekusi.
Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilaksanakan
penjualan lelang. Penempatan barang sita
eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa
mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain dengan alasan demi
keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut secara tegas dalam berita acara sita, sebagai syarat formal hak
penjagaan.
Sepanjang barang yang habis dalam
pemakaian, tidak boleh dipergunakan
dan dinikmati tersita.
6. Ketidakhadiran
Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.
syarat-syarat
yang paling pokok mendukung keabsahan tata cara sita eksekusi antara lain :
Barang
yang disita benar-benar milik pihak tersita (termohon)
Mendahulukan
penyitaan barang yang bergerak, dan apabila tidak mencukupi baru dilanjutkan
terhadap barang yang tidak bergerak, sampai mencapai batas jumlah yang dihukum
kepada penggugat.
Tata
cara pengumuman Sita Eksekusi, pengumuman ini khusus
mengenai sita yang diletakkan terhadap barang yang tidak bergerak, sedang
terhadap barang yang bergerak tidak diperlukan syarat pengumuman sita (Pasal
198 ayat (1) HIR). Tata cara yang ditentukan dalam pasal 198 ayat (1) HIR
terdiri dua instansi, yaitu :
1. Mendaftarkan
berita acara sita dikantor yang berwenang untuk itu dengan cara “menyalin”
berita acara sita dalam daftar yang ditentukan :
·
Di Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria),
apabila tanah yang disita bersertifikat(Stb.1834 No. 27 Jo. PP No. 10/1961)
|
·
Dikantor kepala desa dalam buku Letter
C, apabila tanah yang disita belum memiliki sertifikat (Stb. 1834 No. 27)
|
·
Mencatat jam, hari, bulan, dan tahun
pengumuman penyitaan
|
Setelah
sita eksekusi diumumkan dengan cara mendaftarkan berita acara sita dikantor
yang berwenang barulah sita tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat terutama pada pihak ketiga disamping
sita eksekusi tersebut sudah sah secara formal serta kekuatan hukum mengikatnya
berlaku kepada semua pihak. Begitu suatu sita eksekusi dikatakan mempunyai daya
ikat maka terhadap sita eksekusi tersebut tidak dapat tergoyahkan dan mempunyai
kekuatan eksekutorial.
E.3.1. LELANG
Setelah
pengadilan mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi berikut Berita Acara Sita
Eksekusi, dan terhadap pelaksanaan sita
eksekusi itu telah berdaya ikat, maka Bank/Kreditur dapat segera mengajukan
permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengertian lelang berdasarkan Pasal
200 ayat(1) HIR dikaitkan dengan Pasal 1 Peraturan Lelang (LN. 1908 No. 189)
secara terperinci adalah : Penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah di sita eksekusi atau
dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik termohon (debitur),
yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan
perantaraan atau bantuan kantor lelang (juru lelang) dan cara penjualannya
dengan jalan harga penawaran semakin meningkat, atau semakin menurun melalui
penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).
Pengadilan Negeri yang hendak
melakukan eksekusi pembayaran sejumlah uang harus meminta bantuan kantor lelang
untuk menunjuk seorang pejabat juru lelang menjual barang yang disita (Pasal 1
a Peraturan Lelang LN 1908 No. 189), pengecualian ketentuan tersebut diatur
dalam pasal dan ayat yang sama yaitu “Dengan
peraturan pemerintah penjualan lelang dapat dibebaskan dari campur tangan juru
lelang”. Pasal 2 LN. 1908 No.189 memberikan hak pada juru lelang untuk
menunjuk kuasa menggantikannya, dan perbuatannya itu tidak membuat batal lelang
yang dilakukan.
Penentuan penjual lelang sangat
penting sebab penjual lelanglah yang
berhak menentukan syarat-syarat penjualan lelang (Pasal 200 ayat(1) HIR dan
Pasal 1 b beserta Pasal 21 Peraturan Lelang) yaitu pejabat atau orang yang ditentukan undang-undang dan peraturan yang
diberi kuasa mewakili pemilik untuk menjual lelang suatu barang . Pada
eksekusi penjualan lelang menurut pasal 195, 196 dan 197 ayat(1), serta 224
HIR pihak penjual lelang adalah
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri. Dengan kata lain undang-undang
memberi kuasa kepada Ketua Pengadilan Negeri menjual lelang barang harta
kekayaan termohon, guna memenuhi pembayaran kepada pihak pemohon. Sedang menurut
Pasal 4 dan 5 UU No. 49 Prp tahun 1960 PUPN bertindak sebagai penjual mewakili
pihak debitur.
E.3.2. TATA CARA PENGAJUAN LELANG
Pasal
5 kalimat pertama Peraturan lelang menyatakan “Seorang yang bermaksud mengadakan penjualan di muka umum memberitahukan
hal itu kepada juru lelang, dan dalam pemberitahuan itu disebutkan kapan hari
penjualan ingin dilakukan”. Kalimat kedua pasal 5 diatas menegaskan bahwa
permintaan lelang yang diterima kantor lelang ditulis dalam daftar sehingga yang berkepentingan dapat melihat
hal-hal sehubungan dengan permintaan lelang, tujuannya selain memenuhi fungsi
administratif juga memberi kesempatan bagi pihak yang berkepentingan melihat
dan meneliti surat- surat yang bersangkutan. Kalimat ketiga pasal yang sama
menyatakan bahwa pada prinsipnya kantor lelang terikat pada hari yang
ditentukan oleh peminta lelang sepanjang hal itu sesuai dengan aturan khusus
yang dikeluarkan Menteri Keuangan.
Pasal 7 Peraturan Lelang menegaskan
bahwa juru lelang tidak berwenang menolak permintaan lelang sepanjang
permintaan masih meliputi kawasan daerah hukum kantor lelang yang bersangkutan.
Pasal 200 ayat (4) HIR memberikan
hak kepada pihak tereksekusi dalam hal ini debitur untuk mengatur urutan
penjualan barang yang akan dijual, tetapi hak yang diberikan hanya sebatas itu saja.
Yang berhak menentukan syarat-syarat
lelang adalah penjual lelang yaitu Pengadilan Negeri tetapi pemberian syarat
itu dibatasi oleh Tambahan Lembaran Negara No. 4299 yaitu, harus berpedoman dan
tidak boleh menyimpang dari ketentuan Peraturan Lelang. Hak Penjual Lelang
selain menentukan syarat penjualan adalah menentukan cara pelelangan dan
mengubah cara pelelangan terhadap barang yang telah dilelang, apabila penjual
belum meluluskan penjualan lelang yang bersangkutan. Syarat-syarat lelang yang
diatur dalam Peraturan Lelang No.189 tahun 1908 antara lain :
a)
Penawaran
dilakukan melalui pendaftaran (pasal 9 alinea kedua) dengan menulis nama,
pekerjaan dan harga penawaran dengan rupiah dan ditandatangani oleh yang
bersangkutan ke kantor lelang setempat, akan tetapi ketentuan ini dapat
disimpangi.
b)
Seorang
peminat hanya dibolehkan mengajukan satu surat penawaran (pasal 9 alinea
ketiga).
c)
Peminat
menyetorkan panjar lebih dulu, sebagai tanda kesungguhannya secara lunas tunai
dalam jangka waktu tertentu ke tempat penjual atau kantor lelang.
d)
Bila
patokan harga terendah tidak tercapai, penjualan lelang ditunda dan akan diadakan pengumuman lelang lanjutan atas
biaya debitur.
e)
Bila
patokan harga terendah tidak tercapai
lelang dapat dilanjutkan dengan
penawaran langsung (terbuka dan lisan) secara
tawaran meningkat atau menurun dan
menyerahkan penetuan harga yang patut pada pihak penjual.
f)
Pembayaran
dengan tunai, sesuai pasal 22 Jo.Pasal 29 Peraturan Lelang, berdasarkan praktek
diberi batas waktu 24 jam.
Agar syarat penjualan lelang yang
sah secara materil mengikat dan sah secara formal maka,syarat lelang yang
bersangkutan harus dilampirkan pada surat permohonan lelang ke kantor lelang dan syarat lelang
harus terbuka untuk umum.
Harga patokan terendah adalah
harga yang dianggap sesuai dengan nilai
barang yang ditentukan lebih dahulu (minimal 3 hari sebelum lelang) oleh pengawas Kantor Lelang Negara (Pasal 9 alinea
pertama) berdasarkan kepatutan, keadaan atau kondisi barang yang hendak dilelang, faktor ekonomis.
Disamping itu tujuannya adalah sebagai indikator harga penjualan lelang yang
dapat disetujui dan dibenarkan. Tidak adanya patokan harga terendah tidak
menyebabkan lelang menjadi batal, lelang yang telah dilakukan adalah sah
demi melindungi kepentingan pembeli lelang yang beritikad baik.
Pembocoran patokan harga terendah
kepada pihak lain (Pihak penjual, pemohon atau termohon lelang) dari pengawas
kantor lelang mengakibatkan penjualan lelang batal.
Pengumuman lelang merupakan syarat
formal penjualan lelang, tidak terpenuhinya syarat ini menyebabkan lelang batal
demi hukum. Kantor lelang terlebih dahulu akan melakukan pengecekan ke Kantor
Pertanahan atas dokumen-dokumen tanah yang akan dilelang dengan meminta Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), selanjutnya Kantor Lelang mengeluarkan
surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai tanggal
pelaksanaan lelang.
Pengumuman lelang benda bergerak
diatur dalam Pasal 200 ayat (6) HIR, yaitu jumlah Pengumuman tidak ditentukan,
dilakukan pada waktunya maksudnya adalah dapat dilakukan sesaat setelah sita
eksekusi atau mulai aanmaning bila benda tersebut sudah disita jaminan,
pengumuman dilakukan menurut kebiasaan setempat, akan tetapi perlu diingat
bahwa penjualan lelang paling cepat delapan hari dari tanggal penyitaan barang.
Pengumuman dan penjualan barang yang
tidak bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (9) HIR hanya satu kali melalui
surat kabar selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari penjualan. Sedangkan Pasal
200 ayat (7) dikatakan pengumuman penjualan lelang barang yang bergerak jila
bersamaan serentak dengan barang yang tidak bergerak mesti dilakukan 2 kali
berturut-turut dengan selang minimum 15 hari.
tetapi dalam praktek Pengadilan
Negeri menghendaki pengumuman lelang untuk benda tidak bergerak dilakukan 2
kali dengan selang 15 hari melalui surat kabar, dan pelaksanaan penjualan
lelang sendiri baru bisa dilaksanakan 14
hari setelah pengumuman kedua.
Bentuk penawaran lelang yang ada dan
biasa digunakan penawaran tertulis, ditulis dalam bahasa Indonesia, dengan
huruf latin, memuat dengan jelas identitas
penawar (nama, pekerjaan, tempat tinggal), ditandatangani penawar.
Apabila patokan harga terendah belum tercapai penawaran dilanjutkan dengan
penawaran lisan dengan syarat yang ditetapkan penjual.
Lelang dilaksanakan di Kantor
Pengadilan Negeri, Kantor Lelang Negera atau di Lokasi tanah dan dipimpin oleh
Panitera Kepala Pengadilan Negeri didampingi oleh Pejabat Kantor Lelang.
Pengaturan risalah lelang terdapat dalam
Pasal 35 Peraturan Lelang. Yang dimaksud dengan risalah lelang adalah sama
artinya dengan “berita acara’ Lelang, yang merupakan landasan otentik penjualan
lelang, tanpa risalah lelang, lelang yang dilakukan dianggap tidak sah. Risalah
lelang mencatat segala peristiwa yang terjadi pada penjualan lelang.
Bila pembeli bertindak untuk dan
atas nama kuasa maka surat kuasanya dilampirkan dan dicatat dalam berita acara,
sedang bila pemberian kuasa itu secara lisan maka diterangkan dalam berita
acara.
Penandatanganan risalah lelang
berdasarkan pasal 38 Peraturan Lelang ada dua cara yaitu :
1.
Penandatanganan
setiap lembar oleh juru lelang yang bersangkutan (Pasal 28 ayat(1), bila tidak
dilakukan penjualan lelang dapat dibatalkan.
2.
Agar
risalah lelang sempurna sebagai akta otentik, selain ketentuan diatas pada
bagian akhir risalah lelang harus ditandatangani oleh juru lelang dan pihak penjual. Ketidak hadiran pihak penjual tidak mengakibatkan
lelang tertunda, cukup dicatat dalam risalah lelang sebagai ganti tanda tangan
pihak penjual yang tidak hadir.
Pembeli dianggap sungguh-sungguh
telah mengetahui apa yang telah ditawar,
beli olehnya. Apabila terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan ia tidak dapat
menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskannya semua hak
untuk meminta ganti kerugian apapun. Pembeli juga tidak boleh menguasai barang yang dibelinya sebelum ia melunasi
uang pembelian yang terdiri dari harga pokok, bea lelang dan uang miskin.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid
I.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid
II.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Asser, C. Pengajian Hukum Belanda. Jakarta : Dian
Rakyat,
cet.I, 1991.
Anser, W.D.H. Perubahan Hukum Acara Perdata Nederland.
(Alih
Bahasa oleh Retnowulan Sutantio)Jakarta :
Bina Justitia,
Mahkamah Agung, 1994.
Bidara.O . et.al. Hukum
Acara Perdata. Cet.2. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.
Binawan Al Andang. Hukum,
Hakim, Hikmat Catatan Tambahan Untuk Prof. Satjipto Rahardjo. Kompas
tanggal 1 November 2002.
Budiarto, Ali.Kompilasi
Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hutang Piutang.Cet.1. Jakarta
: Ikahi. April 2000.
Bachar,Djazuli.
EksekusiPutusan Perkara Perdata, Segi
Hukum dan Penegakan Hukum. Cet. 2. Jakarta : CV. Akademika Pressindo
Anggota IKAPI, 1995
Dijksterhuis
H.L.G- Wieten. Bewijsrecht In Civiele
Procedure. Kluwer : Deventer, Tweede Druk, 1992.
Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Rancangan UU-RI Tentang Hukum Acara Perdata.Direktorat
Perundangan-Undangan, Tahun 1999/2000.
Dirdjosisworo, Soedjono. Memorandum Hukum (Media
Untuk Melatih Penulisnya Menerapkan Hukum Positif Dalam Meyelesaikan Perkara).
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Harahap,
M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata. Cet. 3. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
1991.
Koesmojo, Ida. Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam
Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland. Jakarta : Bina
Justitia, 1994.
Koesnoe, Moh. Dasar-Dasar Ke-Tidak Pastian Hukum
Dalam Tata Hukum Kita Dewasa Ini (Suatu
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.