PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Kajian
terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik
dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar
serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak
begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum
agraria di Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang
Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan wacana untuk mengamandemen Undang-undang
Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan
guna menyesuaikan peraturan-peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah
dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa
hukum – khususnya hukum agraria – terus berkembang seiring dengan perkembangan
dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang
bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria Indonesia guna mengetahui
setiap perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya
dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan
pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah
singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria sebagai salah satu bagian
yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memanikan peranan penting dalam
upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara. Dalam
kajian terhadap hukum agraria ini penulis melakukan kajian dari pendekatan
sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena perkembangan hukum agararia kedepan
tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya
hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan
adalah disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Hukum tidak hanya berubah dalam
ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku
bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri
norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber
hukum materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini
seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de Droit Civil yang
diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia
memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum,
lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa
dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti
keberadaannya sekarang ini.
3.
Sedikit banyak mempunyai pengertian
mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi
para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata umum.
4.
Hal ikhwal yang teramat penting di
sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-mena,
bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya
sebagai suatu gejala historis.
Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu. Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan Perkembangannya”
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian Agraria.
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam
tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan
dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.[4] Pertama
dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti
tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria
berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan
tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan
seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum
yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
meratakan penguasaan dan pemilikannya. Di Indonesia sebutan agraria di
lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah
pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum
Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam
melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Sebutan
agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen Van
Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht,
bagian agraria pad kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian
agraira, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen
pertanian dan agraria, direktur jenderak agraria, direktorat jenderal agraria
pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian demikian.
Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan
Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga
Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai
nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan
kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria.
Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup
pengertian agraria yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun
administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada
di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga
tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya
untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih
luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan
Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan danmenyelenggarakan antar lain fungsi : c. Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan danmenyelenggarakan antar lain fungsi : c. Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Biarpun tidak dinyatakan dengan
tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans, pasal-pasal dan
penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria
dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.
Pengertian agraria meliputi bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti
yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang
di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang
bersangkutan dengan itu.
Pengertian
bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta
yangberada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian
pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi
yang berada di bawah air, termasuk air laut. Sehubungan
dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen
Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di
luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang
Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih
meungkin diselenggarakan eksplorasi dan sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan
penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya
ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor : 1 Tahun
1973)(LN. 1973-1, TLN 2994).
Pengertian
air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1
ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN
1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya
meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air,
baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu
unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan,
termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang
Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN
1967-227, TLN 2831).
Kekayaan
alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang
berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang
Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46).
Dalam
hubungan dengan kekayaan alma di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlku
dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif, yaitu meliputi
jalur perairan dengan batas terluar 200 mili laut diukur dari garis pangkal
laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukamn
eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati
dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di bawahnya dan air
di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor : 5 Tahun
1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A.P. Parlindungan
menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti
sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja, sedangkan
Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas,
yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian pengertian agraria di
atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan membedakan pengertian
agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti
sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian
agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini
adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu
hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam
arti luas.
B. Pengertian
Hukum Agraria.
Beberapa pakar
hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria,
antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Subekti dan
Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum
perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang
dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula
wewenang yang bersumber pada huungan tersebut.
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan
bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena
mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang
meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Daripada itu,
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran
Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam.
Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum
agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah dalam arti permukaan bumi;
2.
Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan
atas hutan dan hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan
pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan,
yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud
tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal
4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi,
air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas
menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
C. Hukum Tanah.
Dalam
pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu
berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang
disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan
tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta
perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak
penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis
adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan
dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4
ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
nasional adalah :
1.
Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2.
Hak menguasai negara atas tanah;
3.
Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4.
Hak-hak perseorangan, meliputi;
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
1). Hak milik atas;
2). Hak guna usaha;
3). Hak guna bangunan;
4). Hak pakai;
5). Hak sewa;
6). Hak membuka tanah;
7). Hak memungut hasil hutan;
8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf tanah hak milik;
c. Hak jaminan atas tanah (hak
tanggungan);
d. Hak milik atas satuan rumah
susun.
Hukum tanah
adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara
sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu
sistem.
Objek hukum
tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga
hukum;
Hak penguasaan
atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum
tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan
hukum yang konkrit;
Hak penguasaan
atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau
orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang haknya.
Dalam kaitannya
dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2
(dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan horisontal dan
asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan
horisontal yaitu suatu
asas yang mendasrkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda
yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah
san segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap
menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang
merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum
pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA.
Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang
melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya,
Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini
diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu
(masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum
pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah
dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum
tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu
hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan
berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).
D. Sumber Hukum
Agraria.
1. Sumber Hukum Tertulis.
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat
(3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang ini dimuat dalam
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang :
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24
September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan
pelaksanaan UUPA
2). Pertauran yang
mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan
peraturan/Pasal Peralihan, masih berlaku.
2. Sumber Hukum Tidak Tertulis.
a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA,
misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu,
yaitu cacat-cacatnya telah dibersihkan.
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
A. Hukum Agraria
Kolonial.
Dari segi
berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia
merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September
1960; dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah
diundangkannya UUPA.
Dari konsideran
UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri hukum agraria
kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1.
Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian
tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan
negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan
semesta;
2.
Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme,
dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan
atas hukum barat;
3.
Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak
menjamin kepastian hukum.
Beberapa
ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun
1870.
a. Pada masa VOC (Vernigde
Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan
perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda
kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali
pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat
menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1). Contingenten.
Pajak hasil
atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni).
Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa
dibayar sepeser pun.
2). Verplichte
leveranten.
Suatu bentuk ketentuan
yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan
seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan
secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa
berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3). Roerendiensten.
Keijaksanaan
ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang
tidak mempunyai tanah pertanian.
b. Masa
Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya
itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina,
Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah
partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat
dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah
adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke
rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
a.
Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta
memberhentikan kepal-kepala kampung/desa;
b.
Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang
pengganti kerja paksa dari penduduk;
c.
Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa
uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
d.
Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e.
Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan
penyebrangan;
f.
Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong
rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah
atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford
Rafles (1811-1816).
Pada masa
Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan
sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan
pahaj bumi. Dari hasil
penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan
bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka
sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna
sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja
Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja
Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani
pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi
kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b.
Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan
perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna
memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut
penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu
membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan
dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
c.
Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur
tentang pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa.
Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus
dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang
sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah
yang boleh dikuasai seseorang.
d. Masa
Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830
Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal
dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur
Stelsel. Dalam sistem
tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa
waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli
pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi
modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para
penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang
kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama.
Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah
dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang
masih kosong.
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah
administratif Belanda).
a. Agrarische Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan
pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang
dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal
dikelularkannya Agrarische Wet (AW)
ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang
bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak
rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW ini merupakan
undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870, dengan
diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan
Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat
tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat
8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini
memuat :
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
|
Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan
dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum
atau atas dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.
Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan
tanah dengan Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar
Hak penduduk asli.
Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka
oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau
tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya,
kecuali untuk kepentingan umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan
pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan
pemberian ganti rugi atas tanah.
Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak
pakai perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah
diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan
seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya,
yakni mengenai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang
untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh
orang-orang Indonesia asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.
|
Terbentuknya AW
merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang
karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan
bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana
hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara
dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan
bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk
mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut,
sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein
di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di
kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam
melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk
membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta
agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu AW
juga bertujuan untuk :
a. Memperhatikan perusahaan swasta yang
bermodal besar dengan jalan :
1). Memberikan tanah-tanah negara dengan
hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para
pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2). Memberikan kepada rakyat asli untuk
memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom).
Untuk
pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan
keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.
c. Agrarische
Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya
diatur lebih lanjuta dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang
paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB),
yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1).
Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;
2).
Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3).
Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1
AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi perkembangan
dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai
sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang
bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der
voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet
anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3
Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain
tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara (milik)
negara”.
AB hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein
Verklaring (Pernyataan Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa
dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga
untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi
yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari
adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak
ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan
tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah.
Dengan adanya
pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis,
yaitu :
1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah
yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera.
2). Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu
tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.
Dalam
praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :
1)
Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk
dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam
KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.
2)
Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila
negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas
tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.
Untuk diketahui
bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat,
sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal
570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi
tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut
Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :
1).
Tanh-tanah daerah swapraja;
2).
Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;
3).
Tanah-tanah partikulir;
4).
Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).
d.
Erfacht Ordonantie.
Mengenai
pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus diataur
dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu :
a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische Besluit
(S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a,
yang beberapa kali mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun
kembali dan diundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali
daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal
mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,
1).
S.1874f untuk Sumatera.
2).
S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3).
S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua
daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi
yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”.
Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.
c. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa
:
Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie
Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing-masing
swapraja menurut petunjuk Gubernur Jenderal.
Sebelum adanya ordonansi itu di
daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak erfacht,
melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan
kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami
perubahan-perubahan menjadi :
1). Grondhuurordonantie
(S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan
Yogyakarta;
2). Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah swapraja Surakarta dan
Yogyakarta.
e. Agrarische
Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu
koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische
eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah
suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische
eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom sebgaimana yang
dimaksud dalam BW.
Agrarische
eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut
dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872
Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara
memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1). Apabila seseorang Indonesia asli
(=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische
eigendom, maka pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing
van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya
di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan
pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak
ketiga yang merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap
permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri
tersebut, maka agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh
bupati yang bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur
jenderal.
4). Agrarische eigendom yang
telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische eigendom tersebut
harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan
kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti hak.
5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan
hypotheek, harus didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische
eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia
asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat
dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan
hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak
dipergunakan.
3. Hukum Tanah Perdata (Kitab
Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang
berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan
KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas
konkordansi diberlakukan di Indonesia.
Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia
Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang
terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu
politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga
golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische
Staatsregeling) yakni :
1). Golongan Eropa dan dipersamakan
dengannya;
2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari
Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan
lain-lain;
3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli
yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian
di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama,
terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang
sudah diuraikan di atas :
1). Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum
Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang
sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan
rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2). Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari
Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan
Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3
dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai
“penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada
pula “Burgirlijk Stand tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal
pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat
politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun
berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat
peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak
tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam
buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan
hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi
putera diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing.
Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang
ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang pribumi dan orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut
Hukum Antar Golongan atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan
hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu
timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut apayang disebut asas persamaan
derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang berlaku,
baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur
asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang superior atau dihargai
lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum antar
golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu yang harus diberlakukan.
Perihal peraturan hukum yang mengatur
tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama
menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis
hak atas tanah barat yang dikenal yaitu :
1) Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas
tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
2) Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang
memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas
tanah eigendom, pihak lain yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman
dan seterusnya di samping hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap
benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang
yaitu :
a). Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya
kepada pihak lain;
b). Dapat dijadikan jaminan utang;
c). Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut
belum habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak
untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang lain dan menarik atau hasil yang
sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht
hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4) Tanah hak gebruis, yaitu tanah
hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak
atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia,
seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula
tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan
pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan
hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut
tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak
adat.
Tanah-tanah hak
barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings
Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S. 1834-27 dan dipetakan
oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat ini
tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya,
persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, sert
aperolehannya, pembebanannya diatur menuurut ketentuan-ketentuan hukum tanah
barat.
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya
belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis.
Tanah-tanah hak adat, yang teridiri atas apa yang disebut tanh ulayat
msyarakat-masayrakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak milik adat,
merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk
tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera
Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Di daerah Kesultanan
Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang dipunyai dengan apa yang disebut :
1) Grant Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh
pemrintah swapraja, khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat
swapraja;
2) Grant Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja
bagi bukan kaula swapraja, didaftar di kantor Controleur (pejabat
pangreh praja Belanda);
3) Grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan
oleh Deli Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli
Maatschappaij adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan besar
tembakau dan bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah, memperoleh tanah
yang luas dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant. Tanah tersebut
dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh Deli Maatschappaij
kepada juga dengan grant yang merupakan “sub-grant” dikenal dengan sebutan
“grant D”, singkatatan dari grant Deli Maatschappaij.
4) Hak konsesi untuk perusahaan perkebunan besar,
diberikan oleh pemerintah swapraja dan didaftar di kantor residen.
4. Sesudah Tahun
1942.
Pada periode
sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan
kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang
kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah
perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan
milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik
bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa
penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat
tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya
tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.
Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak
ulayatl;
b. Hak perorangan atas tanah :
1)
Hak milik, hak yayasan;
2)
Hak wenang pilih, hak mendahulu;
3)
Hak menikmati hasil;
4)
Hak pakai;
5)
Hak imbal jabatan;
6)
Hak wenang beli.
Pada masa
kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah
bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya,
sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
5. Hukum Agraria
Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di
tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal
yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan
keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata
kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan
jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian.
Di daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan
oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas tanah
perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat seluas ±
80.000 Ha.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh
semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu
cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan
produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah
perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha
pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang
berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb
erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di
beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan
dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka
dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat
2 (dua) sebagai berikut :
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar
agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat
antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka
penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan
sendiri dengan memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan
penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di
dalam susunan perekonomuian negara.
Agar pelaksanaan dari keputusan
tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai
berikut :
a. Kemungkinan pencabutan dan pembatalan
hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun
seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b. Ancaman hukum terhadap mereka yang
melanggar atau menghalangi;
c. Ancaman hukuman terhadap mereka yang
tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan
sesudah tuntutan ini diberlakukan;
d. Ketentuan tentang harus mengadakan
pengosongan.
Untuk mencegah
pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan
perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali
hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang :
Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan
Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang :
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956
tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut
pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
B. Politik Hukum
Agraria Kolonial.
Politik agraria
dimaksudkan adalah kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud
M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, memberikan
pengertian politik hukum. Dalam bukunya itu disebutkan bahwa politik hukum
adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara
untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru
dan penggantian hukum lama.
Dengan
demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan hukum dalam bidang
agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan,
mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang
terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam
pelaksanaan legal policy itu dapat dituangkan dalam sebuah peraturan
perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma dalam bidang agraria
dalam garis besar.
Sementara itu,
politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan
hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual
dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan
sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai
pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha
Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat
mendalam.
Sistem kolonial
ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan
dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang
minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh
keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk
peribumi.
Eksploitasi
atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah.
Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada
penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya
untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis.
Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk
pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi
atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah
menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim
pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.
Politik hukum
agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55 dengan isi
dan maksud serta tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan primer.
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing)
mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama
dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang
asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung
dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian
swasta asing.
2. Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu
:
a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak
hak Bumi Putera;
b. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah
Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk
tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian gantik kerugian;
c. Bumi Putera diberikan kesempatan
mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische
eigendom);
d. Diadakan peraturan sewa menyewa antara
Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Dalam perjalanan
berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya
penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau
Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik
Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, maka
pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod
S.1875-179.
Yang dimaksud
dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak
dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang
Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk
memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah
batal karenanya.
Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga telah
mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai
pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan dalam S.1870-118. yang
terpenting dalam AB ini adalah adanya pernyataan domein negara atau lebih
dikenal dengan Domein Verklaring.
Berkaitan
dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa
struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial
apabila :
1. Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada
kesatuan hukum.
a. Ada dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang
dibawa dan diberlakukan di Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum
adat penduduk Bumi Putera;
b. Hukum adat di Indonesia itu beraneka
warna, agak berbeda di pelbagai daerah (plurisme) yang dibiarkan terus berlaku
selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah;
c. Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum
adat tapi yang bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom.
2. Dilihat dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status
subjek.
a. Ada pemegang hak yang orang orang Bumi
Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera yang sistem hukumnya berbeda;
b. Yang bukan Bumi Putera ada :
1) Orang asing bangsa Eropa/Barat;
2) Orang keturunan asiang;
3) Orang Timur Asing.
3. Dilihat dari yang menguasai/memiliki
tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara mausia dengan tanah.
a. Ada besar golongan manusia (petanai)
yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit;
b Di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa,
pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai
tanah;
4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada
keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a. Tanah di Jawa dan Madura hampir semua
sudah dibuka/diusahakan;
b. Di luar Jawa, Madura dan Bali masih ada
tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.
5. Dilihat dari sudut tertib hukum, tidak
ada tertib hukum.
a. Penjajah Jepang mengambil tanah rakyat
atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing
soal hak yang ada di atasnya;
b. Rakyat sendiri juga menduduki tanah
perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi
secara tidak sah.
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)
SEBAGAI HUKUM AGRARIA NASIONAL
A. Upaya Penyusunan Hukum Agraria
Nasional.
Proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama bangsa Indonesia merupakan suatu tonggak sejarah sebagai simbol
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau tidak
berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan
secara politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terlepas
dari penjajahan menjadi bangsa yang merdeka.
Proklamasi kemerdekaan tersebut memberi arti penting
terhadap upaya penyusunan hukum agraria nasional. Pertama dengan proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial
sekaligus, yang kedua, bangsa Indonesia berupaya membentuk hukum agraria
nasional.
Meskipun demikian, dengan
diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata tidak serta merta pemerintah
dapat dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal itu membutuhkan waktu
yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat nasional.
Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum),
maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.
Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 tersebut, maka segala badan maupun peraturan yang ditetapkan dan merupakan
produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku selama hal tersebut belum
dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang baru.
Dasar politik hukum agraria nasional
dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan :
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut bersifat imperatif,
artinya berbentuk perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alamyang
terkandung di dalamnya nyang diletakkan di bawah penguasaan negara harus
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria kolonial dengan keadaan dan
kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu :
1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Dala pelaksanaan hukum agraria
didasarkan atas kebijaksanaan baru dengan memakai tafsir yang baru pula yang
sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. tafsir baru di
sini, conthnya adalah menegenai hubungan domein verklaring, yaitu negara
tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
2. Penghapusan hak-hak konversi.
Salah satu warisan feodal yang sangat
merugikan rakyat adalah lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta
dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap milik raja. Rakyat hany
sekedar memakainya, yang diwaibkan menyerahkan sebagian dari hasil tanah itu
kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa, jika
tanahnya tanah perkarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya yang
berjasa atau seti kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian
tanah ini disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanha tersebut
di atas. Mereka pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel
apanage.
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau
penegang apanage disewakan kepada pengusaha-pengusaha asing unutk usaha
pertanian, berikut hak untuk memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang
mengusahakan tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing tersebut
kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking
konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan
penguasa untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu.
Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun
1948 yang mencabut Stb.1918-20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1950, yang secara tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak
konversi serta hypotheek yangmembebaninya menjadi hapus.
3. Pengahapusan tanah pertikelir.
Pada masa penjajahan dikeluarkan
kebijaksanaan di bidan pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah
partikelir yang di dalamnya terdapat hak peruanan. Dengan adanya hak pertuanan
ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir tersebut merupakan negara dalam negara.
Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang
menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Indonesia melakukan pembelian tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak
memuaskan dikarenakan tidak tersedianya dan yang cukup juga karena tuan-tuan
tanah yang bersangkutan menuntut harga yang tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik
partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas
apartikelir itu karen hukum seluruhnya serentak menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada
hakikatnya merupajan pencabutan hak, dan kepada pemilik tanah partikelir
diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran
ganti kerugian telah sesuai.
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
Praturan tentang persewaan tanah rakyat
kepada perusahaan perkebunan bedar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia
asli pada umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk
Jawa dan Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie
S.1918-88 untuk daerahpemerintahan langsung dan Voerstenlands
Grondhuureglement S.1918-20 untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah
swapraja). Menurut ketentuan ini persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu
palig lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, kedua
peraturan tersebut diubah dengan ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a
dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang Darurat
ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan
penambahan pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama tebu
dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya diperbolehkan
paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar sewanya ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan demikian, rakyat
tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24
Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang
Pemindahan Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap Lainnya yang Tunduk Pada Hukum
Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu pengaturan lebih lanjut unutk sementara
untuk setiap serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuata-perbuatan yang
berwujud pemindahan hak mengenai hak tanah-tanah dan barang-barang tetap
lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan setelah mendapat
ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya
dari Menteri Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar
izin menteri tersebut dengan semdirinya batal menurut hukum, artinya
tanah/rumahnya kembali pada penjual, uangnya kembali kepada pembeli jika
perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai perizinan ini dimaksudkan
untk mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-tanah
Eropa, termasuk rumah atau bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-orang
dan badan-badan hukum asing.
Ketentuan di atas dilengkapi dengan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak-hak Atas Tanah Perkebunan Erfacht, Eigendom, dan lain-lain Hak Kebendaan.
Dikeluarkan juga peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan
Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan Konsesi, yang kemudian
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan di atas, setiap
perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan setiap serah pakai untuk lebih dari
satru tahun mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya
atas tanah perkebunan, demikian tanah-tanah konsesi untuk perkebunan dari
bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein serta badan-badan hukum hanya dapat
dilakukan dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun
1957 izinnya dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud praturan tersebut di atas adalah
untuk mengadakan pengawasan serta jaminan bahwa penerima haknya mampu
mengusahakan perusahaan perkebunan yang bersangkutan dengan baik dan bahwa
kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi belaka.
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun
1956, Menteri Agraria dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar
tanah-tanah perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian
negara diusahakan dengan baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan bahwa
pemegang erfacht, eigendom dan hak kebendaan lainnya yang sudah mengusahakan
kembali perusahaan-perusahaan, wajib melakukan segala sesuatu yang perlu untuk
memulai atau meneruskan usahanya secaa layak menurut ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri Pertanian.
Jika pemegan hak tersebut belum
memenuhi kewajibannya, maka atas pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht
yang bersanglkutan dapat dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga
dapat dibatalkan, jika menurut pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri
Pertanian sikap pemegang hak selama waktu yang ditentukan tidak berniat
mengusahakan perusahaan perkebunannya sebagaimana mestinya.
Tanaman dan bangunan di atas tanah
tersebut yang menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan untuk kelangsungan
atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh negara dengan pemberian
ganti kerugian.
7. Kenaikan Canon
dan Cijn.
Canon adalah uang
yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap tahunnya kepada negara,
sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi
perusahaan perkebunan besar. Pada umumnya, ccnon dan cijn dulu
tidak besar jumlahnya, karena terutama dianggap sebagai tanfa pengakuan hak
pemilik tanah yang dikuasainya dengan hak erfacht atau konsesi.
Setelah Indonesia merdeka, sebgaian
besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan diusahakan, sehingga uang wajib
yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain, yaitu sebagai
sewa pemakaian tanah.
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957
tentang Perubahan Canon dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna
perkebunan besar ditetpkan bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib
tahunan ini harus ditinjau kembali.
8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin.
Untuk mencegah meluasnya pemakaian
tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk
menyelesaikan soal pemakaian tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian
Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Undang-undang darurat ini diubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian
tanah ranpa izin yangberhak atau kuasanya diatur oleh Undang-undang Nomor 51
Prp Tahun 1960. undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6
Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa
izin yang berhak atau kuasanya yang saha adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana. Menurut
Psal 3 jo. Pasal 5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan mengingat
kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan dan penggunaan
tanah yang dipai itu.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasi adalah salah satu
bentuk perjanjian antara pemili tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di
mana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan tanah itu dengan pembagaian
hasilnya menurut imbagan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Perjanjian bagai hasil semula diatur
menurut hukum adat setempat. Imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya, pembagian hasil tersebut tidak
menguntungka pihak penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan
tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.
Mengingat bahwa golongan penggarap bagi
hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah dan selalu dirugikan, maka dalam
rangka melindungi mereka, dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang
membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah
mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap mperjanjian bagi hasil yang
merugikan penggarapnya.
10.
Peralihan tugas dan wewenang agraria.
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan
1955 urusan agraria berada dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria
yang berdiri sendiri yang terpisah dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam
Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan Pendafataran
Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam
lingkungan Kementrian Agraria.
Berdasarka Undang-undang Nomor 7 Tahun
1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri
kepada Menteri Agraria, serta pejabat-pejabat di daerah. Dengan keluarnya
undang-undang tersebut, maka lambat laun terbentuklah aparat agraria di tingkat
provinsi, karasidenan, dan kabupaten/kotamadya.
B. Sejarah Penyusunan UUPA.
Perjalaanan
panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia rancangan,
yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
1. Panitia Rancangan Yogyakarta.
a. Dasar Hukum.
Panitia ini
dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948,
berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian
Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang
soal-soal mengenai hukum tanah pada umumnya;
2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik
agararia Republik Indonesia;
3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan
peraturan-peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan
Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka;
4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan
hukum tanah.
b. Asas-asas yang Menjadai Dasar Hukum
Agraria Indonesia.
Panitia ini
mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria
yang baru, yaitu :
1) Meniadakan asas domein dan pengakuan
adanya hak ulayat;
2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan
adanya hak perseorangan yang dapat dibebani hak tanggungan;
3) Mengadakan penyelidikan terutama di
negara tetangga tentang kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepaa orang asing;
4) Perlu diadakan penetapan luas minimum
pemilikan tanah bagi apra petani kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2
hektar;
5) Perlu adanya penetapan luas maksimum
pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang
macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan penelitian lebih lanjut;
6) Perlu diadkan regidsrasi tanah milik
dan hak-hak lainnya.
c. Keanggotaan
Panitia.
Panitia
Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :
1) Para pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;
2) Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;
3) Para ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;
4) Wakil dari dari sarikat buruh
perkebunan;
2. Panitia Jakarta.
a. Dasar Hukum.
Panitia
Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor : 3 6 Tahun 1951 tanggal
19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria Jakarta yang
berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan.
Panitia Jakarta beranggotakan :
1) Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian
pada tahun 1953 diganti oleh Singgih Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian
Agraria Kementrian Agararia);
2) Pejabat-pejabat kementrian;
3) Pejabat-pejabt jawatan; dan
4) Wakil-wakil organisasi tani.
c. Usulan kepada pemerintah.
Dalam
laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal tanah pertanian,
sebagai berikut :
1) Mengadakan batas minimum pemilikan
tanah, yaitu 2 hektar dengna mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan
dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris;
2) Mengadakan ketentuan batas maksimum
pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
3) Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh
warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan
asli. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat;
4) Bagunan hukum untuk pertanian rakyat
ialah hakl milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai;
5) Pengeturan hak ulayat sesuai dengan
pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.
3. Panitia Soewahjo.
a. Dasar Hukum.
Guna
mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria nasional, maka dengan
Keputusan Presiden RI tertanggal 14 Januari 1956 Nomor : 1 Tahun 1956,
berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris
Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama panitia ini adalah mepersiapkan
rencana undang-undang pokok agararia yang nasional, sedapat-dapatnya dalam
waktu satu tahun.
b. Rancangan Undang-undang.
Panitia ini
berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria pada tanggal 1
Januari 1957 yang pada berisi :
1) dihapuskannya asas domein dan diakuinya
hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan mum (negara);
2) Asas domein diganti dengan hak
kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950;
3) Dualisme hukum agraria dihapuskan.
Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan memuata lembaga-lembga dan
unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat;
4) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai
hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan
hak pakai;
5) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh
warga negara Indonesia yang tidak diadakan pembedaan antara waraga negara asli
dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik
atas tanah;
6) Perlu diadakan penetapan batan maksimum
dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum;
7) Tanah pertanian pada asasnya perlu
dikerjakan dan diushakan sendiri oleh pemiliknya;
8) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan
perencanaan penggunaan tanah.
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6 Mei 1958 Panitia Negara
Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.
4. Rancangan
Soenarjo.
Setelah
diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia
Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk
membahas rancangan tersebut, DPR perlu mengumpulkan bahan yang lebih lengkap
dengan meminta kepada Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad
hoc yang terdiri dari :
Ketua merangkap
anggota : A.M. Tambunan
Wakil Ketua merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota
: Notosoekardjo
Dr. Sahar glr Sutan Besar
K.H. Muslich
Soepeno
Hadisiwojo
I.J. Kasimo
Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga
diperoleh dari Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan Sadjarwo.
Melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945. Karena rancangan Soenarjo
disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal 23 Maret 1960 rancangan
tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD
1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal
29 Desember 1959, Menteri Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo,
Mr, Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna
pihak Universitas Gadjah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan
Drs. Imam Sutigyo.
Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA
diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA
sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
C. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.
1. Sifat Nasional
UUPA.
UUPA mempunyai
du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi atau
mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum agraria nasional.
Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang
fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang
pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum,
konsepsi yang mendasari maupun isinya.
UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan
pembaruan agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca
Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaharuan hukum agraria melalui
unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian
hukum;
2) Penghapusan hak-hak asing dan
konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara
berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan
atas tanah serta hubungan-hubungan hukum yangberhubungan dengan penguasaan
tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian
dikenal dengan program landreform;
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan secara
terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat
nasional material dan formal. Sifat nasional material berkenaan dengan
substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.
a. Sifat Nasional Material
UUPA.
Sifat nasional
materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung asas-asas
berikut :
2) Berdasarkan hukum tanah adat;
3) Sederhana;
4) Menjamin kepastian hukum;
5) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar kepada hukum agama;
6) Memberi kemungkinan suapya bumi, air
dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil
dan makmur;
7) Sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia;
8) Memnuhi keperluan rakyat Indonesia
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
9) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila
sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum
dalam undang-undang;
10)Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5
Juli 1959 dan Manifesto Politik;
11) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
b. Sifat Nasional Formal UUPA.
Sifat nasional
formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA yang memenuhi sifat sebagai
berikut :
1) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia,
yaitu DPRGR;
2) Disusun dalam bahasa nasional
Indonesia;
3) Dibentuk di Indonesia;
4) Bersumber pada UUD 1945;
5) Berlaku dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
2. Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.
Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24
September 1960, maka dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang
bersifat nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan
dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.