PEDOMAN MATA KULIAH HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
MAKNA DAN TUJUAN
Pendidikan
dan Latihan Kemahiran Hukum ialah suatu usaha penguasaan dan penerapan dari
pelajaran yang berkaikan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum melalui
badan-baran peradilan. Hukum sebagai suatu norma dan peraturan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah merupakan petunjuk, perintah dan
larangan bagi semua anggota masyarakat dan semua warga Negara. Petunjuk,
perintah dan larangan yang berlaku didalam suatu masyarakat dan Negara tersebut
tidak dapat berjalan secara otomatis begitu saja, akan tetapi perlu
dilaksanakan yang kalau perlu juga dengan paksaan, agar supaya ketentraman dan
ketertiban didalam masyarakat dan Negara dapat berjalan dengan baik.
Bagaimana Negara sebagai pemegang
kekuasaan didalam masyarakat mengatur agar ketentuan-ketentuan hukum material
ditaati oleh semua orang dan bagaimana melakukan tindakan apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum material, maka dibuatlah peraturan atau ketentuan
yang sifatnya formal. Hukum formal inilah yang dinamakan Hukum Acara, yaitu
peraturan atau ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk menegakkan hukum material
melalui badan-badan peradilan.
Untuk mengatakan hukum perdata
material, maka dibuatlah Hukum Acara Perdata, yang tujuannya adalah untuk
menjadi dasar dan pedoman dalam menegakkan Hukum Perdata Material apabila
terjadi pelanggaran terhadapnya. Hukum Acara Perdata tersebut menjadi dasar dan
pedomanbagi mereka yang hak-haknya diganggu, untuk mengajukan tuntutan hak
melalui badan-badan peradilan. Oleh karena Hukum Acara Perdata yang merupakan
hukum formal pelaksanaannya didalam praktek masih memerlukan aplikasi dan
implementasi.
2.
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN DAN LATIHAN
KEMAHIRAN HUKUM
Meskipun
Hukum Acara terdiri dari Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi yang menjadi pokok pembicaraan
utama dalam mata kuliah ini hanyalah implementasi dan aplikasi yang berhubungan dengan Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara saja. Atas dasar itu maka hanya
terfokus membicarakan perihal hak dan pengajuan tuntutan hak dalam bidang
perdata.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap
orang yang merasa mempunyai suatu hak tentu akan berusaha menikmati haknya
tersebut tanpa adanya gangguan dari pihak lain, akan tetapi berbeda dengan
kenyataan yang terjadi dalam kehidupan mayarakat sehari-hari, selalu terjadi
gangguan terhadap hak-hak perdata dari satu anggota masyarakat yang satu dengan
yang lainnya.
Permasalahan baru akan timbul apabila
terjadi gangguan terhadap hak tersebut tidak dapat diselesaikan dengan
baik-baik oleh mereka yang terlibat. Dalam keadaan demikian maka akan timbul
dua kemungkinan yaitu :
a.
Pihak
yang merasa haknya di ganggu oleh pihak lain berusaha dengan kekerasan dan
kekuatan dan kekuatan sendiri memaksa pihak lain yang dianggap menganggu haknya
untuk menyerahkan atau menuruti kemauan pihak yang merasa dirugikan, sehingga
dalam hal demikian terjadi perbuatan mengHakimi sendiri (eigenrichting).
b.
Pihak
yang merasa haknya diganggu pihak lain mengajukan tuntutan hak melalui
pengadilan yang berwenang, untuk itu pihak tersebut harus mengajukannya menurut
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, yang termuat dalam Hukum Acara
Perdata.
Karena Hukum Acara Perdata pada
dasarnya juga baru merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tentang bagaimana
tuntutan hak itu diajukan ke Pengadilan yang berwenang, maka diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan untuk mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum
Acara Perdata tersebut. Misalnya Pasal
118 HIR sebagai ketentuan Hukum Acara Perdata menentukan : “tuntutan sipil yang mula-mula harus di
adili oleh Pengadilan Negeri, dimasukkan dengan surat permintaan yang ditanda
tanggani oleh orang yang menggugat atau wakilnya ……. Dan seterusnya” memerlukan implementasi dan aplikasi tentang :
-
Apa
yang dimaksudkan dengan tuntutan sipil itu;
-
Bagaimana
bentuk surat permintaannya;
-
Apasaja
yang harus dimuat dalam surat permintaan, dan lain-lainnya.
Contoh masalah tersebut diatas yang
menjadi bahan pokok pembahasan dalam mata kuliah Pendidikan dan Latihan
Kemahiran Hukum. Sebab dalam praktek, meskipun seseorang itu mengerti dan
memahami benar tentang hukum pembuktian misalnya, akan tetapi belum tentu orang
tersebut dapat menerapkannya didalam suatu kasus yang benar-benar dihadapinya.
Pasal 164 HIR menentukan
bahwa yang disebut bukti itu ialah :
1. Bukti surat;
2. Bukti saksi;
3. Bukti sangka;
4. Bukti pengakuan;
5. Bukti sumpah.
Akan tetapi didalam praktek untuk
mengajukan bukti surat misalnya, masih harus dipenuhi proses dan prosedur
sampai surat tersebut benar-benar bisa menjadi alat bukti dalam suatu perkara.
Dengan tidak dipenuhinya proses dan prosedur dalam mengajukan suatu surat
sebagai alat bukti, maka besar kemungkinan surat yang sebenarnya dapat menjadi
kunci pintu kemenangan dalam suatu perkara, tidak dapat dinilai oleh Hakim,
yang berakibat dia akan menjadi kalah karena tidak berhasil membuktikan
kebenaran dalil yang dikemukakan dengan surat bukti yang dimilikinya.
Dari beberapa hal contoh uraian
tersebut diatas dapat diketahui bahwa ruang lingkup Pendidikan Dan Latihan
Kemahiran Hukum isinya adalah implementasi dan aplikasi dari
ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata yang sebagian besar termuat dalam
HIR/RIB dan ketentuan-ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang
bersumber kepada Undan-undang No.5 Tahun
1986.
BAB II
TENTANG TUNTUTAN HAK
1.
MACAM-MACAM TUNTUTAN HAK
Tuntutan
hak adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak,
yang diberikan oleh pengadilan guna mencegah eigenrichting atau main Hakim sendiri. Orang yang
mengajukan tuntutan hak itu berkepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum,
sehingga dia mengajukan tuntutannya melalui pengadilan. Namun demikian juga
tidak semua kepentingan dapat dijadikan dasar untuk mengajukan tuntutan hak,
misalnya : A berhutang kepada B, setelah
jangka waktu yang ditetapkan untuk membayar terlampaui, A tidak mau membayar
Hutangnya, kemudian C sebagai kakak dari B merasa bertanggung jawab membela B
sebagai adiknya, dengan tanpa mendapat kuasa dari B mengugat A untuk melunasi
hutangnya kepada B.
Meskipun dalam contoh tersebut tidak
dapat disangkal C mempunyai kepetingan untuk membela B, akan tetapi
kepintinganya tersebut kurang cukup menjadi dasar timbulnya hak untuk
mengajukan tuntutan hak ke pengadilan dan sudah barang tentu tuntutan hak yang
demikian tidak dapat diterimah oleh pengadilan. Jadi tidak setiap orang yang
mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntunan haknya ke pengadilan. Untuk mencegah agar supaya orang
tidak sembarangan dalam mengajukan tuntutan haknya ke pengadilan, yang pasti
akan menyulitkan kepada pengadilan, maka hanya kepentingan yang cukup dan layak
serta mempunyai dasar hukum saja yang dapat diterima sebagai dasar untuk
mengajukan tuntutan hak.
Bahwa suatu tuntutan hak harus
mempunyai kepentingan hukum yang cukup, adalah merupakan syarat utama untuk
dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh hak pengadilan untuk diperiksa. Namun
tidak berarti semua tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dapat
diterimah, sebab untuk itu masih tergantung kepada pembuktian. Baru apabila hak
tuntutan hak itu dapat terbukti berdasarkan alat bukti yang sah maka tuntutan
hak itu dapat di kabulkan. Tuntutan hak sebagaimana yang di
kemukakan di atas yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari
pengadilan guna menghindari eigenrichting, dapat dibedakan mejadi dua macam
yaitu:
a.
Tuntutan
hak yang tidak mengandung sengketa, seperti pengesahan kelahiran, pengesahan
kematian, pengesahan pengangkatan anak dan lain-lainnya.
b.
Tuntutan
hak yang mengandung sengketa, misalnya tuntutan untuk membayar hutang, tuntutan
untuk membagi harta warisandan lain-lainnya.
2.
TUJUAN MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK
Orang atau pihak yang merasa
mempunyai hak akan tetapi haknya tersebut belum memperoleh kepastian atau hak
tersebut diganggu oleh pihak lain, sudah barang tentu orang atau pihak tadi
merasa tidak tenang dan tidak tentram. Karena itu wajar bila pihak tersebut
berusaha untuk memperoleh kepastian dan perlindungan mengenai haknya tersebut.
Tuntutan hak itu adalah tindakan yang
tujuannya untuk memperoleh perlindungan hukum atas haknya, yang diberikan oleh
penguasa yang dalam hal ini adalah pengadilan, supaya tidak terjadi eigenrichting
(tindakan main Hakim sendiri) tidakan seperti ini ialah tindakan
sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga
menimbulkan kerugian. Contoh Pasal 666 ayat (3) KUH Perdata yang
mengatakan “Adalah akan-akar pohon
tetangganya tumbuh dalam tanah pekarangannya maka berhaklah dia memotongnya
sendiri, jika tetangga satu kali di tegur menolak untuk memotongnya, dan asal
ia sendiri tidak menginjak pekarangan sitetangga” menurut pasal diatas
seolah-olah main Hakim sendiri itu dibenarkan, dimana orang boleh melakukan
sendiri pemotongan akar-akar dan dahan-dahan tanaman orang lain tanpa
persetujuan pemiliknya. Namun sebenarnya menurut pasal tersebut main hakin
sendiri tetap dilarang, sebab pasal tersebut mensyaratkan adanya teguran
terlebih dahulu dan baru kalau terguran tidak dihiraiukan boleh dilakukan
tindakan. Jadi pada Pasal 666 ayat (3) KUH Perdata setidaknya yang bersangkutan
telah memberitahukan terlebih dahulu.
3.
TATA CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK
Tarta cara untuk mengajukan tuntutan
hak dibedakan antara tuntutan hak yaitu yang mengandung sengketa dan tuntutan
hak yang tidak mengandung sengketa, keduanya diajukan kapada pengadilan yang
berwenang. Apabila tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa diajukan dalam bentuk surat permohonan yang diajukan ke
Pengadilan, misalnya permohohan pengesahan pengangkatan anak, pengesahan
kelahiran yang pencatatannya terlambat diajukan.
Peradilan untuk tuntutan hak yang
tidak mengandung sengketa dilakukan oleh Peradilan Volunter (Voluntaire
Jurisdictie) .
Sedangkan tuntutan hak yang
mengandung sengketa, seperti tuntutan pembayaran ganti rugi karena wanprestasi atau
anrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum) diajukan dengan
suatu surat gugatan. Peradilan terhadap tuntutan hak yang mengandung sengketa
dilakukan oleh peradilan contetieus (contentieuse jurisdictie).
Apabila tuntutan hak itu diajukan sendiri oleh orang yang berkepentingan maka
hal tersebut pada dasarnya dapat diajukan secara lisan ataupun tertulis kecuali
kalau ditentukan lain. Sedangkan tuntutan hak itu diajukan dengan menggunakan
seorang kuasa, maka harus didasarkan suatu surat kuasa yang diberikan oleh
pemberi kuasa.
Pemberian kuasa menurut Pasal 1792 KUH Perdata adalah suatu
persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pemberi kuasa
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Untuk kuasa yang diberikan secara
lisan, harus dilakukan didalam sidang dan dicatat dalam berita acara
persidangan. Sedangkan pemberian kuasa secara tertulis dapat diberikan akta
kuasa dibawah tangan dan dapat dengan akte otentik. Akta dibawah tangan ialah akta yang
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, seperti
Notaris, pejabat Pamong Praja dengan kedudukan terendah Camat, Hakim dan
lain-lainnya.
Dalam pemberian kuasa secara tertulis
dibedakan antara orang yang pandai menulis dan orang yang tidak pandai menulis,
bagi orang yang pandai menulis dalam memberikan kuasa secara tertulis dapat
dilakukan dengan akte onderhand (akte dibawah tangan),
akan tetapi bagi yang tidak pandai menulis pemberian kuasa tersebut harus
dilakukan dengan akte yang otentik.
Surat kuasa itu sah dan mempunyai
kekuatan hukum kalau di tanda tangani oleh pemberi kuasa atau diberi cap
jempol, serta diberi materai yang cukup yaitu materai Rp.1.000,-. Sedangkan
adanya tanda tangan dari penerima kuasa didalam surat kuasa adalah tidak
mutlak.
Bagi seorang penerima kuasa dalam
mengajukan tuntutannya ke Pengadilan baik untuk tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa atau yang mengandung sengketa harus dilampiri dengan surat
kuasa asli, apabila tidak terlampir tidak sah dan tidak dapat diterima di
Pengadilan.
Pasal 120 HIR,
tuntutan hak yang diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
Ketua itu mencatat tuntutan atau menyuruh mencatatnya. Dalam praktek tuntutan
hak yang diajukan secara lisan tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada
seorang Hakim atau kepada Panitera untuk atas nama ketua mencatat tuntutan hak
secara lisan tersebut.
Sedangkan tuntutan hak yang dilakukan
secara tertulis, diajukan sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 HIR, yaitu diajukan dengan
suatu surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya,
menurut Pasal 123 HIR kepada Ketua Pengadilan
Negeri, yang dalam pegangannya terletak tempat diam orang yang digugat, atau
jika tidak ketahuan tempat diamnya maka tempat sebetulnya ia tinggal.
Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa yang diajukan ke Pengadilan Negeri, setelah dibayar uang muka biaya
perkaranya, oleh Panitera dicatat didalam buku register untuk itu dengan diberi
nomor perkara yang diberi kode ( Pdt.P ) Sehingga perkara tersebut
selengkapnya menjadi bernomor, contoh : No
…/Pdt.P/199./PN … untuk pembayaran uang muka biaya perkara,
pemohon memperoleh bukti tanda terima pembayaran, permohonan itu sendiri harus
dibuat paling sedikit rangkap 2 (dua) dimana 1 Ex untuk pengadilan dan 1 Ex
untuk arsip pemohon.
Setelah pengugat membayar uang muka
biaya perkaranya, Panitera mencatat dalam buku register untuk itu dan member
nomor perkara dengan ( Pdt.G) atau (Pdt.Plw) sehingga nomor perkara itu
selengkapnya menjadi No…./Pdt.G/199./PN
…. Atau No…./Pdt.Plw/199./PN …..
Untuk tuntutan hak yang mengandung
sengketa harus dibuat dalam rangkap sejumlah Majelis Hakim ditambah jumlah
tergugat/terlawan ditambah 1 (satu) untuk arsip penggugat. Jadi kalau
tergugat/terlawannya sebanyak 5 orang, maka gugatan atau perlawanan tersebut
harus dibuat rangkap 3 ditambah 5 ditambah 1 menjadi 9.
Tentang kuasa untuk mengajukan
tuntutan hak yang diberikan oleh suatu badan hukum, maka tentu saja badan hukum
tersebut diwakili oleh pengurusnya yang menurut angaran dasarnya diberi
wewenang bertindak mewakili badan hukum tersebut, karena badan hukum itu
sendiri tidak mungkin membubuhkan tanda tangannya didalam surat kuasa. Dengan
ketentuan pengurus yang mewakili badan hukum tersebut harus tegas menyebutkan
dalam hal itu bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang diwakilinya.
4.
ISI PERMOHONAN DAN ISI GUGATAN
Baik
pemohoan atau gugatan yang diajukan ke Pengadilan harus memuat identitas jelas
dari pemohon atau pengugat yang antara lain terdiri dari, nama lengkap, umur,
pekerjaan dan alamatnya. Sedangkan kalau permohonan atau gugatan tersebut
diajukan oleh kuasanya, maka didalam surat permohonan atau surat gugatan juga
harus dimuat identitas si kuasa yang juga terdiri dari nama lengkap, umur,
pekerjaan serta alamatnya serta waktu pemberian kuasa.
Untuk
tuntutan hak yang berbentuk gugatan, selain harus memuat identitas pihak
penggugat, juga harus memuat identitas dari pihak tergugat atau para tergugat
yang pada pokoknya juga sama dengan penyebutan identitas untuk pemohon atau
penggugat.
Selain
itu gugatan atau permohonan adalah bagian yang berisi tentang kejadian-kejadian
atau peristiwa yang menjadi sebab atau dasar diajukannya gugatan atau
permohonan beserta ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi landasannya. Jadi
didalam Posita (dasar-dasar Alasan-alasan
gugatan), atau Potitum (hal2 apa
saja yg harus diputuskan oleh seorang hakim), dari suatu gugatan atau
permohonan dimuat hal-hal yang terdiri dari :
a. Tentang
kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan, peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta
yang berhubungan dengan gugatan atau permohonan.
b.
Ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan kejadian, perbuatan,
peristiwa dan atau fakta tersebut.
Posita (dasar-dasar/ Alasan-alasan gugatan)
atau Fundamentum Petendi dari suatu
gugatan atau permohonan, memuat dalil-dalil yang bersifat kenyataan dan
dalil-dalil yang bersifat Yuridis, menjadi
dasar dari apa yang diminta didalam gugatan atau permohonan tersebut, yang
dinamakan Petitum (hal2 apa saja yg
harus diputuskan oleh seorang hakim).
Bagian
ketiga dari suatu gugatan atau permohonan adalah yang disebut Petitum, dalam bagian ini penggugat atau
pemohon mengemukakan secara rinci apa yang diminta untuk dinyatakan atau
ditetapkan oleh Pengadilan, sesuai dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan
didalam Posita atau Fundamentum
Petendi gugatan atau permohonan itu.
Mengenai
Petitum, terutama Petitum
dari suatu gugatan dapat dibedakan menjadi Petitum yang bersifat Profesional dan Petitum yang bersifat
Prinsipal, sedangkan Petitum yang
bersifat Prinsipal dibedakan lagi menjadi Petitum
utama (Primair) dan Petitum penganti
(subsidair). Didalam Petitum suatu gugatan agau permohonan dikemukakan apa
yang sebenarnya diminta oleh penggugat atau pemohon. Petitum tersebut dapat
bersifat Deklaratoir, constitutive maupun
Condemnatoir. Petitum Deklaratoir
adalah petitum yang memohon agar
suatu keadaan hukum diterangkan atau ditegaskan oleh pengadilan atau Hakim.
BAB III
TENTANG PEMBERIAN KUASA
1.
PENGERTIAN PEMBERI KUASA DAN SURAT
KUASA
Tentang
pemberian kuasa diatur didalam Buku Ketiga Bab XVI KUH. Perdata (Kitab
Undang-undang Hukum Perdata) atau B.W (Burgerlijk Wetboek), karena Buku Ketiga KUH.Perdata adalah mengatur
tentang perikatan, maka pemberi kuasa tersebut termasuk suatu jenis perikatan.
Menurut
Pasal 1792 KUH.Perdata, pemberian
kausa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada
oranglain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.
Pasal 1973 KUH.Perdata menentukan bahwa kuasa
dapat diberikan dan diterima dalam suatu akte umu, dalam suatu tulisan dibawah
tangan, bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Pasal 1793 ayat (2) KUH.Perdata menentukan bahwa
penerimaan suatu kuasa dapat juga terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh penerimanya.
Dari
kedua pasal dalam KUH.Perdata itu dapat diketahui bahwa kuasa terjadi karena
adanya suatu persetujuan antara pemberi dan penerima kuasa untuk
menyelenggarakan suatu urusan, yang memberi kuasa tersebut harus dinyatakan
secara tegas oleh pemberi kuasa, sedangkan untuk penerimanya dapat dilakukan
secara diam-diam yang disimpulkan dari perbuatan penerima kuasa.
Dari
ketentuan pasal-pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa pemberi kuasa itu
dapat dilakukan dengan akte otentik maupun dengan akte onderhand dan bias juga
secara lisan.
Selanjutnya
Pasal 1795 KUH.Perdata mengatakan
bahwa pemberi kuasa dapat dilakukan secara khusus mengenai hanya satu
kepentingan tertentu atau lebih, dan dapat secara umum yaitu meliputi segala
kepentingan dari si pemberi kuasa.
Pasal 1797 KUH.Perdata menentukan bahwa penerima
kuasa tidak diperbolehkan melakukan suatu apapun yang melampaui kuasanya,
kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan
perdamaian, sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya
kepada keputusan Wasit (Hakim).
Pasal 1799 KUH.Perdata mengatakan bahawa, si
pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan si kuasa telah
bertindak dalam kedudukannya, dan menuntut dari padanya pemenuhan
persetujuannya.
Kuasa
untuk mengajukan tuntutann hak ke Pengadilan Negeri, baik itu tuntutan hak yang
tidak mengandung sengketa maupun yang mengandung sengketa harus berupa kuasa
khusus, yaitu kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa secara khusus mewakili
urusannya tentang suatu hal di pengadilan.
Hal tersebut sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 1797 KUH.Perdata dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia (SEMA R.I)
Untuk
ketentuan hak yang diajukan oleh kuasa ke Pengadilan, maka surat kuasa
khususnya harus dilampirkan didalam surat ketentuan hak tersebut. Surat kuasa
yang dimaksud disini adalah surat kuasa khusus yang dibuat dan di tanda tangani
atau diberi cap ibu jari oleh pemberi kuasa, dengan maksud untuk membuktikan
perbuatan persetujuan pemberian kuasa.
Tanda
tangan atau cap ibu jari pemberi kuasa didalam suatu surat kuasa adalah mutlak
untuk sahnya suatu surat kuasa, sedangkan tanda tangan dari penerima kuasa
adalah tidak mutlak, pemberian kuasa secara lisan pembuktiannya dilakukan
dengan suatu berita acara yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
2.
BENTUK DAN ISI SURAT KUASA
Pemberian
kuasa oleh seseorang kepada orang lain dpat dilakukan secara lisan dapat juga
secara tertulis, bentuk pemberian kuasa secara lisan dituangkan dalam berita
acara yang sah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu, sedangkan
secara tertulis dilakukan dalam bentuk Surat Kuasa Khusus, yang didalamnya
berisi perihal sebagai berikut :
a. Judul surat kuasa;
b.
Identitas
pemberi dan penerima kuasa;
c.
Ikrar
atau pernyataan pemberian kuasa oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa;
d.
Urusan
atau permasalahan yang dikuasakan;
e.
Pemilihan
domisili pemberi kuasa untuk urusan yang dikuasakan;
f.
Waktu
dan tempat pemberian kuasa;
g.
Tanda
tangan pemberi dan penerima kuasa;
h.
Materai
Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
ad. a : Judul Surat Kuasa.
Dalam surat kuasa untuk mengajukan
tuntutan hak ke pengadilan judulnya adalah “Surat Kuasa Khusus” yang berarti
surat kuasa tersebut hanyalah khusus untuk mengajukan tuntutan hak ke
Pengadilan tertentu, baik untuk tuntutan hak yang berupa permohonan maupun yang
berupa gugatan.
ad. b : Identitas penerima dan pemberi kuasa.
didalam
surat kuasa harus disebutkan secara jelas identitas dari penerima dan pemberi
kuasa yang terdiri dari nama lengkap, umur, pekerjaan dan alamatnya. Bagi
pemberi kuasa yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum, didalam surat
kuasa harus disebutkan secara tegas kedudukannya sebagai kuasa dari badan hukum
itu yang berarti harus menyebut identitas dari badan Hukum yang dimiliki.
ad. c. Ikrar pemberi kuasa.
Pemberi kuasa didalam surat kuasa
harus secara tegas menyatakan maksudnya memberikan kuasa kepada penerima kuasa,
sebab justru pemberian kuasa baru terjadi kalau ada pernyataan kehendak
tersebut.
ad. d. Urusan atau permasalahan yang dikuasakan.
Urusan atau permasalahan yang
dikuasakan harus secara tegas dicantumkan didalam surat kuasa, dengan maksud
agar penerima kuasa mengetahui secara tepat yang harus dan boleh dilakukannya,
disamping itu pencantuman urusan dan permasalahan didalam surat kuasa adalah
agar masing-masing pihak menegetahui batas wewenangnya.
ad. e. Pemilihan domisili.
Didalam surat kuasa harus disebutkan
domisili yang dipilih untuk urusan yang dikuasakan, dengan maksud agar dalam
hubungannya dengan pihak ketiga dapat diketahui domisilinya.
ad. f. Waktu dan tempat pemberian kuasa.
Terutama waktu pemberian kuasa harus
disebutkan didalam surat kuasa, tujuannya untuk bias mengetahui tindakan yang
harus dilakukan oleh penerima kuasa dilakukan sebelum atau sesudah pemberian
kuasa.
ad. g. Tanda tangan pemberi kuasa dan penerima
kuasa.
Tanda tangan yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah termasuk cap jempol pemberi kuasa. Tanpa adanya tanda tangan
dari pemberi kuasa maka surat kuasa itu tidak sah.
ad. h. Materai Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
Karena surat kuasa dimaksudkan untuk
bukti adanya suatu perbuatan hukum persetujuan pemberi kuasa, maka
ketentuan menurut Undang-undang tentang
Bea materai, supaya dapat diterima sebagai alat bukti maka surat kuasa tersebut
harus bermaterai cukup, yaitu Rp. 1.000,0 (seribu rupiah)
Sebagai
suatu perjanjian maka surat kuasa akan berakhir atau menjadi hapus karena
beberapa sebab sebagaimana disebut didalam Undang-undang, yaitu Pasal 1813-1819 KUH. Perdata.
Menurut ketentuan
tersebut diatas surat kuasa berakhir karena :
a. Ditariknya kembali (dicabut)
pemberian kuasa itu oleh pemberi kuasa.
b.
Meninggalnya
pemberi kuasa.
c.
Ditaruhnya
pemberi kuasa dibawah pengapuan.
d.
Peilitnya
pemberi atau penerima kuasa.
e.
Perkawinan
perempuan yang memberikan kuasa dengan penerima kuasa.
3.
MACAM-MACAM SURAT KUASA
Menurut
Pasal 1795 KUH. Perdata, kuasa atau
surat kuasa dapat diberikan secara umum untuk semua urusan dari pemberi kuasa
dan dapat pula diberikan secara khusus untuk urusan-urusan tertentu saja. Oleh
karena pemberian kuasa adalah termasuk dalam perikatan yang tinmbul karena
persetujuan atau kesepakatan, maka pemberi kuasa tersebut merupakan pertikatan
terbuka. Artinya pemberian kuasa itu dapat dilakukan dengan menyimpang dari
ketentuan Undang-undang tentang berakhirnya kuasa.
Peyimpangan
tentang berakhirnya pemberian kuasa ini sebagaimana termuat dalam Pasal 1813 KUH. Perdata, apabila
dikehendaki oleh pihak harus dicantumkan secara tegas didalam surat kuasa.
Dengan demikian maka surat kuasa itu tidak menjadi gugur atau hapus karena
alasan-alasan yang termuat didalam Pasal 1813 KUH. Perdata tersebut. Surat
kuasa tersebut dinamakan surat kuasa mutlak.
Sesuai
dengan uraian tersebut diatas, maka surat kuasa ditinjau dari isinya dapat
dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Surat Kuasa Umum;
Adalah pemberian kuasa secara umum tentang segala urusan dari
pemberi kuasa kepada penerima kuasa, menurut ketentuan Pasal 1796 ayat (1) KUH. Perdata, pemberian kuasa yang durumuskan
dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Untuk
perbuatan memindah tangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik
diatasnya, atau untuk membuat suatu perdamaian maupun suatu perbuatan yang lain
yang hanya dapat dilakukan seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa
dengan kata-kata yang tegas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1796 ayat (2) KUH. Perdata.
Dari ketentuan Pasal
1796 ayat 1 dan 2 KUH. Perdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
Surat Kuasa Umum itu hanya berlaku untuk masalah pengurusan atau pengelolaan
barang-barang milik pemberi kuasa saja. Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan
atau tindakan-tindakan yang berupa transaksi pemindah tanganan barang-barang
atau pembebanan hipotik atas barang-barang itu, melakukan perdamaian atau
perbuatan-perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh pemilik, penerima
kuasa hanya dapat melakukannya apabila hal-hal tersebut secara tegas disebutkan
dalam Surat Kuasa.
b.
Surat
Kuasa Khusus;
Adalah surat kuasa yang berisi pemberian kuasa tentang
urusan-urusan tertentu dari pemberi kuasa pada penerima kuasa, didalam surat
kuasa khusus disebutkan secara tegas hal-hal atau urusan-urusan yang dapat
dilakukan oleh penerima kuasa untuk kepentingan pemberi kuasa. Karena itu
didalam surat kuasa khusus untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada
Pengadilan harus secara tegas disebutkan perbuatan-perbuatan atau
tindakan-tindakan yang dapat dan boleh dilakukan penerima kuasa.
c.
Surat
Kuasa Mutlak;
Adalah surat kuasa yang diberikan dengan menyimpangdari
ketentuan tentang gugurnya pemberian kuasa yang ditentukan dalam Undang-undang.
Kuasa Mutlak biasanya dibuat karena pemberian kuasa tersebut berhubungan dengan
adanya suatau perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa tentang
suatu yang dilaksanakannya belum dapat dilakukan secara tuntas karena ada
persyaratan pperundang-undangan yang belum dapat dipenuhi, misalnya perjanjian
jual beli tanah.
Menurut Peraturan
Pemerintah Nomer 10 tahun 1960, transaksi jual beli tanah harus dilakukan
dengan akte yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Sedangkan PPAT
hanya boleh membuat akte jual beli tanah, bagi tanah-tanah yang telah dibukukan
atau bersertipikat. Karena tanah yang menjadi obyek jual beli mash berupa tanah
dengan bukti Petok D, maka biasanya transaksinya dilakukan dengan akte ikatan
jual beli yang disertai dengan suatu surat kuasa mutlak dari pihak penjual
kepada pihak pembeli.
Tujuan dari pemberian kuasa mutlak adalah untuk menjaga
apabila sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari,
maka pihak pembeli dapat melakukan tindakan Hukum untuk menuntaskan jual beli
tersebut atas dasar Kuasa Mutlak yang dipegangnya. Jadi dengan surat kuasa
Mutlak tersebut pihak pembeli dapat mengurus pendaftaran (Konfersi) tanah yang
telah dibelinya untuk memperoleh sertipikat.
Dengan dibuatnya akte ikatan jual beli dan dilakukan
pembayarannya secara penuh, sebenarnya jual beli tersebut secara material sudah
selesai, akan tetapi secara formal belum selesai, sebab belum dapat dilakukan
pembuatan Akte Jual Beli oleh PPAT.
BAB IV
PEMERIKSAAN DISIDANG PENGADILAN
1.
PANGGILAN TERHADAP PARA PIHAK.
Apabila
Pengadilan Negeri menerima pengajuan tuntutan hak, baik berupa gugatan maupun
berupa permohonan dan proses administratifnya telah diselesaikan di
Kepaniteraan, maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim atau Majelis Hakim
yang ditugaskan memeriksa permohonan atau gugatan tersebut didalam persidangan,
dengan membuat suatu Penentapan Penunjukkan Hakim (Majelis Hakim)
Sebelum
tuntutan hak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, terlebih dahulu akan
diseleksi di Kepaniteraan dengan diberi kode “P” untuk tuntutan hak yang berupa
permohonan, kode “G” untuk tuntutan hak yang berupa gugatan dan kode “Plw”
untuk yang berupa perlawanan. Jadi kode-kode untuk permohonan hak yang diajukan
ke Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut :
a. Nomor : …./Pdt.P/20…./PN….., untuk
perkara permohonan,
b.
Nomor
: …./Pdt.G/20…./PN….., untuk perkara gugatam,
c. Nomor : …./Pdt.Plw/20…./PN….., untuk
perlawanan,
Selanjutnya
Hakim atau Majelis Hakim yang telah di tunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk
memeriksa perkara dalam persidangan, menetapkan hari sidang dan memerintahkan
Panitera Pengganti perkara tersebut membuat surat panggilan (relaas panggilan) untuk
menghadap sidang pada hari yang telah ditentukan. Penyampaian Relaas panggilan
kepada para pihak untuk mendatangi sidang disampaikan oleh Jurusita.
Cara
untuk melakukan pemanggilan kepada para pihak, diatur didalam Pasal 388,390 dan 391 HIR. Yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
Pasal 388 HIR menentukan :
Ayat 1 : Untuk
menjalankan panggilan, pemberitahuan dan sekalian surat jurusita yang lain,
juga untuk melaksanakan perintah Hakim dan putusan Hakim, sama-sama berhak dan
diwajibkan sekalian jurusita dan pesuruh yang bekerja pada Mejelis Pengadilan
dan pegawai kuasa Umum;
Ayat 2 : Jika
tidak ada orang demian itu, maka ketua Majelis Pengadilan, yang dalam
pegangannya surat jurusita itu akan dijalankan, harus menunjukkan seorang yang
patut dan boleh dipercaya untuk pekerjaan itu.
Pasal 390 HIR menentukan :
Ayat 1 : Tiap-tiap
jurusita, kecuali yang tersebut dibawah ini, harus disampaikan kepada orang
bersangkutan sendiri ditempat tingalnya atau diamnyadan jika tidak bertemu
dengan orang itu disitu, kepala desanya atau beknya, yang wajib segera memberitahukan
surat jurusita itu kepada orang itu sendiri, akan tetapi hal itu tidak perlu
dinyatakan dalam Hukum.
Ayat 2 : tentang
orang yang sudah mati, maka surat jurusita itu disampaikan kepada ahli waris
nya, jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada kepala desa
atau bek tempat tingal yang dikemudian dari orang yang mati itu di Indonesia,
maka kepala desa atau bek itu harus berbuat sebagaimana teratur pada ayat
diatas. Jika orang mati itu termasuk golongan orang timur asing, maka surat
jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat kepada weekamer.
Ayat 3 : Tentang
orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya atau diamnya dan tentang orang
yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan pada kepada bupati,
yang dalam peganggannya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa dan dalam
perkara pidana, yang dalam peganggannya berkudukan Hakim yang berhak, bupati
itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkan pada pintu yang tersebar ditempat
persidangan Hakim yang berhak.
Selanjutnya
Pasal 391 HIR menentukan, bahwa
untuk menghitung waktu yang ditentukan dalam reglemen ini, maka hari mulai
waktu itu berlaku tidak turut dihitung. Berdasarkan ketentuan Pasal 390 HIR
maka apabila jurusita tidak dapat bertemu dengan orang yang bersangkutan
sendiri ditempat tinggalnya atau di tempat diamnya surat jurusita harus
disampaikan kepada kepala desanya. Maksud dari ketentuan ini adalah agar supaya
surat tersebut benar-benar diterima oleh orang yang dipanggil atau orang yang
bersangkutan.
Meskipun
Pasal 390 HIR menentukan bahwa kepala desa atau bek wajib menyampaikan surat
jurusita tersebut pada orang yang berakutan sendiri, akan tetapi apabila
ternyata kepala desa atau bek itu tidak juga melakukannya, ternyata tidak ada
sanksi terhadap kelalaian tersebut. Jadi terlepas dari kepala desa atau bek
menyampaikan atau tidak surat jurusita tersebut kepada yang bersangkutan, asal
surat tersebut sudah disampaikan kepada kepala desa atau bek, maka menurut Hukum
orang itu dianggap sudah dipanggil secara patut. Dan apabila kepala desa atau
bek benar-benar tidak menyampaikan surat jurusita kepada yang bersangkutan, ternyata
hal itu tidak dapat ditutut pidana.
Demikian
juga surat pemberitahuan putusan Verstek apabila jurusita tidak dapat bertemu
sendiri dengan pergugat, maka surat pemberitahuan itu juga disampaikan melalui
kepala desa atau bek, dimana kepala desa atau bek kemungkinan lalai tidak
menyampaikan kepada yang bersankutan, maka tanggung waktu untuk mengajukan
perlawanan tetap dihitung dari tanggal pemberitahuan surat putusan kepada
kepala desa atau bek.
Keadaan
seperti itu tentu saja dapat merugikan kepada pihak tergugat dalam putusan
Verstek tersebut, karena kehilangan haknya untuk mengajukan perlawanan atau
Verset, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang. Seorang jurusita yang
benar-benar menghayati tugasnya dan bener-baner memiliki tanggung jawab serta
rasa kemanusiaan yang tinggi, tentu akan secara maksimal berusaha untuk dapat
memberitahu sendiri dengan pihak yang diberitahu atau dengan kuasanya yang sah,
supaya tidak memungkinkan terjadinya kerugian pada pihak yang bersangkutan
karena kehilangan haknya untuk mengajukan perlawanan.
Pasal 122 HIR memuat ketentuan bahwa ketika
menentukan hari persidangan, ketua hendaknya mengingat jauhnya letak tempat
diam atau tempat tingal kedua belah pihak dari tempat Pengadilan Negeri bersidang.
Waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan, lamanya tidak
kurang dari 3 (tiga) hari (dalamnya tidak termasuk hari libur), kecuali dalam
hal yang perlu benar perkara itu lekas diperiksa dan hal itu disebut didalam
surat perintah itu.
Jadi
menurut ketentuan Pasal 122 HIR
tersebut, jarak panggilan diterima oleh terpanggil dengan hari terpanggil harus
menghadap, tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari kerja, yang berarti hari libur
atau hari besar tidak ikut diperhitungkan. Suatu panggilan yang sudah dilakukan
secara sah tetapi tidak dipenuhi oleh terpanggil tanpa alasan yang sah, dapat
dikenakan sanksi yang merugikan dirinya.
2.
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN.
Persidangan
Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara perdata, dilakukan oleh Hakim atau
Majelis Hakim didalam ruang sidang Pengadilan yang bersangkutan. Persidangan
dilakukan sesuai dengan jam, hari, tanggal dan tempat sebagaimana ditentukan
dalam surat panggilan. Hakim atau Ketua Majelis yang memeriksa perkara membuka
persidangan dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.
Pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menentukan :
Ayat 1 : Sidang
Pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang
menentukan lain.
Ayat 2 : Tisak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 mengakibatkan batalnya putusan menurut Hukum.
Selanjutnya
Pasal 18 Undang-undang tersebut
menentukan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum
apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dari
ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 14
Tahun 1970 dapat disimpulkan bahwa pada semua alasannya semua permeriksaan
persidangan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang yang terbuka dan umum,
dengan sanksi apabila persidangan tidak dilakukan demikian putusannya akan
batal menurut Hukum. Kecuali untuk
perkara-perkara tertentu yang menurut Undang-undang persidangan harus dilakukan
secara tertutup akan terjadi sebaliknya yaitu putusannya akan menjadi batal
demi Hukum apabila persidangan dilakukan dengan terbuka dan untuk umum.
Perkara-perkara
yang termasuk itu adalah perkara yang menyangkut kesusilaan seperti perceraian
dan lain-lain. Tetapi meskipun perkara-perkara tertentu yang menurut
Undang-undang persidangannya harus dilakukan dalam persidangan yang dinyatakan
tertutup, untuk memberikan putusannya justru harus tetap dilakukan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.
Hakim
sebagai pimpinan sidang Pengadilan bertanggung jawab atas lancarnya pemeriksaan
Persidangan, didalam persidangan tersebut pertama-tama Hakim akan memeriksa dan
mencocokkan identitas pada pihak satu persatu, apabila identitas dari
masing-masing pihak telah diperiksa dan ternyata sudah benar, maka menurut Pasal 130 HIR hakim terlebih dahulu
harus berusaha memperdamaikan mereka dengan member kesempatan mereka untuk
berdamai.
Ketentuan Pasal 130 HIR tersebut adalah sebagai
berikut :
Ayat 1 : Jika
pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak dating menghadap, maka
Pengadilan Negeri dengan perantaraan Ketuanya akan memperdamaikan mereka itu.
Ayat 2 : Jika
perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu
persidangan, dibuat sebuah akte, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk
mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan
dilakukan sebagai putusan Hakim biasa.
Ayat 3 : Tentang
keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang minta banding (apel)
Dari
ketentuan Pasal 130 HIR tersebut
jelas bahwa usaha Hakim untuk memperdamaikan kedua belah pihak adalah wajib
sifatnya, dan hal itu menurut Pasal 131
HIR harus disebutkan dalam Berita Acara Sidang.
Apabila
usaha memperdamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, barulah pemeriksaan
persidangan dilanjutkan dengan membacakan gugatan penggugat sebagaimana
ketentuan Pasal 131 ayat 1 HIR. Dalam
membacakan gugatan, hakim harus menjelaskan maksud dari gugatan tersebut sampai
pihak tergugat benar-benar mengerti, kalau perlu dengan menggunakan juru
bahasa, sebagaimana diatur dalam Pasal
131 ayat 2 dan 3 HIR.
Agar
supaya jalannya perkara baik dan teratur maka menurut Pasal 132 HIR. Pada waktu memeriksa perkara hakim dapar member
nasehat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan upaya hokum serta keterangan
yang mereka boleh pergunakan. Selanjutnya Hakim memeriksa kedua belah pihak
dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk mengajukan
tangkisan (Aksepsi) dan jawab menjawab (ruplik-duplik) baik secara lisan maupun
secara tertulis.
Tindakan
hakim selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
mengajukan pembuktian guna peneguhan pendirian atau dalil-dalilnya
masing-masing sampai mereka sudah tidak akan mengajukan apa-apa lagi dan
meminta putusan hakim.
3.
TANGKISAN DAN JAWAB-MENJAWAB
Tangkisan (Aksepsi) adalah jawaban tergugat terhadap gugatan penggugat yang
tidak langsung mengenai pokok perkaranya. Aksepsi
atau tangkisan dibedakan antara Aksepsi
Prosesual dengan Aksepsi Material.
Aksepsi Prosesual :
Adalah Aksepsi tentang
tidak berkuasanya Hakim untuk memeriksa perkara baik karena kewenangan relative
maupun karena kewenangan absolut dari pengadilan. Aksepsi Prosesual yang
menyangkut wewenang relative dari pengadilan, menurut Pasal 133 HIR tidak dapat diajukan setiap saat tetapi hanya dapat
diajukan pada permulaan sidang sevelum tergugat mengajukan jawaban tentang
pokok perkara baik secara lisan maupun tertulis.
Aksepsi Prosesual yang
menyangkut wewenang absolute dari Pengadilan Negeri sebagaimana ketentuan Pasal 134 HIR dapat diajukan setiap
saat selama pemeriksaan perkara berlangsung. Bahkah Hakim wajib karena
jabatannya untuk menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara, tersebut
meskipun pihak tergugat tidak mengajukan keberatannya. Apabila Aksepsi
diterima, yang berarti pengadilan membenarkan dirinya tidak berwenang untuk
memeriksa perkara itu, maka pemeriksaan itu dihentikan meskipun penggugat tidak
dapat menerima dan mengajukan banding. Sebalimnya apabila Aksepsi ditolak yang
berarti Pengadilan Negeri menyatakan dirinya berwenang, maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan meskipun pihak tergugat tidak dapat menerima dan mengajukan
banding.
Selain Aksepsi
Prosesual juga dikenal sebagai Aksepsi
Material yang terdiri dari Aksepsi
Dilatoir dan Aksepsi Peremtoir.
a.
Aksepsi Dilatoir adalah aksepsi yang mengatakan bahwa
tuntutan belum sampai waktunya untuk di ajukan, antara lain karena masih ada
surat perjanjian yang belum di penuhi disebabkan jangka waktunya belum terlewat
atau tergugat sedang berada dalam waktu pertimbangan.
b.
Aksepsi Peremtoir akdalah aksepsi yang diajukan mutlat
terhadap tuntutan gugatan, misalnya karena perkaranya sudah using (dalaluarsa),
atau yang di gugat telah diberi kebebasan utangnya, atau karena telah ada
keputusan pengadilan yang tidak dapat di gugat lagi.
Menurut
Pasal 136 HIR, Aksepsi material
tidak boleh dikemukakan dan ditimbang satu-satu, tetapi harus dibicarakan dan
diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Maksut dari pasal tersebut diatas
untuk menghindarkan kelambatan yang tidak perlu atau dibuat-buat, sehingga proses
berjalan cepat dan lancer.
Apabila
dikehendaki, menurut Pasal 132a dan 132b
HIR, maka tergugat atau para tergugat bersama-sama jawapannya dapat atau
boleh mengajukan gugatan balasan atau balasan gugatan balik yang dinamakan
gugatan rekonpensi. Pengajuan
gugatan rekonpensi tidak usah diajukan melalui Ketua Pengadilan, akan tetapi
cukup diajukan bersama-sama dengan jawabannya saja dan juga tidak perlu
membayar uang muka biaya perkara seperti pengajuan gugatan biasa.
Pada
dasarnya gugatan rekonpensi dapat diajukan mengenai apa saja, terkecuali
tentang 3 hal sebagai berikut :
a. Jika penggugat mula-mula itu menentut
karena suatu sifat, sedangkan gugatan balik mengenai dirinya sendiri atau
sebaliknya.
b.
Jika
Pengadilan Negeri yang memeriksa tuntutan asal si penggugat, tidak berhak
memeriksa gugatan balik berhubung dengan pokok perselisihan itu.
c. Jika perkara itu adalah tentang
perselisihan menjalankan Putusan Hakim
Rekonpensi
(gugatan balik) dapat juga diajukan secara lisan di persidangan, yang untuk
gugatan balik, secara lisan itu akan dicatat didalam berita acara sidang. Baik
gugatan asal (gugatan konpensi) mapun gugatan balik (gugatan rekonpensi) oleh
hakim akan diselesaikan sekaligus dalam satu putusan.
4.
TENTANG PEMBUKTIAN
Bagaimana
hakim harus membebankan pembuktian kepada para pihak, Pasal 162 HIR menentukan bahwa tentang menerima atau menolak alat
bukti dalam perkara Perdata, pengadilan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang termuat didalam HIR.
Pasal 163 HIR, menentukan tentang beban pembuktian
tersebut sebagai berikut :
“barang siapa yang mengatakan
mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan
haknya itu, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu”
Sedangkan
alat bukti yang dapat dipakai oleh para pihak dalam usaha meneguhkan kebenaran
dalil-dalilnya, adalah sebagaimana yang ditentukandalam Pasal 164 HIR, yang terdiri dari :
1. Bukti surat
2.
Bukti
saksi
3.
Bukti
persangkaan
4.
Bukti
pengakuan
5. Bukti sumpah.
Didalam
praktek selain kelima bukti tersebut diatas masih dikenal lagi alat bukti yang
dinamakan “pengetahuan hakim” yaitu keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim
didalam persidangan, misalnya hakim melihat sendiri adanya kerusakan
barang-barang pada waktu hakim melakukan Plaatselijk
Onderzoak (pemeriksaan di tempat).
Mengenai
hal ini Yurisprodunsi Mahkamah Agung dalam keputusannya No. 213K/Sip/1955
Tanggal 10 April 1957 sebagai berikut :
“Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138
ayat 1 bersambung dengan Pasal 164 HIR, tidak ada keharusan mendengar
penerangan seorang ahli, sedang penglihatan hakim pada suatu tanda tangan
didalam sidang boleh boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuannya sendiri
didalam usaha pembuktian”.
Dari
putusan Mahkamah Agung tersebut tampak jelas bahwa pengetahuan Hakim merupakan
alat bukti juga, akan tetapi Pengetahuan Hakim diluar sidang tidak merupakan
alat bukti.
1. Bukti Surat
Surat dalam hal ini mempunyai pengertian baik surat otentik maupun surat
dibawah tangan. Untuk surat-surat yang diserahkan oleh pihak-pihak kepada
hakim, menurut Pasal 137 HIR, mereka boleh saling melihat sehingga kalau perlu
mereka dapat saling menyangkal surat-surat tersebut.
Dalam proses perkara Perdata, bukti tulisan merupakan bukti penting dan
utama, menurut Hukum Acara Perdata surat
dibedakan menjadi 3 yaitu :
a.
Surat
biasa.
Adalah surat yang dibuat tidak ddngan maksud untuk sebagai alat bukti,
tetapi dibuat untuk mencurahkan pikiran dan perasaan saja. Contoh : surat
keluarga, surat cinta, surat korespondensi dan lain-lain.
b.
Akte
dibawah tangan.
Adalah surat yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan alat bukti
tentang suatu kejadian atau keadaan, akte yang dibuat sendiri tanpa dihadapan
atau oleh pejabat yang berwenang dinamakan akte dibawah tangan, sedangkan akte
yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Berwenang tersebut disebut Akte
Otentik.
c.
Akte
otentik.
Akte yang otentik sebagai alat bukti mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan
pembuktian yaitu :
1.
Kekuatan
pembuktian formal.
Membuktikan bagi para pihak bahwa mereka telah menerangkan
apa yang di tulis dalam akte itu.
2.
Kekuatan
pembuktian Material.
Membuktikan bagi para pihak, bahwa apa yang tersebut di akte
itu benar-benar telah terjadi.
3.
Kekuatan
pembuktian mengikat.
Membuktikan bagi para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada
tangal tersebut dalam akte, yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai
umum dan menerangkan apa yang ditulis dakan akte.
Untuk akte dibawah tangan kekuatan
pembuktiannya harus memperhatikan ketentuan dalam ordonansi tahun 1867 No. 29
yang dalam Pasal 2 mengatakan :
2. Bukti Saksi
3. Bukti persangkaan
4. Bukti pengakuan
5. Bukti sumpah
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.