MAKALAH
HUKUM LINGKUNGAN PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM DINAMIKA
HUKUM NASIONAL
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pengelolaan serta pelestarian lingkungan
hidup tidak hanya butuh kuantitas yang besar melainkan konsistesi yang
sustainable. Hal ini di karenakan lingkungan tidak hanya di manfaatkan saat ini
saja, melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat luas selamanya. Maka
peran pemerintah mutlak sangatlah besar.Sebagai pelindung masyarakat, sudah
semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli
lingkungan.Tidak hanya itu, regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat
korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga
pada masyarakat itu sendiri.
Dalam mainstream pemikiran yang berkembang, lingkungan
hidup diperlakukan sekedar sebagai obyek manajemen. Sementara itu kita tahu
bahwa misi dari manajemen adalah pemuasan kepentingan para subyeknya yaitu
manusia. Lingkungan tidak memiliki makna atau nilai (value) lebih dari
sekedar alat pemuas umat manusia.
Dalam kepungan utilitarianism ini menejemen
lingkungan hidup terjebak dalam suatu paradoks. Di satu sisi manajemen
lingkungan hidup berusaha menekan kerusakan lingkungan hidup, di sisi lain
keserakahan ummat tetap diumbar. Lebih dari itu, fokus perhatian kita pada
dimensi managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup telah menjadikan kita
lalai terhadap kenyataan bahwa kemapaanan sistem manajemen sebetulnya juga
menyimpan kemampuan umat manusia untuk menghasilkan kerusakan sistemik.
Pandangan yang selama ini telah difahami
adalah bahwa, supaya manusia bisa mendapatkan manfaat yang optimal, maka
lingkungan hidup harus dikelola. Dalam hal ini, manusia memperlakukan dirinya
sebagai subyek dan lingkungan hidup sebagai obyek manajemen. Tersirat di sini,
lingkungan hidup yang diatur dan di tata sedemikian rupa sehingga manusia tidak
sengsara, umat manusia bisa sejahtera. Pertanyaan yang perlu kita renungkan
sekarang : bisakah lingkungan hidup terus-menerus di eksplorasi sistem kerjanya
agar upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya tidak terganggu ?. Semakin
terorganisir suatu tatanan sosial, semakin sistemik masyarakat tersebut
mengubah alam dan efek yang ditimbulkan juga semakin kompleks.
Paradigma yang mengacu pada konsep
sustainable merupakan suatu proses perubahan yang terencana yang didalamya
terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan untuk
memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Hal ini berarti bahwa konsep sustainable dapat menjamin adanya
pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses peran
dan kesempatan. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya keterbatasan
lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk
keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk
menciptakan suatu sisten kinerja pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable.
Paradigma sustainable lingkungan juga mengacu
pada konsep keadilan yang dimaknai dengan adanya keterwakilan dan
pendistribusiannya, terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan
lingkungan hidup dapat menjadi suatu regulasi yang benar-benar mewakili
aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep regulasi yang jelas serta
kepedulian lingkungan yang tinggi, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas
kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan
generasi masa depan memenuhi kebutuhannya Paradigma umum berikutnya adalah yang
mengacu pada konsep partisipatif.
Konsep ini menekankan pada pentingnya
pelibatan dari berbagai pihak terkait terutama masyarakat, dimana didasari
dengan adanya kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan.
Diharapkan dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak, lingkungan dapat
dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua paradigma ini, maka
perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan hidup
terutama dalam hal pelaksanaannya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup. Sumber daya alam seperti air, udara, tanah,
hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup
mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan,
SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup
manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan
yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA
tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan
ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air,
dan sebagainya.
2.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prinsip-prinsip pengelolaan
lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional?
Sebagai produk regulasi untuk melindungi lingkungan hidup ,apakah
undang-undang nomor 23 tahun 1997 telah cukup berparadigma pengelolaan
lingkungan yang sustainable?
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan
serta sumber daya alam yang berbasis pada pelestarian lingkungan hidup itu
sendiri?
Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penbgelolaan lingkungan hidup yang
sustainable?
3.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 . Konflik
Banyak definisi yang berkaitan dengan
konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan emosi yang merupakan akibat
benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan menangani
pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal
& Konflik Vertikal.
b. Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari
konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka, mengarah pada
kekerasan/kerusakan.
c. Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik :
Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan (underlying).
d. Klasifikasi berdasarkan rencana target :
Konflik Sistematis & Konflik Non-Sistematis.
e. Berdasar level konflik : Intrapersonal,
interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll; melihat dimana level
konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen).
f. Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan
kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural, konflik
kepentingan/kekuasaan, dll.
g. Berdasar bidang konflik : etnis, politik,
ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial, dll.
h. Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan,
pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan evaluasi.
i.
berdasar
bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian
j.
Dalam
hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu
;
1. Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua,
ekologis/sistem penyangga kehidupan.
2. Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam
menyediakan beragam materi dan energi yang dibutuhkan untuk menunjang
kelangsungan proses produksi.
Sedangkan fungsi sosial/budaya berkaitan
dengan keberadaannya sebagai media sebagian masyarakat dalam berinteraksi antar
kelompok sosial maupun dengan sistem kepercayaan dengan tuhannya atau mempunyai
fungsi psychophysiologic (sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas
religius), educational and scientific services (penelitian dan pendidikan
lingkungan) serta source of land and living space (sumber lahan dan tempat
tinggal suku-suku tertentu). Fungsi ekologis, berkaitan dengan berbagai
komponen lingkungan yang membentuk ekosistem dan keseimbangannya diperlukan
dalam menjaminkan berbagai aktivitas kehidupan makhluk hidup.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya selama ini pengelolaan
lingkungan itu difahami sebagai tugas negara. Artinya, negaralah yang
bertanggung jawab mengelola perilaku kolektif ummat manusia melalui
kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Tidaklah mengherankan kalau kita kemudian
terbiasa menggantungkan diri pada penggunaan otoritas negara dalam meregulasi
pengelolaan lingkungan hidup. Sialnya, justru bekerjanya mesin birokrasi
pemerintahan justru menjadikan lembaga yang satu dengan mudahnya melempar
tanggung jawabnya ke pada lembaga lain. Bekerjanya birokrasi pemerintahan, yang
diharapkan akan memastikan terkelolanya persoalan-persoalan lingkungan hidup,
justru menciptakan masalah lingkungan itu sendiri. Maunya tampil sebagai
problem solver, tak tahunya justru menjadi trouble maker.
Dalam kajian manajemen lingkungan sebetulnya
telah lama dikenal adanya batas daya dukung alam (carrying capacity). Para pengkaji manajemen lingkungan
meyakini bahwa batas daya dukung alam ini bisa dinaikkan melalui manjemen yang
baik. Teori-teori manajemen, dalam konteks ini, berambisi untuk selalu menawar
daya dukung alam, sehingga kesejahteraan bisa terjamin. Pertanyaan yangtersisa,
seberapa jauh daya dukung alam ini bisa di-melar-kan Ingat, daya ubah manusia
modern semakin hari semakin dahsyat dan ekspektasi mereka juga terus meningkat.
Belum lagi kalau diingat, semakin modern cara hidup seseorang, semakin dia
boros atau rakus dukungan sumberdaya utuk mencukupi kebutuhannya. Point yang
ingin dikedepankan disini adalah bahwa pendekatan yang saat ini populer, yakni
manajemen lingkungan hidup, memiliki keterbatasan serius manakala pendekatan
ini mendudukan lingkungan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Lebih jauh
lagi, manusia dibayangkan sebagai fihak yang menentukan perubahan dan
lingkungan ada fihak yang harus disesuaikan melalui berbagai disain, strategi
atau teknik manajemen. Oleh karena itu, ada keperluan untuk menjajagi berbagai
kerangka konseptual alternatif.
Para environmentalis radikal berkeinginan
untuk membalik logika yang managerialistik tersebut di atas. Manusia ingin
memperlakukan manusia obyek yang diharuskan untuk tunduk dan patuh pada hukum
alam. Alam diyakini telah memiliki hukumnya sendiri, dan kerusakan lingkungan
pada dasarnya adalah konsekuensi dari pelanggaran hukum alam. Menurut kaum environmentalis radikal ini diyakini
bahwa, betapapun hebatnya kemampuan manusia untuk mengembangkan budaya dan
kreativitasnya, mereka tidak akan memiliki kemampuan yang sempurna untuk
mengendalikan alam. Kenyataan bahwa alam telah memiliki hukumnya sendiri, harus
diikuti dengan penyesuaian tata kehidupan manusia agar tidak bertabrakan dengan
hukum alam tersebut. Artinya, alam diperankan sebagai subyek dan manusia harus
memposisikan diri sebagai obyek pengelolaan ekuilibrium alam. Cara memandang persoalan yang demikian ini
disebut sebagai cara pandang yang eco-centric
(ekosentrik).
Cara pandang yang ekosentrik ini jelas
bertolak belakang dengan cara pandang yang umum, yang mereka sebut sebagai cara
pandang yang anthropo-centric
(yang pada dasarnya mengandaikan manusia sebagai pusat perhatian) atau techno-centric (yang mengandaikan
kemampuan teknik ummat manusia sebagai pilar tertib sosial). Kontradiksi atau
perdebatan di antara dua kutub pemikiran tersebut di atas telah berlangsung
lama, dan pandangan yang ditawarkan kalangan environmentalis radikal yang
bercorak eco-centric (ekosentrik)
tetap tidak populer. Tuntutan untuk membalik kerangka seacara radikal ini tidak
dengan mudah bisa dipenuhi oleh khalayak.
Cara fikir yang ekosentris menjanjikan bukan hanya keberpihakan terhadap
lingkungan, namun juga komitmen untuk tidak melanggar hukum-hukum alam
(hukum-hukum yang dijelaskan dalam kajian ekologi). Kalau kerangka fikir
ekosentrik ini ingin diadopsi, maka rasionalitas manusia yang perlu diformat
ulang. Selama ini rasionalitas yang berkembang adalah rasionalitas antroposentrik, yang mengejar
optimalnya peprolehan atau minimalnya resiko demi manusia. Cara fikir ekosentrik
mengajak untuk berfikir secara lebih seksama. Alam telah memiliki hukumnya
sendiri, dan pelanggaran terhadap hukum alam pada gilirannya justru mengancam
manusia itu sendiri. Terlepas dari apapun kepentingan manusia, hukum alam tetap
akan berjalan. Oleh karena itu, adalah rasional justru kalau ummat manusia
mengikuti hukum-hukum alam.kalkukasi rasional-irrasional dalam cara pandang
ekosentrik ini tidaklah dari kaca mata individual, melainkan dari kacamata
kolektif. Unit yang dianalisis tidak hanya manusia dengan segala
kepentingannya, melainkan ekosistem dunia dengan manusia sebagai salah satu
komponennya. Singkat kata, kala cara pandang teknosentrik hanya peduli dengan
kepentingan manusia maka cara pandang teknosentrik justru mengharuskan ummat
manusia mengekang kapasitas teknosentrik yang ada supaya “kedaulatan”
hukum-hukum ekologi tidak terganggu.
Perlu diingat, kegagalan birokrasi pemerintah
dalam menyelenggarakan skema-skema manajemen lingkungan adalah karena tidak
adanya komitmen terhadap nilai-nilai ekologis. Birokrasi pemerintahan tidak
bisa diandalkan untuk diperankan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup
karena sistem nilai yang ada di dalam birokrasi pemerintahan tersebut tidak
sensitif terhadap premis-premis ekologis.
Berfungsinya ekosistem tidak
pernah mengenal yurisdiksi spasial
para pejabat negara, dan mereka tetap saja bersiteguh dengan pemilahan fungsi
secara spasial. Ekosistem tidak mengenal batas-batas kewenangan sektoral, namun
birokrasi pemerintahann sejauh ini masing harus berkutat dengaan persoalan
ego-sektoral.
Persoalannya, bagaimana perubahan tata nilai
bisa dilangsungkan ke arah yang digariskan oleh faham ekosentrik ? Sebelum
menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan bahwa selama pemerintah sebetulnya
telah mencoba untuk mendorong perubahann tata nilai. Digulirkannya wacana
‘pembangunan berwawasan lingkungan’, sebetulnya menyembunyikan tata nilai baru,
mendorong muncul dan berkembangnya etika baru. Lingkungan hidup perlu dikelola
dengan sentuhan etika baru: etika lingkungan. Hanya saja, selama ini negara
mengalami kesulitan untuk mereproduksi nilai-nilai, mereproduksi etika
lingkungan. Sebaliknya, gerakan lingkungan yang sebetulnya sangat potensial
dalam menumbuhkembangkan etika baru, sudahnya basis sumberdayanya lemah, energinya
terserap untuk melakukan perlawanan terhadap fihak-fihak yang dianggap sebagai
perusak lingkungan.
Dalam memikirkan proses perubahan nilai-nilai
yang kondusif bagi kelestarian lingkungan hidup, pendekatan manajerial justru
bisa dipakai. Hanya saja, yang dikelola bukan lingkungan hidup melainkan
interaksi sosial yang mengkondisikan kerusakan-kerusakan lingkungan hidup itu
sendiri. Kalau selama ini kajian manajemen lingkungan hidup telah mencurahkan
perhatiannya kepada lingkungan sebagai entitas
bio-fisik, di masa-masa mendatang kita memerlukan kepiawaian dalam
mengelola interaksi-interaksi sosial yang secara sistemik memiliki kapasitas
merusak ekosistem dan habitat kehidupan ummat manusia.
Sebagai suatu organisasi yang memiliki
kontrol terhadap sumberdaya dan kekuatan paksa, negara memiliki kemampuan
mengubah kondisi alam dalam skala yang massif. Oleh karena itu, nasib
lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan menertibkan perilaku negara
agar konsisten dengan kaidah-kaidah ekologis. Adanya keperluan untuk menjadikan
negara sebagai sasaran penertiban inilah yang menginspirasi penulis untuk
mengusulkan penggunaan konsep governance sebagai framework alternatif.
Environmental governance dalam makalah ini difahami sebagai frameework
pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyatnya, dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup.
Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup
dalam dinamika hukum nasional Undang-undang nomor 23 tahun 1997 adalah salah
satu produk hokum sebagai bukti eksistensi hokum penglolaam lingkungan hidup
dalam dinamika hokum nasional.tentu saja tidak berhenti sampai
disini.pemerintah perlu lebih konsisten dalam menerapkan regulasi yang efektif. Hukum pengelolaan lingkungan bukan hanya
sebagai formalitas nasional dalam meratifikasi konfrensi lingkungan hidup baik
Stockholm,rio de jeneiro maupun johanesberg.tetapi lebih pada kesadaran
masayarakat Indonesia bahwa kesadaran akan pengelolaan lingkungan secara arif
dan sustainable mutlak di perlukan.karena sebagai bangsa yang berperadaban
tinggi.
Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
sehat sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H. Sedangkan hak atas
informasi dan mengeluarkan pendapat sebagai bentuk berpartisipasi secara tegas
diatur dalam pasal 28F dan 28C ayat (3). Hak atas keadilan juga telah dijamin
dalam pasal 28C ayat (2).
UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup juga telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,
berpartisipasi dan mendapatkan keadilan. UU ini mengaitkan hak atas informasi
dalam pasal 5 ayat (2) dengan hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan
sehat dalam pasal 5 ayat (1) dan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan dalam pasal 6 Akses masyarakat dalam penegakan
hukum lingkungan keperdataan yaitu pertama di luar pengadilan meliputi
sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa pihak ketiga dan
lembaga penyedia, kedua di dalam pengadilan meliputi class action, legal
standing NGO, gugatan perdata biasa, strict liability dan hak gugat instansi
pemerintah.
Dalam penegakan hukum lingkungan yang efektif
tersebut menurut Rino memiliki kendala seperti perbedaan persepsi dan rendahnya
koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait, lemahnya pengetahuan teknis
dan integritas aparat penegak hukum (judicial corruption), keterbatasan
kapasitas budget dan ketiadaan akses informasi dan partisipasi yang menyebabkan
kontrol eksternal menjadi tidak efektif. Penegakan hukum lingkungan saat ini
berada pada posisi stagnasi yang berkelamaan, buruknya implementasi dari aturan
yang diterbitkan, serta hanya sekedar mengutamakan instrument command and
control.
Penegakan hukum lingkungan hanya sebagai
tools yang bertujuan akhir sebuah compliance. Kondisi saat ini menunjukkan
bahwa regulasi yang ada hanya kaya akan jumlah namun miskin dengan penataan. Lebih lanjut menurut Prabowo, dalam penegakan
hukum lingkungan perlu adanya rekonstruksi kembali terhadap perumusan regulasi
yang applicable, perlu adanya kesinambungan antara upaya preventif, pre emptive
dan represif. Juga perlu adanya pemahaman scientific evidence oleh aparat
penegak hukum. Sementara itu Ilyas Assaad, Deputi Penegakan
Hukum Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menyatakan bahwa
dalam penegakan hukum lingkungan hidup, KNLH mengarah pada pro investasi, yaitu
tidak akan membiarkan pelaku-pelaku pencemar dan perusak lingkungan hidup
sehingga akan menghambat investasi selanjutnya. Namun dia mengakui bahwa
seharusnya lebih banyak kasus yang bisa diselesaikan. Selama 2008 ada 68 kasus
yang ditangani dengan putusan 4 kasus.
Point yang ingin dikedepankan adalah bahwa
skenario untuk “memperalat” negara untuk memberlakukan prinsip-prinsip
manajemen lingkungan ternyata tidak berjalan mulus. Keterlibatan negara, bahkan
otorisasi negara untuk menggunakan tindak kekerasan dan paksaan, ternyata tidak
menjamin berlakunya sistem manajemen lingkungan yang diberlakukan. Persoalan
polusi industri sudah sejak lama merebak, dan naga-naganya tidak akan membaik
dalam waktu dekat. Skema managemen kehutanan seakan tidak pernah ada, karena
luasan dan kualitas hutan di negeri ini terus saja menurun. Analisis mengenai
dampak lingkungan yang diwajibkan kepada para pengusaha seakan tidak pernah ada
karena dampak lingkungan yang mereka ciptakan tetap saja tidak terkendali.
Mereka punya seribu satu alasan untuk menghindar dari kewajiban untuk
meminimalisir dampak lingkungan negatif dari kegiatan usahanya. Kalau
kecenderungan kerusakan lingkungan hidup ini terus berlangsung, maka krisis
lingkungan akan menjadi suatu keniscayaan.
Sungguhpun potensi krisis dan krisis
lingkungan dalam skala kecil sudah banyak dipublikasikan, kesadaran tentang
lingkungan hidup masih belum jelas terlihat. Berbagai kerangka pengelolaan
lingkungan hidup telah dirumuskan dan diberlakukan, namun efek positif yang
dihasilkan tetap saja tidak sebanding dengan lingkup dan derap kerusakan yang
berlangsung. Ada sesuatu yang secara mendasar bermasalah dalam cara hidup kita,
dalam proses budaya kita. Kalau kita renungkan baik-baik, dengan mudah bisa
kita fahami bahwa kita sebetulnya meniti kemajuan dengan sambil tetap saja
membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung, dengan mengembangkan potensi
terjadinya krisis.
Pertanyaannya, mengapa berbagai kerusakan
lingkungan tersebut terus saja terjadi. Apakah negara tidak melakukan
pengelolaan lingkungan dengan baik melalui rutinitas prosedur, perencanaan,
kebijakan dan regulasinya ? Apakah berlebihan ketika para pemikir kebijakan
mengharapkan negara melakukan manajemen lingkungan dalam keseharian
penyelenggaraan pemerintahan ? Ada cukup banyak alasan untuk menjawab ‘ya !”.
Kalau demikian halnya, mengapa hal itu terjadi ?Pertama, pendekatan managerial cenderung
menghindar atau terkelupas dari persoalan-persoalan politik. Para penganjur
pendekatan manajerial berpretensi bahwa persoalan lingkungan bukanlah persoalan
politik, melainkan sekedar sebagai persoalan teknis. Yang dilupakan dalam hal
ini adalah bahwa para pejabat negara sebetulnya berpolitik dibalik berbagai
teknikalitas manajemen lingkungan yang telah dirancang. Sebagai contoh, untuk
memastikan bahwa eksploitasi hutan dilakukan secara terencana, maka setiap
kegiatan penebangan hutan harus mendapatkan persetujuan pejabat negara (melalui
pemberian ijin). Para pejabat justru mencari keuntungan
pribadi melalui pemberlakuan perijinan. Kalau yang mencari untuk pribadi hanya
satu orang, munkin sistem perijinan tersebut tidak terlalu bermasalah. Namun
kalau praktek mencari keuntungan sambil berpura-pura menyelenggarakann sistem
perijinan ini dilakukan oleh orang banyak dan terjadi secara terus menerus,
maka perijinan tadi kehilangan fungsi managerialnya. Artinya keinginan untuk
melakukan kontrol terhadap kualitas lingkungan melalui sistem perijinan harus
kandas terbentur oleh politisasi (atau tepatnya komersialisasi) prosedur
perijinan. Manakala perijinan dalam rangka kontrol kualitas lingkungan difahami
sebagai cara yang “wajar” dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, maka
kewajaran manajemen lingkungan sebetulnya telah sirna.
Kedua, manajemen lingkungan sebetulnya
melekat dalam manajemen pembangunan dan manajemen kepentingan publik.
Perencanaan lingkungan idealnya inheren dalam perencanaan alokasi ruangan,
alokasi sumberdaya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Sewaktu
menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim sadar betul tentang hal
itu, dan dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen
pembangunan beliau sangat gencar mewacanakan konsep pembangunan berwawasan
lingkungan. Artinya, proses pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap
unit dan sektor pelaksanaan pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang
memadai. Dengan cara itu beliau berharap negara menginternalisasi pengelolaan
pengelolaan lingkungan di dalam pengelolaan pembangunan. Sayangnya,
pengembangan wawasan ini tidak cukup berhasil. Skema kerja manajemen lingkungan
seperti AMDAL jarang dihayati sebagai keperluan. AMDAL sejauh ini tetap saja
dihayati sebagai kewajiban yang harus dipatuhi, bukan instrumen yang harus
dikelola baik-baik.
Ketiga penjelasan-penjelasan tersebut di atas
mengisyaratkan adanya kepercayaan diri yang berlebihan (over-confidence) bahwa
negara bisa diserahi tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan berbagai skema
manajemen lingkungan. Managemen lingkungan yang dipercayakan kepada negara ini
tidak diimbangi dengan pesatnya environmentalisme, baik di kalangan pejabat
pemerintah maupun masyarakat. Implikasinya, majamenen lingkungan dilakukan
tanpa penghayatan yang memadai tentang apa yang dilakukannya. Lebih dari itu,
banyak orang yang justru berharap terlalu banyak terhadap berbagai skema
manajemen lingkungan. Pemberlakuan skema AMDAL adalah illustrasi yang bagus.
Pada dasarnya AMDAL adalah suatu pdrangkat
manajerial untuk memastikan pengambil keputusan kebijakan publik. Melalui suatu
kajian yang ditulis dalam dokumen AMDAL seorang pejabat publik bisa mengetahui
potensi dampak yang akan terjadi ketika suatu investasi pembangunan akan
dijalankan. Kalau dari kajian AMDAL ini terdeteksi adanya potensi kerusakan
lingkungan yang besar, dan potensi kerusakan ini sulit dikelola maka sang
pejabat harus tidak memberikan ijin. Dalam prakteknya selama pemberlakukan
kewajiban untuk melakukan studi AMDAL di Indonesia, hampir-hampir tidak ada
penolakan meskipun ada cukup banyak kegiatan yang mempertaruhkan lingkungan
hidup secara besar-besaran. Celakanya, di kalangan masyarakat beredar harapan
yang berlebihan bahwa AMDAL akan mengatasi masalah-masalah lingkungan. Padahal,
AMDAL pada dasarnya hanyalah janji calon investor bahwa dirinya akan melalukan
pengelolaan lingkungan sesuai dengan kalkulasi dampak. Di sini ada dua hal yang
perlu dicermati. Pertama, tepat tidak antisipasi dampak yang akan diatasi.
Kedua, keseriusan dan kemampuan menanggulangi dampak. Kalaupun kajian AMDAL
sudah dilakukan dengan baik dan disajikan dalam dokumen AMDAL, tidak ada
jaminan bahwa dampak lingkungan bisa terkendali pada level minimal. Skema AMDAL
tidak ada gunanya sama sekali kalau kajian tidak dilakukan secara serius. Dalam
kasus AMDAL ini masyarakat sebetulnya manaruuh harapan yang berlebihan karena
beberapa alasan:
Ø Banyak studi AMDAL yang tidak cukup seksama.
Ø Para pejabat yang seharusnya mengambil
rujukan pada dokumen AMDAL dalam pembuatan keputusan perijinan ternyata tidak
terlampau mempedulikan dampak lingkungan dari keputusannya.
Ø Negara tidak menyediakan sumberdaya (uang,
informasi dan personel) yang memadai untuk memastikan para pengusaha menunaikan
janji-janji pengelolaan lingkungan yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL.
Mengingat adanya kecenderungan umum yang
dipaparkan di atas tersirat bahwa manajemen lingkungan dikembangkan dengan
penghayatan yang sangat tipis, dan sebagai konsekuensinya, tidaklah
mengherankan kalau kerusakan lingkungan hampir-hampir tidak terkendali. Ancaman
terjadinya krisis lingkungan kini harus diterima.
Perlu di catat, krisis lingkungan tidak akan
pernah bisa dibatasi lingkupannya sekedar sebagai krisis lingkungan semata.
Krisis lingkungan akan memicu krisis sosial. Dalam berbagai manifestasi dan
skala, kita telah lama mengetahui bahwa kerusakan lingkungan akan berbuntut
kerusakan tatanan sosial. Menggejalanya kerusakan lingkungan senantiasa
menyeret konflik lingkungan hidup kini semakin merajalela. Sebaliknya, konflik
sosial yang terjadi tidak jarang justru memicu penggunaan sumberdaya alam dan
pada gilirannya menghasilkan konflik sosial yang baru, atau konflik yang
berskala lebih luas. Bagi para fihak yang berperang, kemenangan adalah difahami
sebagai hal yang paling esensial. Tapi, siapapun yang menang, masing-masing
harus menanggung kerugian ekologis: merelakan kerusakan lingkungan.
Singkat kata, kerusakan lingkungan hidup ini
pada gilirannya justru menghantarkan munculnya masalah-masalah sosial baru.
Permasalahan tentang semakin parahnya pecemaran dengan mudah merembet menjadi
masalah terancamnya kesehatan masyarakat. Kelangkaan sumberdaya alam akibat
dari eksploitasi yang berlebihan pada gilirannya mengundang berkecamuknya
konflik-konflik sosial. Singkat kata, manakala masalah lingkungan menyeruak dan
bermuara pada jalan buntu, masing-masing fihak yang terlibat saling
menyalahkan, saling menunjukkan benarnya sendiri. Kalau begini jadinya, yang
namanya ‘masalah’ tetap saja ‘masalah’.
Ketika lingkungan tercemar oleh industri,
masyarakat menyalahkan perusahaan yang memiliki kegiatan industri. Perusahaan
mengelak untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi
karena sudah mendapat berbagai ijin yang diminta oleh pemerintah. Tentu saja,
pejabat pemerintah yang dirujuk punya alasan banyak alasan untuk mengelak.
Instansi yang menggunakan nomenklatur lingkungan hidup (misalnya: Kementerian
Lingkungan Hidup atau Dinas/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) adalah
lembaga yang kemungkinan besar akan dituding bersalah. Tetapi, dengan mengacu
pada berbagai aturan main yang ada, lembaga-lembaga tersebut memang tidak
memungkinkan mereka satu-satunya fihak yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Bukan lembaga ini yang memberikan ijin usaha, dan lembaga yang mengeluarkan
ijin ini memang tidak secara khusus/serius ditugasi untuk menjaga kualitas
lingkungan hidup.
Menurutnya, rencana nyata dalam penyelesaian
masalah pelanggaran hukum lingkungan selanjutnya meliputi membangun sistem
penataan, mengangkat kasus-kasus tertentu di tingkat KNLH sementara kasus yang
lain di daerah serta peningkatan kapasitas dari aparat penegak hukum terkait.
Kita tahu bahwa masalah lingkungan sebetulnya
telah lama menggejala, dan baru beberapa puluh tahun terakhir mendapatkan
perhatian serius dan luas. Artinya kajian manajemen lingkungan sebetulnya
adalah kajian yang relatif baru. Pesatnya perkembangan kajian ini sejalan
dengan semakin seriusnya ancaman yang mengedepan karena kerusakan lingkungan.
Dari segi manajemen, idealnya setiap individu
atau setidaknya setiap rumah tangga adalah suatu unit manajemen lingkungan.
Mereka terus-menerus menjalin interaksi dengan lingkungan untuk menyambung
hidupnya, untuk mengejar kemajuan dan kesejahteraannya. Namun, ancaman
kerusakan lingkungan hidup telah hadir dalam skala yang massive. Kerusakan
lingkungan hidup telah hadir sebagai suatu ancaman krisis yang berskala luas.
Untuk itu, maka mutlak diperlukan “mesin” manajemen yang memungkinkan tergalang
respon yang sepadan dengan skala permasalahan yang mengedepan. Dalam setting pemikiran
seperti itulah maka berkembanglah keinginan untuk menggunakan negara sebagai
mesin manajemen lingkungan.
Hal ini sejalan dengan menyeruaknya tuntutan
publik agar negara melakukan sesuatu agar persoalan lingkungan bisa teratasi. Dalam
melakukan refleksi ini ada hal penting untuk dicermati. Upaya untuk mengatasi
persoalan lingkungan hidup dilakukan dengan cara “memperalat” negara. Harap
dimaklumi, negara tidak diciptakan secara khusus untuk menjadi pengelola
lingkungan hidup, dan penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan pengelolaan
lingkungan hidup, justru menyeret kita pada persoalan-persoalan yang tidak
terantisipasi sebelumnya.
Kapasitas negara untuk menjalankan suatu
skema manajemen sangat tergantung dari kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan.
Pertanyaannya, apakah birokrasi memang merupakan intrumen yang tidak bermasalah
dalam menjalankan rencana-rencana pengelolaan lingkungan. Birokrasi, pada
dasarnya, mengatasi masalah apapun dengan cara mengurai persoalan ke dalam
kepingan-kepingan yang bisa ditangani. Ketika pembangunan ekonomi menjadi
obsesi pemerintahan Orde Baru, beban atau persoalan pembangunan pecah-pecah
secara sektoral. Ketika ditargetkan agar pembangunan berlangsung berlangsung di
seluruh wilayah negeri ini, persoalan pembangunan dipecah-pecah ke dalam
wilayah-wilayah pembangunan yang sama dan sebangun dengan yurisdiksi para
pejabat birokrasi. Akibatnya, penanganan pembangunan senantiasa terhalang oleh
persoalan koordinasi. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sebagai suatu
entitas ekologis yang utuh, birokrasi pemerintah dimanapun di muka bumi ini
mengalami permasalahan serius karena kecenderungannya untuk memotong-motong
persoalan dalam keratan sektoral dan teritorial.
Keterbatasan birokrasi pemerintah untuk
diperankan sebagai instrumen utama pengelolaan lingkungan hidup sejauh ini
tidak pernah diwacanakan di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya.
Birokrasi pemerintahan diharapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik
yang mengedepan. Para pakar lingkungan yang menggeluti kajian managemen
lingkungan memperjuangkan agar negara menggunakan kapasitasnya untuk itu.
Pertama-tama mereka melakukan serangkaian
advokasi kebijakan agar negara memiliki organ khusus yang memilikirkan dan
menangani persoalan-persoalan lingkungan yang mengedepan. Di Indonesia, hal ini
ditandai dengan pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup, yang belakangan ini berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup. Adanya
lembaga yang secara khusus memikirkan lingkungan hidup ini telah memungkinkan
terjadinya replikasi pendekatan managerialistik dalam setiap organ
pemerintahan. Managemen lingkungan hidup ditumbuhkembangkan si setiap sektor
birokrasi pemerintahan.
Untuk meyakinkan proposisi tersebut di atas,
mari kita cermati negara sebagai suatu sistem manajemen. Melalui organisasi
yang bernama birokrasi, negara memberlakukan berbagai kegiatan manajemen. Apa
yang hendak dilakukan oleh (tepatnya atas nama) negara, direncanakan oleh
berbagai unit perencanaan. Untuk mengkoordinasikan kegiatan instansi di
berbagai sektor, birokrasi pemerintahan telah melengkapi diri dengan lembaga
koordinasi dan prosedur koordinasi. Hal-hal tersebut di atas, diberlakukan
melalui jenjang komando yang dikendalikan secara hierarkhis. Karena adanya sistem
manajemen ini, keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh para pejabat bisa
diberlakukan dan bahkan dipaksakan oleh negara. Artinya keputusan yang dibuat
oleh seseorang, yang karena berposisi sebagai presiden atau menteri, memiliki
efek sistemik terhadap lingkungan ketika diberlakukan. Untuk jelasnya, mari
kita lihat kasus sederhana: efek sistemik dari penandatanganan SK tentang HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) kepada suatu perusahaan.
Dalam penyelenggaraan negara, kita tahu para
pejabat teras memiliki kewenangan untuk memetapkan kebijakan di dalam lingkup
tugasnya. Atas nama Undang-undang Kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1967,
Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang esensinya membuka diri bagi
keterlibatan perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi hutan. Kepada
perusahaan tertentu Departemen ini memberikan hak pengelolaan hutan melalui
selembar Surat Keputusan (SK HPH). Apa yang terjadi setelah pemberian SK ini
sangat jelas. Pertama, para pengusaha memiliki hak untuk menebangi ratusan ribu
hektar kawasan hutan. Sejak diberlakukannya skema HPH di awal Orde Baru, luasan
kawasan hutan merosot. Kedua, pemerintah sebetulnya telah melengkapi diri
dengan serangkaian prosedur dan ketentuan untuk menjalankan skenario manajemen
sumberdaya hutan. Sungguhpun demikian, kerusakan hutan tetap saja tidak
terelakkan. Disain teknis manajerial yang ditetapkan banyak yang tidak ditepati
oleh pemegang HPH dan manajemen pemerintahan yang ada telah membiarkan
pelanggaran ketentuan HPH ini tidak terkena sanksi. Wal hasil, degradasi hutan
dalam skala yang massif di negeri ini harus kita terima sebagai realita yang
memilukan.
Point yang ingin diperlihatkan dari ilustrasi
di atas adalah bahwa penggunaan otoritas negara (tepatnya penandatanganann
sebuah SK HPH) punya implikasi serius bagi nasib hutan. Mohon tidak dilupakan,
kerusakan hutan dalam skala yang massif ini telah menghadirkan serentetan
dampak yang sebelumnya tidak terantisipasi dengan baik. Secara ekonomi-politik
kita melihat ada sekelompok kecil orang yang kaya raya dari bisnis pengusahaan
hutan, dan di sisi lain ada jutaan manusia yang kehilangan hutan sekaligus
kehilangan jasa-jasa ekologis yang sebelumnya bisa dinikmatinya begitu saja.
Singkat kata, penggunaan kekuasaan negara memiliki efek sistemik yang luas, dan
praduga bahwa negara adalah manajer lingkungan yang baik ternyata sulit
diyakini kebenarannya dalam praktek di Indonesia.
HUKUM LINGKUNGAN
Apa itu AMDAL?
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah proses pengkajian terpadu yang
mempertimbangkan aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya sebagai pelengkap
studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
"...kajian dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan..."
Apa guna AMDAL?
Guna AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha
atau kegiatan pembangunan layak lingkungan.
"...ditujukan untuk menjamin rencana
usaha layak lingkungan"
Lewat pengkajian AMDAL, sebuah rencana usaha
atau kegiatan pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan
kemungkinan dampak lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alam secara efisien.
"...memberikan solusi minimalisasi
dampak negatif"
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan
dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan
mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan
bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan
wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin
usaha/kegiatan.
"...digunakan untuk mengambil keputusan
tentang penyelenggaraan/
pemberian ijin usaha dan/atau
kegiatan""...disusun sebelum rencana kegiatan dibangun
Apa dokumen AMDAL?
Dokumen AMDAL terdiri dari :
·
Dokumen
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
·
Dokumen
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
·
Dokumen
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
·
Dokumen
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu
untuk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus
diperhatikan dalam penyusunan ANDAL.
Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya, kegiatan penyusunan
ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.
"...dokumen KA-ANDAL harus disepakati
isinya oleh Komisi Penilai AMDAL terlebih dulu
sebelum digunakan sebagai acuan penyusunan
ANDAL, RKL, dan RPL"
Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak
lingkungan hidup yang diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang
telah ditetapkan dalam KA-ANDAL.
Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup untuk mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen
ANDAL disusun dalam dokumen RKL dan RPL.
Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama
untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL.
Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu
direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
"...dokumen ANDAL, RKL, dan RPL menjadi
satu bagian tak terpisahkan
yang dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL secara
bersama-sama
Siapa yang harus menyusun AMDAL? Bagaimana menyusunnya?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting dan belum memiliki kepastian pengelolaan lingkungannya. Ketentuan apakah suatu rencana kegiatan perlu
menyusun dokumen AMDAL atau tidak dapat dilihat dalam bagian Prosedur dan
Mekanisme AMDAL.
"...kewajiban menyusun dokumen AMDAL
didasarkan atas kriteria-kriteria yang telah ditetapkan,
sehingga tidak semua jenis kegiatan yang
membutuhkan ijin perlu menyusun AMDAL"
"...kriteria kewajiban AMDAL pada
dasarnya mencakup :
·
potensi
kegiatan menimbulkan dampak penting;
·
tidak
pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan dalam mengontrol dampak penting
tersebut"
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa
dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL
diharapkan telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL (lulus kursus AMDAL B) dan
ahli di bidangnya. Ketentuan standar
minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal
Nomor 09/2000. Berbagai pedoman
penyusunan yang lebih rinci dan spesifik menurut tipe kegiatan maupun ekosistem
yang berlaku juga diatur dalam berbagai Keputusan Kepala Bapedal
Siapa saja pihak yang terlibat dalam AMDAL?
"...pada dasarnya pihak-pihak yang
berkepentingan dalam AMDAL adalah
Komisi Penilai, pemrakarsa, masyarakat
terkena dampak, dan pemberi Ijin"
Komisi Penilai AMDAL; Komisi Penilai AMDAL
adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Bapedal, di
tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup
Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedal/Instansi
pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota.
Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang
terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi
Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau
badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
yang akan dilaksanakan.
Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu
seorang atau kelompok warga masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yang banyak
diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok yang banyak dirugikan (at-risk
groups). Lingkup warga masyarakat yang
terkena dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan
atau kegiatan tersebut.
Pemberi Ijin; cukup jelas
Apa itu UKL dan UPL ?
"...kegiatan yang tidak wajib menyusun
AMDAL tetap harus melaksanakan
upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan"
Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan; serangkaian kegiatan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu rencana usaha/kegiatan yang
tidak diwajibkan menyusun AMDAL; yaitu kegiatan yang diperkirakan tidak akan
menimbulkan dampak
"...pelaksanaan upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan
terdiri dari dua kategori, yaitu :
- harus melewati suatu kajian lingkungan
terlebih dulu yang disebut Dokumen UKL-UPL;
- tidak perlu melewati kajian lingkungan
dalam Dokumen UKL-UPL"
Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak
akan menimbulkan dampak penting tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih
dulu sebelum dapat dipastikan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan
lingkungannya. Identifikasi dampak ini
dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan
intensitas dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian
pengelolaan dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait
lainnya.
Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal
dengan nama Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL). Dokumen ini berisi uraian
singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara sistematis, dan
program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dilaksanakan.
"...Dokumen UKL-UPL dibutuhkan bagi
kegiatan tidak wajib AMDAL yang masih
memerlukan identifikasi dampak
akibat ketidakpastian yang muncul dari
kombinasi frekuensi kegiatan dan intensitas
dampak yang relatif tinggi
sehingga perlu dikomunikasikan kepada pihak
lain yang terkait"
Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting
yang frekuensi kegiatan dan intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak
ada lagi ketidakpastian masalah pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun
Dokumen UKL - UPL, dan dapat langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan
upaya pemantauan lingkungan yang sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.
Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian
lingkungan lainnya ?
"...AMDAL adalah perangkat wajib yang
penggunaannya diharapkan komplemen
dengan perangkat-perangkat lainnya"
Kaitannya dengan dokumen lingkungan wajib lainnya;
ada beberapa dokumen lingkungan maupun kajian lingkungan yang sifatnya
diwajibkan. Pada dasarnya,
dokumen-dokumen lingkungan wajib seperti ini sifatnya spesifik, dimana
kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali ada
kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Kepala
Bapedal.
Dokumen-dokumen lingkungan wajib tersebut
adalah Dokumen UKL-UPL, Audit Lingkungan
Wajib, Revisi RKL-RPL, dan
ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Bapedal.
"...rencana kegiatan yang sudah
ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan menyusun AMDAL; kegiatan
berjalan yang diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL
baru;
pengubahan kegiatan yang hanya membutuhkan
penyesuaian RKL-RPL tidak perlu menyusun AMDAL lagi"
Kaitannya dengan dokumen lingkungan sukarela
yang dikenal; penyusunan dokumen lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan
yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban
penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian
dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa
karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan
lingkungan sekaligus dapat "menambal" ketidaksempurnaan dokumen
AMDAL.
• Dokumen-dokumen
lingkungan yang sifatnya sukarela ini sangat bermacam-macam dan terbukti amat
berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan
luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut
antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam
ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh
asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan macam-macam lainnya
Bagaimana prosedur AMDAL di Indonesia?
Prosedur AMDAL di Indonesia terdiri dari :
• Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
• Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
• Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL
• Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
Proses penapisan; atau kerap juga disebut
proses seleksi wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan
wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat;
berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib
mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan
tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi
kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penilaian KA-ANDAL; setelah selesai
disusun, pemrakarsa dapat mengajukan dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk
dinilai. Berdasarkan peraturan, lama
waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL,
dan RPL; penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL
yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL). Setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat
mengajukan dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal
penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan penyusun untuk
memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Apakah kegiatan anda wajib menyusun AMDAL?
Apabila menghadapi salah satu pertanyaan di
bawah ini:
Apakah anda akan membangun sebuah
usaha/kegiatan? Wajibkah AMDAL?
Ada proyek yang akan dibangun di sekitar
rumah anda? Wajibkah AMDAL?
Dapat dilakukan langkah-langkah berikut untuk
memastikannya:
LANGKAH-LANGKAH PENAPISAN WAJIB AMDAL
Apa yang harus dilakukan bila wajib menyusun
AMDAL?
Sebagaimana disebutkan diatas, prosedur AMDAL
pada dasarnya terbagi dalam 4 bagian.
Hal-hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh penyusun AMDAL
adalah :
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat;
walaupun tata cara pengumuman dan konsultasi masyarakat tersebut telah
dijelaskan secara rinci dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 08/2000,
pemrakarsa/penyusun AMDAL bebas mengadopsi berbagai teknik dan metodologi
pengumuman dan konsultasi masyarakat yang telah dikenal, selama tidak melanggar
ketentuan minimal yang telah ditetapkan.
"...Proses pengumuman diharapkan
memperhatikan keunikan bahasa dan
pola komunikasi setempat yang efektif;
Proses konsultasi masyarakat harus
memperhatikan pola dan struktur sosial budaya setempat."
World Bank, ADB, dan beberapa negara di dunia
seperti Kanada menerapkan aturan khusus pelaksanaan pengumuman dan konsultasi
masyarakat dalam proses penyusunan Environmental Assessment yang bisa dijadikan
referensi. Diharapkan dalam waktu dekat
akan diterbitkan pedoman pelaksanaan konsultasi masyarakat dalam AMDAL yang
khas Indonesia.
Proses penyusunan dokumen KA-ANDAL; secara
garis besar, hal terpenting yang perlu terangkum dengan baik dalam KA-ANDAL
adalah hasil konsultasi masyarakat dan masukan dari masyarakat. Hal-hal tersebut menentukan proses
pelingkupan dan penentuan isu pokok dari potensi dampak di lokasi rencana
kegiatan tersebut.
"...Hasil pelingkupan adalah kunci dari
KA-ANDAL,
dimana hasil konsultasi dengan masyarakat
serta masukan masyarakat yang diberikan
selama masa pengumuman menjadi sumber
informasi utama proses pelingkupan tersebut."
Pedoman pelaksanaan pelingkupan diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1992,
walaupun sangat disarankan untuk menggunakan referensi lain yang ada untuk
menyempurnakan dan melengkapi proses pelaksanaan tersebut.
Proses penilaian KA-ANDAL; tahap pengajuan
dokumen KA-ANDAL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1.
Telah
memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000
2.
Menyampaikan
1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai AMDAL yang
berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan
3.
Mempersiapkan
dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak jumlah yang ditetapkan sekretariat
4.
Memastikan
kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL
Proses penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan
RPL; penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL perlu mencermati kekhasan aspek,
teknis kegiatan, dan ekosistem rencana kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, pedoman penyusunan yang
diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 tidak
cukup. Berbagai pedoman yang secara
khusus membahas metodologi penyusunan ANDAL dari aspek sosial, kesehatan
masyarakat, valuasi ekonomi; dari tipe kegiatan seperti pemukiman terpadu; dan
dari tipe ekosistem seperti lahan basah dan kepulauan, telah diterbitkan dalam
bentuk Keputusan Kepala Bapedal. Sangat disarankan untuk melihat
referensi-referensi internasional lainnya dalam memperkaya penyusunan dokumen
tersebut.
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; tahap
pengajuan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL dapat dilalui dengan cepat selama
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Telah
memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000
2. Menyampaikan
1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai AMDAL yang
berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan
3. Mempersiapkan
dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak jumlah yang ditetapkan sekretariat
4.
Memastikan
waktu pertemuan dengan tim teknis
5. Merangkum
masukan dari tim teknis sebagai bekal dalam menghadapi Komisi Penilai AMDAL
6.
Memastikan
kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL.
Apa itu revisi RKL dan RPL?
Dari sudut legislatif, istilah revisi RKL dan
RPL tidak dikenal dalam prosedur resmi AMDAL.
Namun demikian istilah ini sering disebut/dipergunakan untuk situasi
perbaikan isi dokumen RKL dan RPL saja untuk menyesuaikan atas perubahan pola
pengelolaan dan pemantauan lingkungan dari suatu kegiatan yang telah
beroperasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai
revisi RKL dan RPL adalah :
o Revisi RKL dan RPL bukan merupakan prosedur
umum bagi sebuah kegiatan yang membutuhkan perubahan atas pola pengelolaan dan
pemantauan lingkungannya. Penerapannya
bersifat kasuistik.
o Revisi RKL dan RPL tidak selalu harus dinilai
di Komisi Penilai AMDAL. Penilaian
dilakukan apabila ada situasi khusus yang menyebabkan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan kegiatan tersebut wajib dikomunikasikan kepada seluruh
pihak yang terkait.
o Penyempurnaan RKL dan RPL harus selalu
dilakukan secara otomatis oleh pemrakarsa sendiri untuk memperbaiki kinerja
pengelolaan lingkungannya. Penyempurnaan
yang bersifat sukarela ini tidak usah diproses secara formal apabila memang
tidak ada perubahan detail kegiatan yang berarti.
Perubahan detail kegiatan pada dasarnya berimplikasi
pada penyusunan AMDAL baru. Keputusan
untuk hanya mengubah RKL dan RPLnya saja harus diambil setelah yakin bahwa
studi AMDAL yang lama memang dianggap telah mengantisipasi kemungkinan
timbulnya dampak baru akibat perubahan kegiatan
KONFLIK
Dalam hal ini, konflik struktural sering
menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA. Konflik ini berpangkal pada
adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak, termasuk
dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum
terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:
a. SDA bersifat dependent dan keterpautan,
artinya adanya ketidak seimbangan satu komponen akan berakibat pada komponen
yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan meningkatkan akibat
ditempat lain.
b. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan
bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain kebutuhan dan permintaan akan
selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar pihak yang
berkepentingan terhadap SDA tersebut.
SDA digunakan masyarakat dengan cara yang
ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang berkompetisi terhadap
lahan, hutan dll bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga bagian dari
cara hidupnya/budaya.
1.
Konflik kebijakan pengelolaan
Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran
regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan
yang timbul sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas),
adanya kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan darerah serta adanya
tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang baru. Bagaimana mungkin
melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada tingkatan regulasi
saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal ini,
diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar
dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat
saling mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara
kebijakan yang telah lama dengan kebijakan yang baru.
2.
Konflik kewenangan dan peran
Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik
peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem
pelaksanaan yang mengakibatkan munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung
seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Di satu sisi, pihak
pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang lebih besar dibandingkat
pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat mengklaim bahwa
peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.
3.
Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level
grass root
Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak
ulayat, proverty dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi
masyarakat merasa memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun
temurun dari leluhur mereka sementara di sisi lain mereka tidak memiliki
bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul pada tingkatan ini
nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural.
Terdapat berbagai konsep yang dapat
menjelaskan penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk
mengidentifikasinya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi dan
latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang menjadi penyebab utama
timbulnya konflik lingkungan.
1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari
konsep bahwa lingkungan adalah sebuah sistem yang dapat mengalami kerusakan
pada waktu dan bagian tertentu, sehingga banyak terjadi eksploitasi dan
monopoli terhadap lingkungan.
2. Lingkungan bersifat common resources, dimana
akan terjadi terik menarik kewenangan dan tanggungjawab antara pihak-pihak yang
terkait dan yang berpotensi untuk terlibat.
3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari
regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan lingkungan tersebut.
4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti
akan terjadi suatu kelangkaan sehingga muncul berbagai keinginan dari berbagai
pihak yang cenderung untuk menguasai.
5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada
koridor ekonomi saja, dimana pada dasarnya lingkungan juga memiliki fungsi
sebagai identitas social.
Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi
Kota Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban
pemerintah adalah :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan
meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan
meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam
upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
d. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan
nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
e. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat
yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan
penurunan daya dukung dan daya tampung lingkunagn hidup.
f. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang
akrab lingkungan hidup.
g. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
di bidang lingkungan hidup.
h. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan
menyebarluaskannya kepada masyarakat;.
i. Memberikan
penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.
Sementara itu, mengacu pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005, DPRD secara mendasar memiliki
fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki wewenang untuk
membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan,
pihak DPRD diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam
bentuk Perda ataupun peraturan perundang-undangan dimana pembentukan peraturan
tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berbasis
pada sustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi darar yang sangat penting
mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat
meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.
Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan
Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan
fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat
berperan sebagai :
1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan
yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup.
2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi
memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha
melakukan pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan.
3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif
untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan pembangunan lingkungan di
suatu daerah.
4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan
masalah dan hasil evaluasi yang dilakukan.
Selain hal tersebut diata, DPRD dan Dewan
Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership
dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya
DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis
terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan
kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang
mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar
lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait
kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan,
sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk
sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa
untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu
sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan
seiring dengan perbaikan sistem.
Implikasi Konseptual
Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang
yang antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini.
Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya diperlakukan sebagai benda
yang independent. Lingkungan hidup tidak cukup difahami semata-mata sebagai
realita bio-fisik. Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh
tertentu terhadap bekerjanya sistem sosial.
Sebaliknya, bekerjanya sistem sosial
mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu, lingkungan hidup
perlu senantiasa difahami kaitannya dengan masyarakat yang berinteraksi
dengannya. Artinya :
Ø Yang perlu di-manage bukan hanya lingkungan
sebagai entitas bio-fisik tersebut, namun juga pola interaksi sosial yang
berlangsung.
Ø Yang perlu dicermati bukan hanya perubahan
kondisi bio-fisik lingkungan, namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang
berlangsung.
Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring
dengan kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik).
Perkembangan kehidupan masuarakat yang semakin modern berjalan seiring dengan
pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi, dan penciptaan limbah yang
semakin besar. Modernitas membawa kehidupan yang secara sistemik semakin
riskan. Pada saat yang sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada
bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara struktural dan
membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut ketika ditunjang oleh suatu
bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti bahwa, kerentanan pada tataan sistemik
bisa meruntuhkan sistem sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena
pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari pengelolaan
lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.
Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki
bentuk yang beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada
dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat mengandalkan
konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak yang sangat mengandalkan
mekanisme transaksi suka rela. Pola interaksi yang pertama sangat jelas
terlihat pada bekerjanya birokrasi pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal
sebagai mekanisme pasar.
Ø Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang
ditentukan dari atasan atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi.
Bekerjanya sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap
yang telah dirumuskan secara hierarkhis.
Ø Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah
mekanisme transaksi suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang
kelebihan dengan yang kekurangan, atau antara pemasok dan pembeli berlangsung.
Poin yang ingin dikedepankan di sini adalah
bahwa nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar
maupun bekerjanya birokrasi pemerintahan. Ini berarti bahwa, titik strategis
dalam pengelolaan lingkungan adalah pencermatan terhadap bekerjanua mekanisme
pasar maupun bekerjanya mesin pemerintahan.
Keempat, ‘negara’ dan ‘pasar’ adalah
mekanisme yang secara alamiah telah terpola dalam kehidupan sehari-hari.
Pengamatan sejauh ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara sangat sensitif terhadap
sentimen pasar, dan sebaliknya sentimen pasar sangat mengkondisikan apa yang
akan diputuhkan oleh pejabat. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan
terpenting bukan memilih interaksi yang dilakukan birokrasi namun juga
interaksi sosial yang berdasar mekanisme pasar. ‘Negara’ dan ‘pasar’ bukanlah
pilihan, melainkan pola yang harus dicermati dan dikelola. Di masa lalu, ketika
yang menjadi kepedulian adalah peran negara maka yang menjadi kerangka fikir
adalah apa yang harus dilakukan oleh negara dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan negara. Seiring dengan
semakin dominannya pola interaksi berbasis pasar dalam kehidupan sehari-hari
maka wacana yang berkembang mengalami pergeseran, dari ‘government’ ke ‘governance’.
Yang dipentingkan bukan agency yang terlibat namun juga interaksi antar agency
tersebut.
Sehubungan dengan point keempat tersebut di
atas, perlu kiranya dicermati adanya kecenderungan untuk mengedepankan peranan
pasar dalam memahami good governance.
Sebagai contoh, good governance
adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak didominasi pemerintah melainkan
pemerintahan yang partisipatif. Pemerintahan yang baik adalah yang akuntabel,
bukan hanya memuaskan dirinya sendiri. Dalam bentuk seperti inilah wacana good
governance erat kaitannya dengan pelembagaan format a la neo-liberal. Format
yang diiedealkan adalah yang kuat namun lingkupannya hanya pada hal-hal yang
tidak bisa dikelola oleh aktor-aktor non negara. Pembahasan sekelumit tentang wacana
good governance tersebut di atas memang relevan mengingat negara justru
bermasalah ketika mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Hanya saja, tidak ada kita juga harus ingat bahwa pengurangan peran pemerintah
tidak menjanjikan apa-apa kalau masyarakat juga memiliki kesalahan yang sama
dengan pememrintah: berfikir etnosentrik ataupun teknosentrik.
Implikasi Praktis
Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa
upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan
hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk mengatasi
persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian kecenderungan destruktif:
seperti pola konsumsi sumberdaya alam yang terus meningkat dan bahkan semakin
boros seiring dengan tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal
itu, maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan kepentingan
lingkungan menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar. Kalau toh pengelolaan
lingkungan hidup harus mengandalkan mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut
perlu mengadopsi etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang
terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis. Paralel
dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat pengelolaan
lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang diambilnnya sekiranya mereka
juga mengadopsi etika lingkungan.
Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan
pengembangan governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai
fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem merupakan
persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan tentang bekerjanya
sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan justru para aktor strategis:
pejabat, pengusana, teknokrat dan tokoh-tokoh yang lain.
Kedua, kalau kita ingin tetap memakai
framework managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi merupakan
titik strategis dalam pengembangan environmental governance. Hanya saja, perlu
dicatat bahwa koordinasi tidak cukup melibatkan aparat birokrasi atau para
manager, melainkan melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita
cermati contoh kasus berikut ini.
KESIMPULAN
a. Memperkuat dan memperluas aplikasi ketentuan
hukum yang berlaku sekarang dan persetujuan internasional untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan (to strengthen and extend the application of existing
and international agreement in support of sustainable development).
b. Mengakui dan menghormati hak-hak dan
kewajiban individu dan Negara secara timbal balik bertalian dengan pembangunan
berkelanjutan, dan melaksanakan kaidah-kaidah baru pada perilaku negara dan
antar Negara untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan (to
recognise and respect the reciprocal rights and responsibility of individuals
and State regarding sustainable development, and to apply new norms for State
and interstate behaviour to enable this to be achieved);
c. Memperkuat metode yang telah ada dan
mengembangkan prosedur baru untuk menghindari dan memecahkan pertikaian
lingkungan dan masalah. Pengelolaan sumberdaya alam (to rainforce existing
methods and develop new procedures for avoiding and resolving disputes on
environment and resource management issues) Implikasi dari Prinsip-prinsip
Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam Pada Pembentukan Hukum Nasional.
d. Pertama prinsip pembangunan berkelanjutan
akan membawa pengaruh pada prinsip hukum
tradisional, yang harus menyesuaikan diri pada perkembangan ilmu dan teknologi
yang membawa dimensi baru pada aspek-aspek hukum dari proses pembangunan
(development concept). Secara harfiah, kata pembangunan membawa kondisi dan
nilai-nilai baru yang akan mempengaruhi nilai-nilai yang ada, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga
diperlukan proses penyesuaian terhadap kebutuhan baru (new need).
e. Prinsip yang mengatur pembangunan
berkelanjutan disamping prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan juga prinsip
yang memberikan refleksi pendekatan ‘sustainable’ sebagai standar tingkat
penggunaan atau eksploitasi sumberdaya alam tertentu. Sustainable dalam arti
ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan secara optimal, seperti dalam hukum
laut yang mengatur pemanfaatan sumberdaya laut, misalnya dengan istilah ‘the
optimum level of whale stocks’, ‘optimum sustainable yields’ dan optimum
utilization yang didasarkan pada standar yang menjamin pelestarian lingkungan35.
f. Pengembangan prinsip-prinsip Deklarasi
Stockholm ke dalam prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan merupakan
perkembangan mendasar pada pembentukan hukum sumberdaya dan lingkungan baik nasional
maupun internasional. Prinsip-prinsip yang telah berkembang sejak Laporan
Komisi Brundtland 1987 dikukuhkan dalam konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup
di Rio de Jenairo pada tahun 1992, baik konvensi Internasional tentang
Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Lingkungan Nasional telah mengalami
perubahan mendasar, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam terkait dengan
pendekatan hukum baru yang mengintegrasikan pembangunan lingkungan, ekonomi dan
sosial sebagai komponen pembangunan berkelanjutan36. 35 Philippe Sands,
Principles of International Environmental Law, 1995 36 Johannesburg Summit 002, Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan
Berkelanjutan.
g. KTT Johannesburg, yang dikenal luas sebagai
World Summit on Sustainable Development membawa perkembangan baru yang
memperkuat dalil saling ketergantungan dan saling memperluas antar komponen
pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) pembangunan ekonomi, (2) pembangunan
sosial, dan (3) perlindungan daya dukung ekosistem. Pada tahap ini pendekatan
bottom-up as a new Von Savigny theory of law in scientific perspective dapat
memberikan peluang baru bagi teori hukum Van Savigny dilihat dari perspektif
ilmu sosial melalui modelmodel paparan yang memiliki ‘descriptive power’ bagi
analis hukumnya37.
h. Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan
mempengaruhi pula gagasan pembentukan hukum pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia. Sejak tahun 2000, pemikiran dan diskusi di bidang pengelolaan
sumberdaya alam. Berdasarkan pradigma baru telah mendorong terbentuknya kebijakan
makro pemerintah dalam bentuk TAP MPR No: IX/2002 tentang pembaharuan dan
pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan
sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini, merupakan salah
satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di
bawah konsep pembangunan berkelanjutan.
i.
Terbentuknya
kebijakan dasar di atas, yang akan memberikan arah perkembangan hukum
sumberdaya di masa yang akan datang perlu diberikan peluang memperoleh
pengujian secara akademis, kebutuhan praktis baik sebagai dasar kebijakan
kegiatan dalam pembangunan, maupun kebutuhan praktek di kalangan pengguna jasa
hukum dalam arti yang luas. Pendekatan hukum yang bersifat holistik yang telah
berkembang baik melalui hukum lingkungan, menuntut perubahan secara mendasar
dari ketentuan hukum lama yang bersifat sektoral, seperti antara lain bidang
kehutanan, pertambangan, perikanan, pengairan, pertanahan, dan pertanian.
j.
Arah
perkembangan, resistensi, perdebatan konsep dan gagasan baru hokum sumberdaya
alam dalam perspektif sosial dan ekonomi menuntut partisipasi semua kelompok
utama, penguat peranan dan kemampuan otoritas-otoritas local dan institusi
pembangunan berkelanjutan.
k. Sebagimana diuraikan diatas, selain
terjadinya perubahan cara pandang baru pembentukan hukum dari yang semula
berpusat pada budaya manusia saja (anthropo-centric) ke dalam paradigma baru
yang berpusat pada budaya ekosistem (eco-centric), juga meletakkan dasar konsep
hukum lingkungan baru. Perkembangan hukum baru ini disebut oleh Maurice Strong,
Sekertaris Jenderal Konferensi PBB tentang lingkungan Hidup sebagai ‘a first
step in development international environmental law’. Prinsip-prinsip dalam
Deklarasi Stockholm telah menjadi model pembentukan undang-undang lingkungan
hidup (UULH) nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.
l.
Dalam
perkembangan selanjutnya, berbagai negara, seperti di Amerika Serikat,
Filipina, New Zealand, terutama pada tahun 1990-an, telah melakukan pembahasan
terhadap kerangka hukum pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Pada tahun
1974, peneliti saya di beberapa unversitas di Amerika Serikat terhadap
pengembangan hukum pengelolaan sumberdaya alam, antara lain, university of
Michigan melalui penelusuran kepustakaan hukum sumberdaya alam menunjukkan
pentingnya pendekatan hukum ini terintegrasi dengan hokum lingkungan. Sejak
berkembang konsep, prinsi-prinsip hukum pembangunan berkelanjutan melalui
komisi ahli hukum lingkungan dan pembangunan sejak tahun 1990-an, bidang hukum
pengelolaan sumberdaya alam telah membawa perspektif baru pembentukan hukum
melalui perjanjian internasional dan perundangundangan nasional. Dalam rangka
pembahasan rancangan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia, Manjit Iqbal, sebagai legal Officer UNEP di Asia Pasifik yang
berkedudukan di Bangkok, sebagai pembicara tamu menjelaskan perkembangan
pembentukan hukum yang mulai mengintegrasikan UUHL dan UU sumberdaya alam dalam
satu kerangka hukum (legal Framework) . oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan
di atas, gagasan pengembangan hukum pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia,
cukup beralasan saat ini.
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.