Pendahuluan
Dalam era reformasi
dan dan situasi krisis moneter yang sekarang ini terjadi membuat banyak perusahaan maupun bank-bank
menjadi tak berdaya. Bahkan banyak diantara
menjadi bangkrut sehingga timbul berbagai macam perkara.
Dengan
banyaknya perkara yang timbul akibat situasi tersebut disatu sisi memberikan
banyak pekerjaan bagi para ahli hukum, salah satunya yang bergerak sebagai
Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara yang tangguh
dalam bidang perdata diperlukan
pengalaman dan keahlian diantaranya adalah dalam membuat gugatan atau
menganalisa suatu gugatan yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu
Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila
cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu akan membuat gugatan menjadi kandas ditengah
jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu
bila tidak dapat memberikan analisa
hukum yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau
Jawabannya tidak sempurna atau keliru maka hal ini tentunya merugikan kepentingan klien. Untuk itu diperlukan
pemantapan keahlian yang harus dimiliki
sebelum terjun di bidang litigasi di
Pengadilan.
Untuk
menanggulangi hal tersebut maka
diperlukan pendalaman pemahaman terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering
dijumpai dalam melakukan praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai bagaimana bila akan beracara (perdata) di Pengadilan baik itu dalam kaitan
gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan Niaga adalah sangat penting sekali.
Pemahaman yang benar akan dapat memberikan jalan keluar atau “problem solving”
atas masalah yang diserahkan oleh klien untuk dicarikan jalan keluarnya
tersebut. Kadangkala Pengacara Litigasi
dapat berperan sebagai Kuasa Tergugat yang harus mampu mengaplikasikan pengetahuan
hukum perdatanya baik dari aspek acaranya (formil) maupun dari aspek
hukum perdata materiilnya. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan karena kesempurnaan
dalam membuat suatu Jawaban
dapat menggagalkan suatu guatan dari lawannya. Karenanya tidak ada
salahnya kita untuk mempelajari kembali masalah-masalah ini sebagai suatu
“refreshing” semasa kuliah dulu sekaligus untuk dapat dijadikan sebagai salah
satu pegangan dalam menerapkan ilmunya dalam praktek khususnya dalam Praktek
Hukum Perdata.
Surat
Kuasa (khusus)
PendahuluanDalam setiap beracara di Pengadilan
maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang
mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili
tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang
dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang
diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.
Ad.1 Nama Para Pihak
Ad.b. Obyek gugatan
Ad.c. Nama Pengadilan
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Langkah-Langkah
Dalam Pembuatan Gugatan
Ad.1 Nama Para Pihak
Ad.b. Obyek gugatan
Ad.c. Nama Pengadilan
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
&nbrp;
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
Pemberi Kuasa
(.......................)
|
Penerima kuasa
(. . . . . . . .
. . . . .)
( . . . . . . . .
.. . . . .)
|
I.Pendahuluan
II.Tahap Persiapan
III. Menentukan siapa yang menjadi Penggugat
IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat
V. Persona Standi in Judicio
VI. Posita Gugatan
VII. Petitum Gugatan
Pada bagian petitum jawaban bila ada eksepsi yang diajukan dimana eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara maka ada pergeseran bentuk.Bila dalam jawaban ternyata mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan rekopensi sebagaimana yang diatur dalam pasal 132a HIR. Sedangkan cara membuat gugatan rekovensi hampir sama dengan ketentuan membuat gugatan.Namun yang harus dicermati adalah posisi/kwalitas dari subjek hukum menjadi berbeda secara terbalik dimana semula sebagai tergugat dalam konvensi kemudian menjadai penggugat dalam rekovensi.
Lawan
Kedua, klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan diakui bila ada pengakuan sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat harus menetukan sikap dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama dengan petitum dalam gugatan dan petitum dalam jawaban sepanjang mengenai eksepsinya.
REPLIK
Rol Perkara No. / Pdt. G./2000 /PN .......
Lawan
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat dalam jawaban.
DUPLIK
Lawan
Penerapan Pembuktian
PENGERTIAN
a. Ada surat otentik atau tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
a.1. Adanya
akta otentik atau tulisan tangan yang menurut Undang-undang mempunyai
kekuatan bukti.
a.2. Ada putusan lain yang sudah ada dan sudah mempunyai
kekuatan hukum pasti.
a.3. Ada
gugatan provisi yang dikabulkan.
a.4. Sengketa yang ada sekarang mengenai bezitsrecht.[33]
|
C.2.b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi
C.3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator
1.
2. 3. |
Berupa sengketa atau perkara yang bersifat
partai
Ada pihak penggugat yang bertindak mengajukan gugatan terhadap pihak tergugat, dan Proses pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.[36] |
·
Di Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria), apabila tanah
yang disita bersertifikat(Stb.1834 No. 27 Jo. PP No. 10/1961)
|
·
Dikantor kepala desa dalam buku Letter C, apabila tanah
yang disita belum memiliki sertifikat (Stb. 1834 No. 27)
|
·
Mencatat jam, hari, bulan, dan tahun pengumuman
penyitaan
|
2.
|
Pejabat
pelaksana sita eksekusi, memerintahkan
kepala desa mengumumkan penyitaan barang yang telah disita dengan cara
:
|
·
Pengumuman menurut kebiasaan setempat, dengan maksud
agar penyitaan diketahui secara luas oleh masyarakat sekitarnya.
|
·
Surat permintaan lelang
·
Sertifikat Hak Tanggungan
·
Somasi(Peringatan) min. 30 hari sebelum pelelangan
·
Syarat penjualan lelang dari penjual
|
·
Grosse Akta Hak Tanggungan
·
Sertifikat Tanah
·
Pengumuman lelang 2 kali 15 hari di surat kabar
·
Jumlah rincian hutang
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Tanggal, bulan dan tahun “dengan huruf”
Nama kecil juru lelang atau kuasanya
n
Nama tempat kedudukan juru lelang atau
kuasanya
Nama kecil pemohon eksekusi,pekerjaan
dan tempat kediamannya
Nama atau kedudukan pihak penjual,dan atas
dasar apa serta atas nama siapa penjualan lelang dilakukan, serta uraian
tentang keyakinan juru lelang bahwa pihak penjual memang berhak untuk
menjualnya
Tempat di mana penjualan dilangsungkan
Keterangan secara umum sifat barang yang
hendak dilelang, khusus untuk benda tidak bergerak disebutkan lokasi, batas,
dan status hak kepemilikannya sesuai bukti kepemilikannya
Uraian tentang syarat penjualan lelang yang
ditentukan oleh pihak penjual
|
1.
2.
3.
|
Uraian jalannya pelelangan
Nama, pekerjaan dan tempat tinggal pembeli
lelang (tempat penjualan lelang
apabila pembeli tidak tetap tempat kediamannya)
Besarnya harga penjualan lelang dengan
angka dengan penjelsana bahwa harga itu sesuai atau tidak dengan patokan
harga yang diatur Pasal 9
|
1.
2.
|
Menyebutkan jumlah barang yang laku
(terjual)
Menyebut sisa barang yang ada
|
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
MAKALAH
Kuasa secara
lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya
kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun
kuasa dapat diberikan secara lisan namun
dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan
menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti
autentik.
Disamping
itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi
penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang
dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari
bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna
menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada
umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa
secara tertulis ini sifat pelimpahannya dapat dilakukan secara umum [1]
dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat
Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris.
Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ penerima kuasa lebih menyukai
pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang
autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi
kekuatan bukti yang sempurna juga pihak [pemberi kauas tidak mudah untuk
mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan
serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah
tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah
dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa.
Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya
tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya
kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya
harus dilakukan dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino
jarang terjadi karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan
mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima
kuasanya tersebut.
Maka
diharapkan dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang
diberikan dalam suatu surat kuasa.
Dengan
demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi
kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut
terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat
melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila
hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa
secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan
penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua
macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus.
Dalam
kaitan ini yang akan diuraikan adalah mengenai surat kuasa yang dipakai dalan
praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa
(khusus) perlu dicermati dengan baik
karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan
membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.[2]
Kekeliruan dalam
pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat
materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak
dapat diterima oleh Pengadilan.
Bahkan
ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam
permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun
kasasi di Mahkamah Agung ternyata hanya
melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang
dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya
kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak dapat diterima karena tidak
dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan
perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan
Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei
1999).[3]
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan
putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November
1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta
Pusat tanggal 31 Januari 19784 No.
516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.
Adapun
pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks
fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal 123
HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri hukum
mana gugatan harus diajukan.[4]
Walaupun
dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa
yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat
kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:[5]
1.
Nama
para pihak, subjek (identitas);
2.
Pokok
Sengketa atau obyek sengketa
3.
Nama
Pengadilan
4.
Apa
berlaku juga untuk banding/kasasi
Untuk menentukan para
pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, karena kekeliruan
dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga
dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam
menentukan siapa yang berhak bertindak
memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan hukum akan
menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan
Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian
Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan
kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan
karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal
proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini
sungguh ironis sekali.
Mengenai tidak
dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak
yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah
pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan
keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak
diterimanya suatu gugatan. [6]
Agar tidak terjadi
kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini
perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a.
Apakah
pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang
memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya
diperhatikan adalah si pemberi kuasa
termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik
barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam
pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa
meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk
melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.[7]
b.
Apakah
pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau
yang berbadan hukum ?
Seperti kita ketahui
bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang namun
tidak berbadan hukum seperti Persekutuan
Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan
perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor hukum) .
Pada bentuk
persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa adalah mereka para sekutu yang tercantum
dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu
komanditer.
Apabila pemberi
kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara badan hukum yang
berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat
dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur
dalam ketentuan hukum perdata.
Mengenai badan hukum
publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah
Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang
dapat memberi kuasa masing-masing adalah
Kepala Jawatan untuk
Perusahaan Jawatan, Direksi Perum
untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan.
Sedangkan untuk badan
hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas,
Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara
PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah
melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat
berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak
dibidang Perbankan.
Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak
dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak
hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian
ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.
Seperti misalnya
dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat
memberikan kuasa adalah direksi yang
ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih
oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain
sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah
terjadi dalam perkara permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak
memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam
permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan
pailitnya kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa
khusus yaitu siapa yang berwenang dalam
memberikan kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei
1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal
11 Mei 1999).[8]
Sedangkan Penerima
Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai
ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang
dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang
dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya
dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan
tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di
Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain
kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi
tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada Pengadilan
Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat. Namun ijin praktek
Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya dapat beracara di
wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum
dimana perijinannya diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui
persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang
dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat maka barulah ijin diberikan.
Ijin ini berlaku di
seluruh wilayah Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar
wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat hukum tersebut maka
sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat hukum tersebut hanya cukup
memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju
tersebut dengan beberapa tembusannya.
Dalam praktek
Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa
tersebut para Penerima Kuasa yang
namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya adalah
dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau membuat Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus
menandatangani surat-surat tersebut .
Kadang-kadang sering
dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di luar
kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal
persidangan telah ditentukan.
Maka untuk menghindari hal tersebut dalam
surat kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai
penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu
atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau
Jawaban karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut
cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.
Kemudian obyek dari
gugatan juga harus ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut
misalnya apakah gugatan itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera janji
ataukah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek
mengenai banyaknya kasus sungguh bervariasi misalnya ada perkara yang berkaitan
dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan
sebagainya.
Secara umum dapat
dikatakan dalam persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu
pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi
dan perbuatan melawan hukum. Suatu perkara dianggap merupakan suatu sengketa
wan prestasi bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Hubungan hukum antara para pihak biasanya dibuat secara tertulis lebih dulu.
Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam
perjajian itu maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan
prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada hubungan
hukum seperti suatu perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran
yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata
pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan
hukum yang berlaku maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa
perbuatan melawan hukum.
Pada kolom khusus ini
maka pengisian hak-hak apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan,
apakah dalam hal ini sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus
ditegaskan. Demikian pula juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka
untuk menentukan di pengadilan mana gugatan ini akan diajukan ini juga penting.
Karena salah menentukan pengadilan akan timbul bermacam-macam eksepsi baik yang
merupakan eksepsi yang absolut atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan
dengan eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di
pengadilan mana gugatan ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu
ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus
dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang
bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan
yang mengatur mengenai tempat penyelesaian misalnya di Pengadilan Negri Jakarta
Pusat maka walau para pihak tidak berada
diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka gugatan tetap diiajukan di
Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang
bersengketa tidak ada perjanjian tertulis tentang penyelesaian bila terja di
sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap
berikutnya adalah menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk
menentukan para Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan
mana gugatan itu diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap
menimbulkan kerugian bagi Penggugat berada
bersama sama dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang
secara tidak langsung dianggap turut terlibat
maka harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk
menghindari adanya eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan tentang eksepsi
kurangnya para pihak sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang
digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit investigasi
untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status
pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut
sebagai pribadi atau sebagai (Direksi)
suatu badan hukum tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat
maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau
berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka
alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu
ditulis semua agar gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan
banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan gugatan
tersebut.
Dalam mencantumkan klausul hak
banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor hukum atau
law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu
mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan
kasasi ini. Tapi ada pula kantor hukum lain tidak mencantumkan hak banding
untuk pada saat berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah
perkara diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak
bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk
putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu
surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja memakai surat kuasa yang lama
sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi.
Namun kadang-kadang ada hambatan dimana pada saat telah diputus di tingkat
Pengadilan Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini
pada bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas perkara tertinggal atau
masih ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan.
Sedangkan dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat
kuasa aslinya bukan salinannya. Oleh karena itu untuk menghindari kesuulitan
tehnis administrasi tersebut biasanya para Pengacara lebih memilih membuat
suarat kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih
mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya
masih ada hak-hak penerima kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat
kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan menerima Jawaban, Replik, Duplik,
saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan.
Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa hukum dengan majelis hakim
mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa hukum
ini adalah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak –hak tertentu tidak
dicantumkan seperti hak menerima Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak
permintaan kuasa hukum menerima Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan
hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya
dicantumkan hak untuk menerima Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya
kuasa hukum tersebut ditolak hadir dalam persidangan karena tidak ada hak untuk
tahap Replik atau Duplik, apalagi bila perkara tersebut menyangkut masalah
gugatan perceraian .
Demikian pula dengan
hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut perkara
dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi perdamaian yang
telah ditandatangani kuasa hukum diingkari oleh klienya dengan alasan dia tidak
memberikan hak tersebut. Hal ini
kadang-kadang bisa membuat si kuasa hukum digugat kliennya di Pengadilan
dan biasanya sekaligus ingin membatalkan apa yang telah disepakati dalam
akta dading sebelumnya.Hak untuk mencabut perkara dari rol ini bila tidak
dicantumkan akan membuat si kuasa hukum tidak dapat mencabut perkara begitu
saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut
baru dapat dicabut bila ada kuasa baru yang mencantumkan hak tersebut.
Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita
sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan gugatan balik atau yang
dikenal dengan gugatan rekopensi. Kalau si kuasa hukum sebagai kuasa Tergugat
tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya dia membuat dan
mengajukan pula gugatan rekopensi, maka gugatan rekopensi ini tidak mempunyai
dasar hukum karena si kuasa hukum tidak mempunyai hak untuk mengajukan hal itu.
Dengan perkataan lain gugatan rekopensinya menjadi batal demi hukum. Hak
penting yang lain yang harus dicantumkan adalah hak subtitusi baik sebagian
atau seluruhnya. Dalam praktek
kadang-kadang dalam perkara tertentu misanya menyangkut peraturan
pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dikuasai secara sempurna
kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai
hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memberikan kemudian bagi si
kuasa hukum untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada
pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan
tersebut ada beberapa perkara yang ditangani secara bersamaan sehingga mau tidak
mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam surat
kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibuat dan
isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka
sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa
khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas
meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu
Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi
mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian
pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia
dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memberikan
suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik
Indonesia paling tidak dalam surat kuasa
dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.
Contoh-contoh Surat
Kuasa Khusus
:
SURAT
KUASA
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : untuk selanjutnya
sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ...... yang
bertindak baik bersama-sama atau
sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.
KHUSUS:
Untuk dan atas nama
pemberi kuasa sebagai .(Penggugat).....
lawan ...(nama)..... yang beralamat
sebagai Tergugat di .......mengenai(perkara apa) ......., di Pengadilan
Negeri ...... .
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan,
Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari
rol, menjalankan perbuatan-perbuatan,
atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi serta
secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang
ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (Tergugat)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
:
Untuk dan atas nama
pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang
terdaftar dalam rol perkara No..
…/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak
rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (gugatan
perceraian)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama
pemberi kuasa selaku Penggugat,
mengajukan dan menanda-tangani gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta
.......... mengenai ...perceraian....
terhadap (nama)......, (pekerjaan)
............., bertempat tinggal di Jalan ............sebagai Tergugat.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam
pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (Tergugat perceraian)
Yang bertanda
tangan di bawah ini,
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai
Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama
pemberi kuasa selaku Tergugat. . ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang
terdaftar dalam rol perkara No..…/Pdt.G/…………. mengenai………………………
lawan…………………………sebagai Penggugat.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA SUBSTITUSI
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; berdasar Surat
Kuasa Khusus
tertanggal…………………………(terlampir); selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dengan ini
memberikan Kuasa Substitusi kepada :
N
a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama
pemberi kuasa selaku Tergugat/Penggugat.
. ..di Pengadilan Negri. . . . . . yang terdaftar dalam rol perkara No..
…/Pdt.G/………….mengenai………………………lawan…………………………sebagai Penggugat/Tergugat.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (Banding)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
:
Untuk dan atas nama
Pemberi Kuasa selaku Pembanding,
mewakili, mengajukan dan menanda-tangani banding di Pengadilan
Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri
No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan…………………………….selaku Terbanding.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala
sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (Terbanding)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
:
Untuk dan atas nama
Pemberi Kuasa selaku Terbanding,
mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori banding di Pengadilan
Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri
No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan……………………………………selaku Pembanding.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA (Kasasi)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
:
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pemohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani kasasi di
Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Tinggi………………
No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selakuTermohon Kasasi.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
SURAT
KUASA ( Termohon Kasasi)
Yang bertanda
tangan di bawah ini :
N a m a :
Pekerjaan :
Alamat : ; selanjutnya sebagai Pemberi
Kuasa.
Dalam hal ini
memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini memberikan kuasa kepada :
Advokat, pengacara
dan Penasehat hukum pada Kantor Pengacara ......., beralamat di ......
yang baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya sebagai Penerima
Kuasa.
KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori
kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan
Tinggi………………No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selaku Pemohon Kasasi.
Penerima Kuasa
diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan
Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut,
mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan
dan menanda tangani gugatan, Replik,
Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik,
saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau
memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau
diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menandatangani
kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini,
mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta
eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat
segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan
kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas
dengan hak retensi dan seterusnya
menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan menurut
syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Jakarta,
Seseorang atau badan hukum atau kumpulan orang-orang bila merasa
dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain dapat melakukan gugatan kepada pihak
yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan
hukum.[9]
Adapun pihak yang merugikan tersebut juga dapat berupa perorangan, kumpulan orang-orang
ataupun suatu badan hukum.
Apabila pihak yang dirugikan bermaksud
menggugat pihak yang merugikan kemudian datang pada pengacara, maka bila kita
berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus
membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.
Dalam membuat gugatan tidaklah semudah yang
diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara. Kesalahan dalam membuat gugatan
sehingga secara formil tidak terpenuhi akan membuat gugatan menjadi kandas
ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah pokoknya menjadi tidak
terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan
eksepsi.
Namun
yang merugikan klien apabila dalam membuat gugatan cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai
dengan bukti-bukti yang ada dapat membuat gugatan tidak dapat dibuktikan. Atau
dengan perkataan lain dapat membuat suatu gugatan menjadi ditolak.
Oleh karena itu dalam membuat gugatan kita
harus hati-hati dan cermat jangan sampai kekeliruan dan ketidak-cermatan akan
membuat gugatan menjadi kandas ditengah perjalanan.
Dalam membuat suatu
gugatan memang diperlukan kecermatan dan kehati-hatian, karena
kekeliruan-kekeliruan yang dibuat dalam membuat gugatan baik itu yang
mengakibatkan syarat formil dan materiil gugatan tidak terpenuhi akan membuat
gugatan kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana seperti pada saat
pembuatan Surat Kuasa Khusus maka dalam
membuat gugatan ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1.
Siapa
yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu badan hukum
ataukah pula sebagai keduanya ?
2.
Di-
pengadilan mana gugatan akan diajukan, apakah gugatan ini mengenai suatu
perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian
terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada hubungan
hukum sebelumnya ?
3.
Bukti-bukti
apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian
ataukah hanya berupa foto copi saja?
4.
Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita
sebagai jaminan gugatan agar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam membuat suatau gugatan sebenarnya harus dikumpulkan lebih dulu
data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan
bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang –kadang bukti-bukti yang diajukan
klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi
demikian maka kita harus pandai mengingatkannya sehingga seluruh data-data
bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan
kita menentukan langkah-langkah hukum yang akan menyelesaikan masalah
tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung gugatan klien kita sudah
terkumpul maka adakalanya diperlukan suatu investigasi terhadap para pihak yang
akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan ,
kumpulan orang-orang atau suatu badan hukum. Kadang-kadang dapat digugat
sebagai perorangan dan sekaligus badan hukumnya juga bila kita sulit
mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien
kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan
yang akan digugat, domisli dari badan hukum yang terakhir. Demikian pula bila
yang digugat adalah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut dapat
digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor pusat bank tersebut yang
digugat karena bank cabang.[10]
Pada
waktu melakukan investigasi tersebut juga perlu dicheck kembali asset asset
yang masih dimiliki oleh pihak yang akan digugat tersebut. Letak batas-batas
tanah yang mungkin akan diajukan sebagai jaminan atas gugatan klien kita harus
jelas diketahui batas-batasnya juga data-data pendukungnya.
Kalau perlu diminta pula kronologis masalah
yang menimbulkan sengketa yang merugikan
klien kita kemudian dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada
data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data bukti telah lengkap
sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu gugatan maka langkah
pertama adalah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah pernah
diuraikan.
Untuk dapat menntukan siapa yang akan menjadi Penggugat atau yang berhak
secara hukum memberikan kuasa kepada kita maka diperlukan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila
klien kita yang dirugikan berupa perorangan maka yang perlu diteliti adalah
apakah dia mempunyai hubungan hukum dengan pihak yang akan digugat atau ada hak
perdatanya yang dilanggar dimana pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila klien kita merupakan
kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap atau namloze vennoschap
(cv) maka yang dapat bertindak sebagai penggugat sekaligus pemberi kuasa adalah
para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila
Penggugatnya berupa badan hukum maka kita harus lebih cermat untuk menentukan
siapa yang dapat mewakili dari badan
hukum itu.
Tapi secara umum yang dapat memberikan kuasa
atau mewakili sebagai penggugat adalah Direksi yang memang berwenang
sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya. Namun dalam hal
tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili sebagai penggugat
(yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tundtk dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan dapat pula diatur dengan
peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang dan mewakili sebagai
penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti adanya perkembangan
peraturan-peraturan baru.
Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka dalam menentukan
para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Apakah
ada pihak yang dianggap telah melakukan tindakan yang merugikan hak keperdataan
klien kita dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum ?
2.
Apakah
diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai
hubungan hukum ?
3.
Bila
mempunyai hubungan hukum apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada
ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4.
Perlunya
informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data
sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam hubungan dimasyarakat kadangkala
mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak lain merugikan hak
keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara hukum apabila ada perbuatan yang
dilakukan yang menurut pandangan satu pihak wajar dan tidak ada masalah namun
oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai suatu tindakan kelalaian
yang menurut pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata dapat dituntut secara hukum
penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak yang dianggap merugikan secara
langsung tersebut dimasukan sebagai Tergugat utama baru ditentukan pihak-pihak
lain yang secara tidak langsung dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan
yang harus diperhatikan adalah dal;am penyusunan gugatan terhadap perkara yang
demikian penyusunan para tergugat
tersebut harus memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 sampai ayat 4 HIR.
Ketentuan ini harus diperhatikan agar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan
kompetensi relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian ternyata ada hubungan hukum
sbelumnya dimana hubungan hukum itu berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam
perjanjian tersebut para pihak telah sepakat mengenai pengadilan atau badan
tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan hukum maka pengajuan gugatan dilakukan ditempat yang
yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para pihak yang akan digugat adalah
pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan digugat biasanya dipersiapkan pula
sekaligus kelengkapan data-data baik itu mngenai alamat terakhir pihak yang
akan digugat juga data-data mengenai harta kekayaan tergugat yang diperkirakan
akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan. Data-data harta kekayaan tersebut
sebaiknya dibuat selengkap mungkin sehingga tidak terjadi kekeliruan sita. Bila
terjadi kekeliruan tersebut akan membuat biaya sita menjadi membengkak karena
adanya duakali atau lebih permohonan sita. Kalau perlu harus diketahui
batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut seperti batas sebelah utara
dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa, sebelah selatan dengan tanah
siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula, dan kadang-kadang gugatan bisa
menjadi batal.[11]
Detail
yang lengkap ini diperlukan agar pada waktu pendaftaran sita jaminan di BPN
menjadi lebih mengikat atau merupakan sita jaminan yang sah dan berharga.
Kadangkala bila tanahnya belum bersertifikat
maka tembusan penetapan sita jaminan dan berita acaranya diberikan ke pihak
Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual beli atas tanah
girik tersebut pihak terkait dalam hal ini
Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi tidak bersedia melakukan
pembuatan akte jual beli tersebut.
Setelah menentukan siapa Penggugat dan siapa saja yang menjadi Tergugat
sekaligus menentukan di Pengadilan mana gugatan itu akan diajukan maka hal itu
merupakan bagian dari persona standi dari gugatan ini.
Untuk lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck
lebih dulu apakah antara Penggugat dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya
sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak
sama maka dapat membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan eksepsi
atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan data-data baik dari
penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data seperti nama, pekerjaan dan
alamatnya serta kapasitas sebagai
Tergugat harus jelas benar. Apakah Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi
atau personafikasi dari suatu badan hukum. Atau dapat pula digugat dalam kapasitas
sebagai pribadi dan badan hukumnya sekaligus.
Dalam penyusunan posita dalam praktek dapat diklasifikasikan ada 3 macam
model yang sering dipakai.
Model pertama, bila data-data atau
bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan hubungan hukum
dianatara para pihak memang sudah jelas maka pada bagian posita gugatan akan
disusun sedemikian rupa dari masalah
yang luas menjadi menyempit seperti kerucut. Sehingga setiap orang akan mudah
memahami bila gugatan tersebut adalah merupakan gugatan wan prestasi atau
perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan peristiwa hukum telah disusun
dengan baik. Penyusunan model demikian
akan nampak jelas mudah dipahami karena peristiwa-peristiwa hukum (rechtfeits)
yang merupakan dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan
seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa hukum yang disusun jelas nampak kapan
tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih sempurna bila gugatannya dibuat
dengan memperhatikan syarat formil dan materiil suatu gugatan.
Model kedua, dalam penyusunan gugatan maka
peristiwa hukum-pertistiwa hukum yang diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang
hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti
lainnya diajukan dapat tahap berikutnya setelah ada Jawaban dari
tergugat.Biasanya model yang demikian dipakai bila kuasa hukumnya sendiri belum
begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Namun bisa juga karena
ada hubungan hukum tertentu dari peristiwa hukum yang diajukan masih
samar-samar. Oleh karena itu biasanya pada tahap Replik baru sebagian lagi
bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya dipakai juga bila kliennya hanya
memiliki sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di tangan tergugat.
Atau dengan perkataan lain hanya memiliki sebagian bukti saja sedang sebagian
lagi biasanya hanya foto copinya saja karena aslinya berada di tangan tergugat
atau pihak lain.
Model ketiga, bila klienya hanya memiliki
sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya biasanya merupakan
dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun karena disusun seolah
juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing dan memberikan
tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam Dupliknya .
Kadangkala ada juga pengacara yang begitu mudah terpancing
sehingga dia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang
berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu adalah strategi lawannya.
Namun sering pula dalam praktek kuasa
hukum lawan tidak mau terpancing, terutama pengacara senior. Bahkan pada waktu
pembuktian dia akan menyatakan akan menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih
dulu bila lawannya menyatakan buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang
berikutnya pasti akan menyatakan bukti
asli tidak ada pada kliennya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam
membuat posita maka setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang
hendak dicapai dalam pengajuan gugatan tersebut yaitu sita jaminan
(conservatoir beslag). Permohonan sita jaminan sebagai jaminan agar gugatan
tersebut tidak menjadi sia-sia belaka harus diajukan bersama-sama dalam
gugatan. Kadang-kadang walau telah
diajukan dalam posita gugatan juga diajukan
lagi dalam permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si
tergugat berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna
menghindari tanggung jawab dari gugatan ini maka permohonan sita jaminan dapat
diajukan pada saat berkas masih
berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan
( berkas belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan dapat diajukan
pada saat di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah
melalaui proses pembuktian. Dalam bagian posita setidak-tidaknya dimasukkan
pula alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian
mengenai dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam gugatan
gantirugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini
disesuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
Apabila kita membuat petitum dalam
suatau gugatan maka dalil-dalil yang
akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam bagian posita,
baru dapat dimntaakan dalan bagian petitumnya. Jadi kalau tidak pernah
diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada bagian posita maka hal itu
tak dapat dituntut dan diajukan pada bagian petitumnya. Secara standar yang
dimuat pertama kali pada petitum dalam perkara wan prestasi adalah klausul :
“Mengabulkan gugatan Penggugat
seluruhnya”;
“Menyatakan
secara hukum Tergugat telah cidera janji “
“Menyatakan
batal demi hukum atau menyatakan sah demi hukum perjanjian…..”
“Menyatakan
secara hukum para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi…..”
Bila
ada persengketaan bezitrecht maka klausulnya adalah “ Menghukum Tergugat/para
Tergugat atau siapapun yang memperoleh
dari Tergugat untuk menyerahkan sebidang tanah dan bangunan aquo kepada
Penggugat dalam keadaan kosong dan baik”.
“Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”.
“Menghukum
Tergugat/para Tergugat untum membayar dwangsom sebesar……”.
“dan
seterusnya sesuai dengan masalahnya.
“
Biaya perkara menurut hokum.
Kemudian
kebanyakan ditambah pula petitum subsidairnya dengan klausul,
“
A t a u, bila Mejelis berpandangan lain mohon diberikan putusan seadil-adilnya
berdasarkan Ketuhanan YME”.
Sedangkan
kalau gugatan itu merupakan gugatan melawan hukum maka petitum yang
diajukan adalah ;
“Mengabulkan
gugatan Penggugat seluruhnya”.
“Menyatakan
bahwa Tergugat/para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”
“Menghukum
Tergugat/para Tergugat untuk membayar ganti rugi (secara tanggung renteng)
secara tunai kepada Penggugat meliputi,
-
Ganti rugi materiil sebesar……..
-
Ganti rugi immateril sebesar…
“Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan”
“Menghukum Tergugat/para Tergugat membayar dwangsom
sebesar….”
“.Biaya
perkara menurut hukum”
Dapat
pula dimasukkan permohonan subsidair atau ex aquo et bono
Untuk
lebih jelasnnya dapat dilihat pada contoh-contoh model terlampir
Ref.No.:___/IHP/DN-YAS/III/99 Jakarta,
__Maret 1999
Kepada Yth,
Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
di Jakarta
Hal:Gugatan
Wanprestasi
Dengan hormat,
Dani Indrawan, SH dan, Eva Rahayu SH.,
Penasehat Hukum di INDRAWAN, HEISKY
& PARTNERS, beralamat di Gedung Arthaloka Lantai 15, Jalan Jenderal
Asudirman Kav. 2, Jakarta 10220, berdsarkan Surat Kuasa Khusus No. _____
tanggal _________, bertindak untuk dan atas nama PT. BANK UNIVERSAL Tbk., berkantor pusat di ___________ , yang
dalam hal ini diwakili oleh _________ selaku ________, berlamat di
____________, selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”.
Penggugat bersama ini mengajukan gugatan
terhadap :
1.
PT. Berkatama Raya
Finance, beralamat
di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160
dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut “Tergugat I”.
2.
Saderah
Susantadiredja,
berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama
No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat
11440, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat
II”.
Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar
gugatan adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa
Tergugat II , semula adalah Direktur Utama dari Tergugat I, yang bergerak di bidang pembiayaan yang
menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa pemberian kredit dengan cara
cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank dalam keadaan
baru atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya dengan cara
pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan debitur
kepada Supplier (factoring) yang dibuat berdasarkan kontrak atau perjanjian
lainnya.
2. Bahwa Tergugat II dalam mengajukan
permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk
meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan usaha Tergugat
tersebut yaitu memberikan fasilitas kredit berupa pinjaman uang kepada
debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang
disetujui.
3.
Bahwa
Tergugat I melalui Tergugat II dalam beberapa kali presentasi begitu
meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut
bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha tersebut dengan
jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].
4.
Bahwa
karena prospek usaha PT. Berkatama Raya Finance nampak baik pada waktu itu dan
ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat I yang
diwakili oleh Tergugat II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam
kontrak Perjanjian Kredit No. 316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,-
(lima milyar Rupiah) tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris
H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5726/MONO (“Perjanjian Kredit”)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie)
Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H.
Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].
5.
Bahwa
semenjak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha
Perusahaan berkembang baik dan bahkan usaha Tergugat I menunjukkan terdapat
banyak peningkatan jumlah nasabahnya, oleh karena itu maka Perusahaan
memerlukan tambahan biaya lagi.
Bahwa karena hal
tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat mengucurkan
dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :
5.1 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (“Perubahan I”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.
000.000.000,- (lima milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar Rupiah); [vide P.4]
5.2 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (“Perubahan II”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas
milyar Rupiah);[videP.5]
5.3 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan
plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (“Perubahan III”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima
Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh
belas milyar Rupiah).[vide P.6]
6.
Bahwa
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir
7.7 telah disepakati sebagai berikut :
“Debitur tidak diperkenankan, tanpa persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur permodalan atau dengan cara
bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan agar akta pendirian atau anggran
dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya yang diambil daari laba
yang ditahan atau penempatan modal baru oleh pemegang saham, (ii) mengijinkan,
mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii) mengubah atau
mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris atau staff
inti, akan tetapi jika perubahan atau penggantian
tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau meninggal dunia, hal mana
tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini jika kekososngan tersebut
diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kekososngan tersebut
dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali untuk menyesuaikan dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
7.
Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah
anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat pada tanggal 15
Juli 1998; tindakan Para Tergugat ini
jelas bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].
8.
Bahwa
karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan
Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan,
karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak. Oleh karena itu tindakan perubahan
anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat adalah batal demi
hukum.
9.
Bahwa
kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar
Tergugat II tidak bertanggung jawab lagi akan Perjanjian Kredit, segala
perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie)
Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dengan
Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan usaha Tergugat II dengan itikad
buruk untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain.
10.
Bahwa
ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat ternyata
dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat dipertanggungjawabkan
lagi oleh Tergugat II yang pada waktu
itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat I, karena nampak berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.
11.
Bahwa
setelah Penggugat berkali-kali menghubungi Para Tergugat untuk menyelesaikan
tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang
baik dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikannya.
12.
Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus 1998 mendapat
surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada
pokoknya menyatakan bila Tergugat II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan [vide P.7].
13.
Bahwa
wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat II
karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan
Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dilakukan oleh
Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal 13 Desember 1996
sampai dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam tanggung jawab Tergugat II, sedangkan
gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam gugatan
tersendiri.
14.
Bahwa
dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun
pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat II dan
telah terbukti bahwa Tergugat II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85
ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
Tergugat II dapat dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15.
Bahwa
kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal
________________ dengan perincian sebagai berikut:
S
.
S
.
S
.
16.
Bahwa
karena adanya jaminan pribadi dari Tergugat II [vide P.1] dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya [vide P.7] dimana pengurusan dari
pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat II, maka
secara hukum baik Tergugat I mauapun Tergugat II bertanggung jawab secara
tanggung renteng.
17.
Bahwa
untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan guna menghindari usaha
tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon agar
dapat dilakukan sita jaminan terhadap:
17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik
Tergugat I);
17.2 Rebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan,
Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama
Tergugat II;
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl.
Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440
yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.
18.
Bahwa
karena gugatan ini didudkung oleh bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat
mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding,
kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij voorraad).
19.
Bahwa
wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa / dwangsom yang harus
dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) per
hari.
Berdasarkan hal-hal
yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan hati mohon
agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan sebagai
berikut :
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat seluruhnya;
2.
Menyatakan
Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3.
Menyatakan
secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung
jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan
perjanjian yang terkait [vide P.2–P.6])
yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;
4.
Menghukum
Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp. _________ kepada Penggugat
secara tunai;
5.
Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6.
Menyatakan
putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, damupun
verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7.
Menghukum
Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta
Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak
tanggal putusan ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8.
Biaya
perkara menurut hukum
Atau bila Pengadilan
berpendapat lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat
INDRAWAN, HEISKY & PARTNERS
Dani Indrawan,
SH., Eva Rahayu, SH.
Langkah-Langkah Dalam Membuat Jawaban
Pendahuluan
Apabila kita berperan sebagai kuasa
hukum dari klien kita yang digugat seseorang maka diperlukan data-data
pendukung untuk memberikan suatu tanggapan hukum. Tanggapan hukum tersebut
sering dinamakan Jawaban. Jawaban ini merupakan suatu langkah yang penting dan
sangat menentukan dalam memenagkan suatu kasus. Kadangkala bila Jawaban kita
terutama bila eksepsi yang diajukan diterima oleh Majelis Hakim yang kemudian
ditungkan dalam pertimbangan hukum dalam putusannya maka dapat dipastikan
gugatan lawan kita dinyatakan tak dapat diterima (niet onvankelijk).
Namun
dapat pula terjadi dalil-dalil yang dibuat dalam gugatan dapat dipatahkan dalam
Jawaban sehingga dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan secara sempurna.
Bila terjadi demikian maka dapat dipastikan gugatan yang diajukan dinyatakan
ditolak. Oleh karena itu perlu sekali kita mendalami agar dalam membuat Jawaban
benar-benar dapat dilakukan sesuai dengan faktanya dengan didukung bukti-bukti
akan membantu kita dalam membuat suatu Jawaban atas gugatan yang diajukan
seseorang atau badan hukum tertentu.
A.
Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu Jawaban
diperlukan persiapan dan penguasaan materi pokok perkara dalam suatu
sengketa keperdataan.
Disamping memerlukan data-data
pendukung berupa bukti-bukti yang dimiliki oleh klien juga diperlukan
kronologis kejadian perkara yang sebenarnya.
Mungkin data-data yang diberikan masih
kurang dan baru kita minta pada klien setelah membaca kronologis perkaranya
baik yang disampaikan secara tertulis maupun secara lisan. Biasanya baru akan
dibuat Jawaban bila kita telah hadir pada sidang pertama dengan menyerahkan
Surat kuasa Khusus yang menunjukkan
kewenangan kita sehingga dapat bertindak untuk dan atas nama klien kita selaku
Tergugat. Dalam persidangan dapat juga kita minta pada Majelis Hakim Surat
Kuasa lawan dimuka persidangan untuk dicocokan dengan gugatan yang kita terima.
Namun dalam perkara tertentu bisa saja
terjadi pada saat sidang pertama setelah Hakim menyampaikan usulan perdamaian
kepada para pihak ternyata ada pihak yang langsung menyerahkan Jawaban. Hal ini
terjadi bila memang diketahui dengan pasti gugatan yang diajukan pihak lawan
ternyata tidak memenuhi syarat formal
suatu gugatan.
Bila hal ini terjadi maka penggugat
tidak dapat merubah gugatannya tanpa persetujuan tergugat.
B.
Tahap
Pembuatan
Dalam membuat jawaban maka hal pertama
yang harus diperhatikan adalah apakah gugatan penggugat telah memenuhi syarat
formal suatu gugatan. Dalam praktek sering terjadi suatu gugatan disusun secara
tergesa-gesa atau mungkin dengan data yang tidak lengkap atau dapat juga karena
ada kekeliruan dalam melakukan upaya hukum. Perbaikan gugatan masih dapat
dimungkinkan sepanjang dalam persidangan (pertama) tidak diajukan jawaban
terlebih dulu oleh tergugat. Bila telah diaajukan jawaban maka perubahan
gugatan diperbolehkan asal tidak ada keberatan dari tergugat, hal ini mustahil
terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka dalam membuat suatu
Jawaban harus memperhatikan :
1.
Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat
sama dengan gugatannya?
2.
Apakah memang benar penggugat dalam
menentukan kompetensi pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
3.
Apakah diantara para pihak ada hubungan hukum sebelumnya
dalam bentuk suatu perjanjian ?
4.
Apakah ada konsistensi antara persona standi,
posita maupun petitum gugatan penggugat ?
5.
Apakah ada konsistensi tuntutan dalam posita
dengan petitum gugatan ?
Ad.1. Apakah
persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya ?
Dalam
membuat gugatan kadangkala para pihak dalam gugatan dengan surat kuasa khusus
yang menjadi dasar kewenangan kuasa hukum penggugat tidak sama. Pada gugatan
tertulis ada tiga tergugat tapi dalam surat kuasa hanya dua tergugat. Bila
terjadi demikian dapat diajukan eksepsi
atas hal tersebut. Demikian pula sebaliknya bila ada ketidaaksamaan jumlah
pihak yang digugat bila anatara surat kuasa dengan persona standi gugatan tidak
sama. Disamping itu juga bila dalam persona standi surat kuasa seperti nama,
pekerjaan, alamat bila tergugat merupakan perorangan/pribadi tidak sama dengan
persona standi dalam gugatan. Sedangkan bila merupakan suatu badan hukum yang
digugat ternyata tertulis langsung atas nama direkturnya misal Drs. Amin
Singgih SE, pekerjaan Direktur yang bertindak untuk dan atas nama PT.X, alamat
Jl. Situbaru…dstnya . Maka penulisan yang demikian bisa juga dijadikan eksepsi,
karena suatu perseroan terbatas tiap
bulan atau dua bulan direksinya dapat berganti terus silih berganti, tanpa mudah untuk diketahui secara umum.
Ad.b.
Apakah memang benar penggugat dalam
menentukan kompetensi
pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
Apabila
penggugat dalam gugatannya ternyata ada
beberapa tergugat, namun dalam gugatannya ternyata tidak dapat membedakan mana
yang tergugat utama dan mana yang menjadi
turut tergugat, maka dalam hal ini dapat juga diajukan suatu eksepsi
kompetensi. Demikian pula jika penggugat
dalam gugatannya ternyata ada banyak tergugat tapi gugatannya diajukan di
Pengadilan Negri dimana letak tanah yang akan digugat juga ada salah satu dari tergugat
tapi bukan tergugat utama. Terhadap gugatan demikian dapat pula diajukan
ekssepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Ad.c Apakah
diantara para pihak ada hubungan hukum
sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
Bila
penggugat dalam menentukan pihak
yang digugat ternyata melupakan
adanya perjanjian diantara para pihak dimana dalam perjanjian itu jelas dan
tegas ternayat para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul di lembaga tertentu misal Arbiter ad hock dan bila tak selesai baru ke BANI . Bila memang
telah disepakati demikian maka penggugat tak dapat langsung mengajukan gugatan
ke BANI melainkan harus menunjuk arbiter ad hock terlebih dulu untuk
menyelesaikan permasalahan mereka; kemudian bila tidak selesai dalam jangka
waktu yang telah disepakati baru dapat diajukan ke BANI. Demikian pula bila
telah disepakati dalam perjanjain tersebut penyelesaian masalah akan diputus dan tunduk pada ketentuan BANI,
maka tidak dapat dalam gugatannya langsung dilakukan di Pengadilan Negri tanpa
melalui BANI terlebih dahulu. Bila dalam gugatan terjadi seperti diatas maka
terhadap gugatan tersebut dapat diajukan eksepsi yang berkaitan dengan
kompetensi absolut.
Ad. Apakah
ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum gugatan penggugat
?
Apabila ada gugatan yang ternyata
tidak konsisten antara persona standi dengan posita maupun petitum dapat juga
dijadikan eksepsi atau bahan pertimbangan hukum yang dimasukkan dalam jawaban
yang akan melemahkan dalil-dalil dalam gugatan penggugat. Misalnya dalam
persona standi para tergugat tidak dijelaskan kaitan dalam hubungan hukum
sehingga terjadinya gugatan ini kemudian
muncul dalam petitum yang menyatakan para tergugat harus secara tanggung
renteng menanggung kerugian penggugat maka hal in dapat pula dijadikan dasar
untuk mengajukan eksepsi maupun sanggahan atas dalil-dalil dalam gugatan.
Contoh lain misalnya dalam posita gugatan diuraikan peristiwa-peristiwa
hukum yang secara keseluruhan merupakan
suatu gugatan cidera janji ternyata dalam petitumnya para tergugat dinyatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini merupakan suatu kontradiksi
yang kadang-kadang dalam kasus tertentu dapat membuat gugatan kandas ditengah
jalan. Bila dalam petitum gugatan kemudian muncul begitu saja permohonan serta
merta (uit voerbaar bij voorraad), sita jaminan, dwangsom tanpa diuraikan dasar
pertimbangan hukumnya dalam posita maka ini juga dapat dijadikan dasar untuk
melemahkan gugatan.
Demikian
pula bila dalam petitum gugatan ternyata
para tergugat dinyatakan telah melakukan cidera janji juga dinyatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka dalam praktek juga dijadikan
bahan pertimbangan untuk melemahkan gugatan.
Dalam
gugatan kadangkala tidak diteliti lebih lanjut dalam perjanjiannya
sehingga dibuat gugatan tanpa mempertimbangkan
masalah waktu tersebut juga dapat dijadikan pertimbangan yang melemahkan
gugatan; bentuknya dapat berupa eksepsi atau sanggahan dalil dalam pokok
perkara. Seringpula terjadi seharusnya upaya yang dilakukan adalah bantahan
tapi justru diajukan dalam gugatan ini juga sebagai pertimbangan dalam Jawaban.
C.
Tahap
Membuat Jawaban
Setelah mempersiapkan semua itu dan
setelah mempelajari dari bahan-bahan untuk membuat jawaban, maka diperlukan
suatu kecermatan dan naluriah untuk dapat menemukan kelemahan-kelemahan gugatan
yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu jawaban.
Jawaban dibuat dengan dua bagian yaitu
bagian eksepsi dan bagian pokok perkara. Pada bagian eksepsi seperti kita
ketahui dapat merupakan eksepsi yang absolut atau relatif. Bila ada eksepsi
yang merupakan eksepsi absolut kemudian dalam persidangan biasanya diminta
Hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dasar-dasar hukumnya, maka bila terbukti
akan dibuat suatu putusan sela yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Bila tak terbukti pemeriksaan akan
dilanjutkan sesuai dengan tahapan
prosedur yang berlaku.
Dalam bagian eksepsi juga dapat dimasukkan bermacan eksepsi seperti
dilatoir eksepsi, obscuur libel, ne bis in idem, kurangnya para pihak,
kadaluarsa dan macam-macam eksepsi lainnya. Eksepsi–eksepsi yang dikemukakan
diatas merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok perkara sehingga putusan
atas eksepsi tersebut dilakukan bersama-sama dengan putusan akhir dengan telah
mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Setelah bermacam
eksepsi diajukan dalam jawaban maka dalam pokok perkara ada beberapa klausul yang setidaknya harus
dicantumkan dalam pokok perkara tersebut diantaranya
- Menyatakan agar hal-hal yang telah diuraikan
pada bagian eksepsi
merupakan bagian dalam pokok perkara yang
tidak terpisah; maksud klausul tersebut adalah karena kebanyakan eksepsi yang
diajukan merupakan bagian dari pokok perkara sehingga harus diperiksa
bersama-sama dengan pokok perkara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan para pihak.
-
Klausul kedua adalah merupakan penolakan atas seluruh dalil-dalil
penggugat kecuali yang secara tegas dan nyata diakui oleh tergugat.
-
Dalil berikutnya adalah merupakan dalil-dalil yang membenarkan dalil
penggugat bila memang benar; atau
membantah kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam
gugatannya satu demi satu tanpa ada yang terlewatkan; karena bila ada yang
tidak dibantah hal tersebut dianggap oleh penggugat mengakui secara tidak
langsung dalil-dalil yang dikemukakannya; dalam bantahan dalil tersebut harus
dikemukakan dasar hukumnya, bila perlu pendapat doktrin maupun yurisprudensi
yang berkaitan erat dengan apa yang dibantah atau yang didalilkan itu.
- Kemudian pada bagian petitum
jawaban diajukan permohonan yang
disesuaikan dengan masalahnya baik itu
pada apa yang diminta bagian
eksepsi maupun bagian pokok
perkaranya;
Bentuk petitum jawaban tidak sama modelnya
dengan petitum gugatanm namun bula ada rekovensi maka petitumnya menjadi
berbeda .untuk lebih jelasnya lihat
contoh atau model.
JAWABAN
Rol perkara No……./Pdt.G/2000/PN………….
Dalam Perkara antara :
PT.X
........................Sebagai Tergugat Konpensi/
PenggugatRekopensi
PT.Y........................SebagaiPenggugat
Konpensi/
Tergugat
Rekopensi
------------------------------------------------------------
Jakarta,
................
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri ...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang memeriksa perkara No. ..........
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama klien kami, PT.X
.......... yang dalam hal ini diwakili oleh ................ yang bertindak
untuk dan atas nama PT. ..............., alamat ............, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus (terlampir), selanjutnya sebagai Tergugat dalam Konvensi/Penggugat
dalam Rekovensi, bersama ini menyampaikan Jawaban dalam Konvensi dan Gugatan
dalam Rekovensi, antara lain sebagai berikut :
I.
Dalam
Konpensi
A.
Dalam
Eksepsi
1.
..........................
2.
........................,
dst.
B.
Dalam
Pokok Perkara
3.
Bahwa
Tergugat mohon apa yang telah diuraikan di atas dianggap telah termasuk pula
dalam pokok perkara ini.
4.
Bahwa
Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat kecuali yang
secara tegas diakui oleh Tergugat.
5.
..............
dst.
II.
Dalam
Rekopensi
15. ..................
16. ................. dst.
Berdasarkan
........./2
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di
atas maka Tergugat dalam Konpensi/ Penggugat dalam Rekopensi mohon dengan
segala kerendahan hati agar Pengadilan Negeri ............ berkenan untuk
memutuskan antara lain sebagai berikut :
I.
Dalam
Konpensi
A.
Dalam
Eksepsi
- Menerima Eksepsi Tergugat seluruhnya
- Menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat
diterima.
B.
Dalam
Pokok Perkara
-
Menolak
Gugatan Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan Penggugat
tidak dapat diterima
-
Biaya
perkara menurut hukum
II.
Dalam
Rekopensi
1.
Mengabulkan
Gugatan Penggugat seluruhnya
2.
Menyatakan
secara hukum ........................
3.
......................................
4.
Menyatakan
sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan.
5.
Menghukum
Tergugat ......................
6.
Biaya
perkara menurut hukum.
Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/Penggugat Rekopensi,
(...................................., S.H. )
Replik
Replik merupakan tahapan persidangan
yang diberikan kepada Penggugat dimana Penggugat diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan hak perdatanya atas sanggahan yang diberikan Tergugat
berupa tanggapannya atas Jawaban yang diberikan Tergugat .Relpik tidak diatur
dalam HIR namun diatur dalam pasal 142
Rv (Reglement op Rechtsverordering).[12]
Dalam Replik biasanya akan dimasukkan
dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh
dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam jawabannya.Bila dalam jawaban ada
dalil-dalil yang bertolak belakang dengan dalilPenggugat dalam gugatannya maka
pada tahap replik penggugat akan berusaha memperkuat dalil yang telah
dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat doktrin atau Yurisprudensi
yang berkaitan erat dengan dalil yang telah dibantah tergugat tersebut.
Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil tersebut juga
ditambahakan bukti baru yang menambah kejelasan akan dalil yang telah
dikemukakan dalam gugatan semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil baru yang
belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil baru tersebut biasanya merupakan
dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin memperkuat
dalil-dalil gugatan secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan dalam
gugatan semula. Dengan demikian dapat dikatakan dalil-dalail yang dikemukakan
penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah dalil-dalil
tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan memperkokoh
dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam gugatan semula. Bila ada eksepsi yang
dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada repliknya harus
memberikan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi dalil-dalil yang mematahkan
eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut. Dalil-dalil yang dipergunakan
penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus benar benar mempunyai dasar
hukum yang kuat, karena bila tidak kuat bila dalil eksepsi tersebut merupakan
eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang absolut maupun yang relatif
akan membuat majelis yang memeriksa perkara tersebut menyatakan dirinya tak
berwenang untuk memeriksa tersebut dalam
suatu putusan sela. Bila eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk
dalam pokok perkara seperti eksepsi ne bis in idem maka dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil
yang mematahkan atau setidaknya melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti
yang mendukungnya beserta yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa
yang dimaksud dengan ne bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada
eksepsi-eksepsi lain maka penggugat dalam repliknya harus memberikan tanggapan
atas eksepsi tersebut apakah membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada
bagian pokok perkara dalam replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama adalah menyatakan bila pada
bagian eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan atas dalil eksepsi tergugat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya tersebut. Hal ini
penting dinyatakan karena hampir sebagian besar eksepsi merupakan eksepsi yang
termasuk dalam pokok perkara sehingga harus diperiksa dan diputus bersama-sama
dalam pokok perkara pada putusan akhir.
]
Dalam Perkara antara :
PT.Y...............Sebagai Penggugat
Konpensi/
Tergugat Rekopensi
PT.X
............Sebagai Tergugat Konpensi/
Penggugat Rekonpensi
Jakarta,
..............
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri ...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima perkara No. ..........
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Penggugat Konpensi
/Tergugat Rekopensi bersama ini disampaikan Replik sebagai berikut :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
...........................
2.
.............................
3.
..............................
B.
Dalam Pokok Perkara
4. Bahwa Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas termasuk
pula dalam bagian ini.
5. Bahwa Penggugat menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil
yang dikemukakan Tergugat keculai secara tegas dan nyata diakui oleh Penggugat.
6.
.....................................
7.
........................................
II.
Dalam Rekopensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
........................
2.
......................
B.
Dalam Pokok Perkara
1.
Bahwa
Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas termasuk pula dalam bagian.
2.
Bahwa
Tergugat menolak seluruh dalil-dalil Penggugat kecuali yang secara tegas dan
nyata diakui oleh Tergugat.
3.
.......................................................
4.
..........................................,
dst.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di
atas maka Penggugat Konpensi /Tergugat Rekopensi mohon dengan segala kerendahan
hati agar Pengadilan Negeri ...................
berkenan untuk memutuskan antara lain :
I.
Dalam
Konpensi
A.
Dalam
Eksepsi
1.
....................
2.
....................
B.
Dalam
Pokok Perkara
1.
.......................
2.
......................,
dst.
II. Dalam Rekopensi
A.
Dalam
Eksepsi
1.
.....................
2.
...................
B.
Dalam
Pokok Perkara
1.
.....................
2.
...................
3.
.........................
Hormat kuasa
Penggugat Konpensi/ Tergugat Rekopensi.
( ...................................., S.H.)
Duplik
Bila dalam jawaban ada eksepsi yang
kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka
tergugat dalam tahap ini harus memuat
dalil-dalil yang pada dasarnya semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian
dalil tersebut dapat merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang
berkaitan erat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus
juga harus dapat mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan
penggugat dalam repliknya.
Kemudian dalam pokok perkara sama
dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat. Pertama, berisi pernyataan
agar dalil-dalil yang dikemukakan pada bagian eksepsi dianggap merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua, merupakan pernyatan yang menolak
dalil-dali penggugat secara keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui
olehnya.
Kemudian dalil-dalil pada replik harus satu demi satu
dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Sedang bentuk petitumnya memakai model
yang sama dengan replik namun isinya tentunya harus bertentangan dengan apa
yang dikemukakan pada replik tersebut.
Rol Perkara No. /Pdt.G/ /PN .......
Dalam Perkara antara :
PT.X.................Sebagai
Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi
PT.Y ............. Sebagai Penggugat Konpensi /
Tergugat Rekopensi
---------------------------------------------------
Jakarta, ...........
Kepada Yth.
Bapak Ketua
Pengadilan Negeri ...............
u/p.
Majelis Hakim
Yang menerima perkara No. ..........
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Untuk dan atas nama Tergugat Konpensi/
Penggugat Rekopensi bersama ini mengajukan Duplik, antara lain , sebagai
berikut :
I.
Dalam Konpensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
...................
2.
..................
3.
.......................
B.
Dalam Pokok Perkara
4.
Bahwa
Tergugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap termasuk pula dalam bagian
ini.
5.
Bahwa
Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat kecuali yang
secara tegas dan nyata diakui oleh Tergugat.
6.
.......................
7.
...............dst.
II.
Dalam Rekopensi
A.
Dalam Eksepsi
1.
.....................
2.
..................
B. Dalam Pokok Perkara
3.
Bahwa
Penggugat mohon apa yang diuraikan di atas dianggap termasuk pula dalam bagian
ini.
4.
Bahwa
Penggugat menolak seluruh dalil-dalil Tergugat kecuali yang secara tegas dan
nyata diakui oleh Penggugat.
5.
................
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di
atas maka Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi mohon diberikan putusan
sebagai berikut :
I.
Dalam
Konpensi
A.
Dalam
Eksepsi
1.
.................
2.
.................
B.
Dalam
Pokok Perkara
1.
.................
2.
...............,
dst.
II.
Dalam
Rekopensi
A.
Dalam
Eksepsi
1.
..........
2.
............,
dst.
B.
Dalam
Pokok Perkara
1.
..........
2.
..............,
dst.
Hormat Kuasa
Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekopensi
(......................................,
S.H.)
Hukum Pembuktian
DASAR
HUKUM/PENGATURAN
1.
Hierziene Inlandse Reglement (HIR)
Stb. 1941 No. 44 (untuk jawa dan Madura)
2.
Rechtreglement Buitengewesten (RBg)
Stb. 1927 No. 227 (untuk luar jawa dan
Madura)
3.
Reglement op de Burgelijke Rechtvordering
(Rv)
Stb. 1847 No. 52 dan Stb. 1848 No. 63
4.
Buku ke-4 KUHPerdata (Stb. 1847 No. 23)
5.
Ketentuan setelah Proklamasi Kemerdekaan
seperti :
a.
UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
b.
UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum.
c.
UU No. 14/1985 tentang MA. RI
TEORI
1.
Teori yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada pelanggaran hak
subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus membuktikan
tiadanya hak subyektif tersebut.
2.
Teori yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada hukum objektif/ UU
3.
Teori yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat dan Tergugat sama (Equality before
the law)
4.
Teori HUKUM ACARA
Asas “ Audi et Alteram Partem”
5.
Teori yang bersifat hukum PUBLIK
PENGERTIAN
PEMBUKTIAN
1.
Menurut
Prof. Soepomo
-
Dalam arti luas membuktikan berarti,
membenarkan hubungan hukum yaitu memperkuat kesimpulan hakim dengan
syarat-syarat bukti yang sah.
-
Dalam arti terbatas berarti hanya diperlukan
jika apa yang dikemukakan oleh Penggugat itu dibantah Tergugat. Dan apa yang
tidak dibantah oleh Tergugat tidak perlu dibuktikan. Artinya kebenaran yang
tidak dibantah itu, tidak perlu dibuktikan.
2.
Menurut
Prof. Soebekti
Meyakinkan pada hakim, tentang
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Maka terlihat
bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan perkara.
3.
Menurut
Prof. Sudikno Mertokusumo
a.Dalam arti
Logos, berdasarkan suatu axioma yaitu suatu asas umum yang dikenal dalam ilmu
pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak
dimungkinkan adanya bukti lawanDDalam arti Konvensional, memberikan kepastian
nisbi dengan tingkatan-tingkatan,
= Conviction intime, kepastian berdasarkan
atas
perasaan yang bersifat intvitif.
= Conviction Rational, kepastian
yangdidasarkan
pertimbangan awal.
b.Dalam arti
Yuridis, Dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan
mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti
lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil bersifat khusus. Pembuktian ini hanya berlaku bagi para
pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Maka Pembuktian
dalam arti Yuridis, berarti Memberikan
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberikan kepastian tentang peristiwa yang diajukan.
4.
Dasar Hukum
:
a)
Pasal 163
HIR,
Barang siapa yang mengatakan mempunyai
barang suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian atau meneguhkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
haknya itu atau adanya kejadian itu
b)
Pasal 1865
KUHPerdata,
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu
hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut.
c)
Pasal 164 HIR,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
c.1 Bukti tulisan,
c.2 Bukti saksi,
c.3 Persangkaan,
c.4 Pengakuan,
c.5 Sumpah.
d)
Pasal 1866 KUHPerdata,
Yang disebut alat-alat bukti yaitu :
d.1 Bukti tulisan,
d.2 Bukti saksi,
d.3 Persangkaan,
d.4 Pengakuan,
d.5 Sumpah.
BUKTI
TULISAN
PASAL
1867 KUHPerdata;
Pembuktian dengan tulisan dilakukan
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.
PASAL
1868 KUHPerdata;
Suatu akta otentik adalah suatu akta
yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuat.
PASAL
1874 KUHPerdata;
Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan
dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register,
surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pegawai umum ..........
Kekuatan Pembuktian akta :
1.
Akta otentik, Pembuktian sempurna (Ps. 1870
KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2.
Akta dibawah tangan,
-
Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian sempurna.
-
Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa
dipersidangan oleh hakim
PEMBUKTIAN
DENGAN SAKSI
1.
DASAR HUKUM
Pasal 139 s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178
HIR,
Pasal 165 s.d. 179 RBg.
Pasal 1895, Pasal 1902 s.d. 1912
KUHPerdata.
2.
PENGERTIAN
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di depan persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang
bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan tentang peristiwa atau
kejadian itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang
diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.
3.
LARANGAN
SEBAGAI SAKSI
a.
Absolute
Ø Keluarga sedarah
atau semenda menurut keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145 ayat
(1) HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg., Pasal
1910 ayat (1) KUHPerd.)
Ø Suami atau
isteri salah satu pihak, walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3, 4
HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3 RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian
:
- Kedudukan keperdataan salah satu
pihak,
- Mengenai nafkah yang
belum dibayar menurut Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan
kekuasaan orang
tua/
wali;
- Perkara persetujuan perburuhan.
b.
Relatif
(sebagai petunjuk tidak disumpah)
Ø Anak kurang
dari 15 tahun (Ps. 145 ayat 1, 3 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912
KUHPerd.)
Ø Orang gila
(Ps. 145 ayat 1 sub 4 HIR, Ps. 172 ayat 1 sub 5 RBg, Ps. 1912 KUHPerd.)
.
PERSANGKAAN
1.
DASAR HUKUM
-
Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
-
Ps. 173 HIR
2.
PENGERTIAN
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh
Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke
arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis
: (Ps. 1915 KUHPerd.)
-
Persangkaan yang ditetapkan oleh
Undang-undang (Wettelijk vermoden)
-
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim
(Rechtelijk vermoden)
PENGAKUAN
1.
DASAR HUKUM
-
Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
-
Pasal 174 HIR
-
Pasal 312 RBg.
2.
PENGERTIAN
Pengakuan adalah suatu pernyataan akan
kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa, tentang apa yang dikemukakan
oleh lawannya.
3.
MACAM ; (Ps.
1923 KUHPerd.)
Ø
Menurut
Undang-undang
a.
Di muka hakim
-
Merupakan bukti sempurna (Ps. 1925 KUHPerd.)
-
Tak dapat ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b.
Di luar sidang
- Diikuti saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø
Menurut Ilmu
Pengetahuan
-
Pengakuan murni,
-
Pengakuan dengan Klausula
-
Pengakuan dengan Kwalifikasi
SUMPAH
1. DASAR HUKUM
-
Pasal 155 s.d. 158 HIR,
-
Pasal 17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
-
Pasal 1929 s.d. 1945 KUHPerd.  :
2. PENGERTIAN
Sumpah adalah pernyataan khidmat yang dilakukan oleh
salah stu pihak yang berkaitan dengan agamanya.
3.MACAM
Sumpah
Pemutus (decissoir)
Sumpah Tambahan (supletoir)
Pembuktian
dilakukan setelah para pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai
dilakukan. Kesempatan pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih
dulu.Dalam praktek kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m baru
kemudian tergugat. Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada
penggugat baru tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat
setelah itu baru tergugat. Kalau diperlukan baik atas usulan salah satu pihak
atau atas pertimbangan majelis hakim dapat juga dihadirkan saksi ahli.Dalam
kasus tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi kejadian terjadinya
obyek perkara.
Contoh akta
pembuktian /daftar bukti
Daftar Bukti
Penggugat
Rol perkara
No…../Pdt. G/2000/PN……….
1.
Bukti P-1 : Kwitansi jual beli antara
penggugat dengan tergugat
sebesar Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
2.
Bukti P-2 : Bukti Giro yang ditolak beserta keterangannya.
3.
dst……..
4.
……..
Jakarta,
Hormat
kuasa,
(…………………….)
Daftar Bukti Tergugat
Rol perkara
No…./Pdt.G/2000/PN……….
1.
Bukti T-1 : Akta Notariil Jual beli natara tergugat
dengan
penggugat yang dibuat
diNotaris/PPAT Krayoso,
SH., No3 tanggal………
2.
Bukti T-2 : Surat somasi tergugat
tertanggal………
dst
Jakarta,
Hormat
kuasa,
(…………………….
PUTUSAN
Di
bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:
1.
Rubini,
S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan
suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut
vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim
serta memuat akibat-akibatnya.[13]
2.
Bab
I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan
putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
3.
Ridwan
Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan
dan mengakhiri perkara perdata.[14]
4.
Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.[15]
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959
tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstuksikan
kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep
putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya
perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang
terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim
harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut
tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi
untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan
hakim harus dituangkan secara tertulis
dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara
tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan
menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua
yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera
yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.
Berdasarkan
pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a.
Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari
isi gugatan dan jawaban.
b.
Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari
putusan hakim.
c.
Keputusan hakim tentang pokok perkara dan
tentang ongkos perkara.
d.
Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara
hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e.
Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu
undang-undang, ini harus disebutkan.
f.
Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga
harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
BAGIAN
PUTUSAN
Suatu putusan pengadilan pada
hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
1)
Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan
yang berbunyi : “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970).
Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial,
karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan
pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2)
Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas
para pihak yang berperkara harus dimuat
secara jelas, yaitu nama, alamat,
pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan
mengkuasakan kepada orang lain.
3)
Pertimbangan (alasan-alasan)
Bagian ini
merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu,
pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa
yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara
lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari
suatu putusan.
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo
No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu
putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan
tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372 k/Sip/1970, tangal 1 September 1971
menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang
menyimpang dari dasar gugatan haruslah dibatalkan.
4)
Amar (dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim
wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam
rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian
hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut
(pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No.
1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).
PENGGOLONGAN
PUTUSAN
Putusan dapat di golongkan menjadi :
1.
Putusan Sela (Tussenvonnis)
Merupakan
putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan
atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan
dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap
salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat
memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam hukum
acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a.
Putusan Preparatoir.
Adalah
putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses
persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b.
Putusan Interlocutoir.
Adalah putusan
yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan
akhir.
c.
Putusan Incidentieel
Adalah
putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara,
masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d.
Putusan Provisionieel
Adalah
putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara
supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
2.
Putusan Akhir (eindvonnis)
Merupakan
putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan
akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu
:
a.
Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai
suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan,
menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
b.
Putusan Constitutief
Adalah
putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut
dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum yang baru.
c.
Putusan Condemnatoir
Adalah
putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi.
Dalam praktek
sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan,
seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau
antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.
PUTUSAN
PERDAMAIAN
Merupakan putusan
yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak yang berperkara untuk
melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya telah disetujui oleh
para pihak.
Berdasarkan
pasal 130 ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973, tanggal 1 Agustus
1973 putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
PUTUSAN
GUGUR
Putusan gugur
dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat tidak hadir pada
hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh wakilnya
untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan patut (Pasal 124
HIR).
Tentang
pemanggilan yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122, 388-390 HIR.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka hakim harus
terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan para pihak
terutama pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang dilakukan
oleh juru sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah dan patut
maka hakim harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan pemanggilan
kembali.
Dalam menjatuhkan putusan agar hakim tidak
mempertimbangkan pokok perkara karena memang hakim belum memeriksa pokok
perkara gugatan melainkan putusan tersebut dijatuhkan untuk kepentingan
tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan
biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan terhadap gugatannya
tidak hadir di persidangan.
Apabila
penggugat hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap gugatan penggugat
tidak dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara contradictoir.
PUTUSAN
VERSTEK
Putusan verstek
merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim karena tergugat tidak hadir pada
hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah
dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam
suatu gugatan terdapat lebih dari satu tergugat dan salah satu tergugat datang
pada hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya tidak hadir pada hari
sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap gugatan penggugat maka
terhadap gugatan penggugat tersebut tidak dapat diputus secara verstek
melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat
(1) HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu putusan verstek
dapat dikabulkan :
1.
Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak
datang pada hari sidang yang telah ditentukan.
2.
Ia atau mereka tidak mengirimkan
wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3.
Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil
secara saah dan patut
4.
Petitum tidak melawan hukum
5.
Petitum beralasan.
PUTUSAN
SERTA MERTA
Putusan serta
merta merupakan suatu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad) walaupun terhadap
putusan tersebut ada upaya hukum lain (baik upaya hukum biasa maupun luar
biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu
walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jika :
b.
Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah
mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya
dengan gugatan yang bersangkutan.
c.
Ada gugatan provisionil yang dikabulkan.
d.
Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek putusan uit voerbaar bij voorraad sangat
sulit dikabulkan karena banyak menimbulkan kesulitan.
UPAYA HUKUM
PENGERTIAN
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu
melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam
upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang
ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan
eksekusi (kecuali bila terhadap suatu
putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa
tidak menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM
BIASA
Upaya hukum
biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1.
BANDING
PENGERTIAN
Banding
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan
Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana
putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya
dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum
dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang
tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar
bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur
dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199
s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951
(Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura.[16]
Keputusan
pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang
berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa
yang dapat diajukan hanya kasasi.[17]
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu
pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para
pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak
hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo
pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah
pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka
waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding
yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan
Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas
dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu
bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut
undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk
pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila
dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang
sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang
pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk
kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima
(Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1.
Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan
Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar
lunas biaya permohonan banding.
2.
Permohonan banding dapat diajukan tertulis
atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3.
Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte
banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan
ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut
dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara
Perdata.
4.
Permohonan banding tersebut oleh panitera
diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan
banding diterima.
5.
Para pihak diberi kesempatan untuk melihat
surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6.
Walau tidak harus tetapi pemohon banding
berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan
kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu
pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
(Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7.
Pencabutan permohonan banding tidak diatur
dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi
pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2.
KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya
hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang
berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat
mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi
kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal
dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila
suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti
putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung
kesalahan dalam penerapan hukumnya.[18]
Pemeriksaan
kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak
dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan
tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan
mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak
bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut
pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan
gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan
menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar
hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga
diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex
facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya
putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam
suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi
harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau
penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46
ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak
dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1.
Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang
berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2.
Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan
kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang
dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3.
Paling lambat 7 hari setelah permohonan
kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4.
Dalam
tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar
pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan
kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5.
Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan
salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU
No. 14/1985).
6.
Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori
kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori
kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7.
Setelah menerima memori dan kontra memori
kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan
semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3.
VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya
hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang
berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1.
Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek
itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan
kepada tergugat sendiri maka :
2.
Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari
kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3.
Dalam delapan (8) hari setelah permulaan
eksekusi (pasal 197 HIR).[19]
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah
yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap
menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[20]
Verzet dapat
diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya
verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat
tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum
banding.
UPAYA HUKUM
LUAR BIASA
1.
PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG
TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan
suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap
(inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang
dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka
kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [21]
Peninjauan
kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum
acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam
perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15
UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang
terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan
nasional dengan Request Civil (RC)
antara lain, sebagai berikut:
1)
Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari
Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan
agar dibatalkan.
2)
Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah
putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih
ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)
Bahwa PK dapat diajukan oleh yang
berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam
perkara tersebut.[22]
Dalam perkembangannya sekarang
Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan
pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali
putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya
dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)
Apabila putusan didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya
diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
b)
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak ditemukan.
c)
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai
suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan
belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan
kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang
berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga
bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan
peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali
diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1)
Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang
berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama.
2)
Membayar biaya perkara.
3)
Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan
secara lisan maupun tertulis.
4)
Bila permohonan diajukan secara tertluis maka
harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan
dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat
pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)
Bila diajukan secara lisan maka ia dapat
menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri
tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat
(2) UU No. 14/1985)
6)
Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali
disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7)
Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima
permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling
lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal
72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)
Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah
tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka
jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9)
Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan
Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk
selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal
72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)
permohonan peninjauan kembali lengkap dengan
berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat
30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)
Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat
dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya
dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
2.
DERDEN VERSET
Dengan
mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan
pelaksanaan putusan (eksekusi).
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso,
R. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata
Cara, Proses Persidangan. Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1994.
Soetantio,
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum
Acara Perdata dalam teori dan Praktek. Cet.8. Jakarta: CV. Mandar Maju,1997.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata,Cet. 2, Bandung:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997.
Supomo,
Prof. Dr. , S.H. Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnja
Paramita, 1967.
Syahrani,
Riduan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Cet. 1. Jakarta :
Sinar Grafika,1994.
EKSEKUSI
A.
PENGERTIAN EKSEKUSI
Menurut
M. Yahya H. adalah merupakan tindakan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[23]
Menurut
Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah
lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam
makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau
harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus
dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan
kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).[24]
Menurut
Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak
lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang
dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk
merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani
kewajiban yang merupakan eksekusi.[25]
Menurut
R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh
alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan
putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya
putusan dalam waktu yang ditentukan. [26]
B.
SUMBER HUKUM EKSEKUSI
Hal
menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s.
d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang
untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat
pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya
mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga
memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita
eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang
memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse
hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.[27]
Dalam
Undang-undang (darurat) No. 1 tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap
berlakunya hukum acara perdata sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang
mengenai acara perdata.[28]
Cara
menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal
195 sampai pasal 224 HIR, namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan
pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif
terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209
sampai pasal 222 HIR yang mengatur tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan
secara efektif. Seorang debitur yang dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa
sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.[29]
Surat
Edaran Mahkamah Agung No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal
209 sampai dengan pasal 222 HIR, karena sandera bertentangan dengan salah satu
sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila
Prikemanusiaan, salah satu dari Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat
Edarannya diatas Sandera dilarang untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah
Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN
YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hal. 378-382).[30]
Selain
peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar
penerapan eksekusi yaitu :
1.
Undang-undang
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 33 ayat (4) yaitu tentang
kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan
putusan pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap
terpelihara.
2.
Pasal
33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU No. 2 tahun 1985 tentang
Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam
perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua
Pengadilan.
3.
Mengenai
pelaksanaan putusan Pengadilan Agama
diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat (5) menyatakan, sesudah itu
keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan biasa tentang menjalankan
keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63-639,
pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan
menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan
Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).
4.
Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa
permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
eksekusi.
5.
SEMA
No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah
tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan
karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk
berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.[31]
C.
ASAS-ASAS EKSEKUSI
C.1. Menjalankan putusan yang telah
berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan
eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah
pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi.
Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan
menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan
sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat
bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat
dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah,
melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu
hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan
penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak
tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai
eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan
penggugat kepada tergugat.
Tidak
terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial,
artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang
belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada
prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang
dapat dijalankan.
Pada
asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum
yang tetap telah terkandung wujud
hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal
ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan
pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti
ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara
sukarela maupun secara paksa dengan
bantuan kekuatan umum.[32]
Dari
keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, upaya dan
tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan
hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan
memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian
terhadap asas ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap
berdasarkan Undang-undang adalah :
a.
Pelaksanaan Putusan lebih dahulu
Menurut
Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan
pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi
hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya
lebih dahulu, sekalipun terhadap
putusan itu pihak tergugat mengajukan
banding atau kasasi.
Syarat-syarat
yang ditetapkan untuk mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan
jelas tidak bersifat imperatif.
Syarat-syarat itu berupa :
b.
Pelaksanaan putusan provisi
Pasal
180 ayat (1) HIR juga mengemal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat
sementara mendahului putusan
pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat
dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus
(mendahului).
c. Akta
Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130
HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan
eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah
kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan
pengadilan yang memutus sengketa.
d. Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang
dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap
perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan
bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.[34]
C. 2. Putusan
Tidak dijalankan secara Sukarela.
Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu :
Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi
sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan.
Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan
hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan
sukarela memenuhi isi putusan kepada
penggugat, berarti isi putusan telah
selesai dilaksanakan maka tidak
diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk
menjamin pelaksanaan isi putusan
secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan
putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan
ditempat putusan tersebut dipenuhi
dan ditandatangani oleh jurusita
pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada
pembuktian yang dapat dijadikan pegangan
oleh hakim.
Keuntungan
menjalankan amar putusan secara
sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.
Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau
menjalankan amar putusan secara sukarela,
sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang
kalah dalam hal ini tergugat mau
menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus jurusita
Pengadilan untuk melakukan eksekusi
bahkan bila diperlukan dapat dimintakan
bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat
adalah harus membayar biaya eksekusi
yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung
beban moral yang tidak sedikit.
Maksud putusan yang bersifat kondemnator
adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang
putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).
Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam tiga macam,
yaitu :
a)
Putusan
Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi “ Menghukum dan seterusnya”;
b)
Putusan
Declarator, yaitu yang amar
putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut
hukum, dan
c)
Putusan
yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.[35]
Putusan
yang bersifat kondemnator biasanya terwujud
dalam perkara yang berbentuk Contentiosa (kontentiosa) dengan ciri-ciri
:
C. 4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR
yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus
oleh satu Pengadilan Negeri, maka
eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
yang dituangkan dalam bentuk surat
penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah
eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR
mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini
merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat
sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta
pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan
tampak jelas dan terinci batas-batas
eksekusi yang akan dijalankan oleh
jurusita dan panitera, disamping hakim
akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.[37]
D. MACAM-MACAM
EKSEKUSI
D.
1. Eksekusi yang diatur dalam pasal 196
HIR dan seterusnya dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
Apabila
seseorang enggan untuk dengan sukarela
memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka
apabila sebelum putusan dijatuhkan telah
dilakukan sita jaminan, maka sita
jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.
Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang
dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim
dan ditambah semua biaya sehubungan
dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila
sebelumnya belum dilakukan sita jaminan,
maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak,
apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang
dikalahkan sehingga cukup untuk membayar
jumlah uang yang harus
dibayar menurut putusan beserta
biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut
sita eksekutorial.
D.
2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan.
Pasal
225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Apabila sesorang dihukum untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim
tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi
hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum
untuk membayar sejumlah uang untuk
mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim
terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini adalah wewenang Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan
demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku
lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua
Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan
putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negri yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak
didalam sidang terbuka.
D.
3. Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur
dalam HIR
Perihal
ini tidak diatur dalam HIR pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut
eksekusi riil.
“ Jika perlu dengan pertolongan Polisi,
barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya
serta olah sanak saudaranya.”
Pasal ini memberi petunjuk sedikit tentang
bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita
apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer,
apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan rumah itu anggota ABRI misalnya.
Meskipun
eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim
dilakukan, oleh karena dalam praktek sangat diperlukan.[38]
E.
TAHAP-TAHAP/PROSEDUR PERMOHONAN EKSEKUSI GROSSE AKTA HAK TANGGUNGAN
Sebelum mengajukan permohonan eksekusi
Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus disiapkan surat permohonan
eksekusi. Surat permohonan eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan
pilihan hukum yang tertera dalam akta Hak Tanggungan dengan dilampiri
dokumen-dokumen hukum yang diperlukan. Dokumen-dokumen hukum yang diperlukan
adalah :
1)
Asli
Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang mengajukan permohonan
adalah kuasa dari Kreditur.
2)
Copy
Perjanjian Kredit dan atau Akta Pengakuan Hutang beserta
perpanjangan-perpanjangannya dan/atau perubahan-perubahan perjanjian kredit
tersebut yang telah di nazegling (Pemateraian di Kantor Pos).
3)
Copy
Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen kelengkapannya (Misalnya Ijin
Mendirikan Bangunan, jika ada) yang telah di nazegel Kantor Pos..
4)
Copy
Sertifikat Hak Tanggungan (Berikut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang
telah di nazegling.
5)
Copy
Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang telah di Nazegling
(jika ada).
6)
Copy
Surat Peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegling.
7)
Copy
Catatan/ Pembukuan Bank yang membuktikan besarnya jumlah hutang debitur
(Outstanding) yang telah di nazegling.[39]
E.1.
AANMANING
Setelah
permohonan diajukan dan surat kuasa khusus di daftarkan dan pengadilan
menganggap permohonan tersebut dapat diterima, maka Pengadilan Negeri
mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Tegoran/peringatan) kepada Debitur dan atau
penjamin. Pengertian Aanmaning dihubungkan dengan menjalankan putusan menurut
M. Yahya H. adalah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan
Negeri berupa “Teguran” kepada tergugat agar tergugat menjalankan isi putusan
pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai
tenggang waktu peringatan, Pasal 196 HIR menentukan batas maksimum yaitu
delapan (8) hari sejak debitur dipanggil untuk menghadap peringatan adalah :
1)
Dalam
batas waktu yang diberikan diharapkan debitur dapat menjalankan putusan secara
sukarela.
2)
Bila
tidak terlaksana, maka sejak itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa.[40]
Isi teguran harus sesuai dengan
seluruh bunyi amar putusan yang bersifat penghukuman. Peneguran tidak perlu
dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak merupakan pemeriksaan terhadap
sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai pelaksanaan putusan tentang
sengketa itu. Setiap teguran dilakukan dengan membuat berita acara, maksudnya
agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peneguran telah
dilakukan).[41]
Berapa
orang dan siapa-siapa yang akan ditegur dapat diketahui dari surat permohonan
yang dalam amar putusan juga dikutip atau dikurangi, akan tetapi tidak selalu
semua yang dihukum sama orangnya dengan pihak-pihak dalam permohonan.
Tereksekusilah sebagai pihak yang sebenarnya bertanggung jawab untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan putusan dan ia pula yang memikul tanggung jawab
terhadap orang lain yang ada hubungan dengannya sebagai pihak.[42]
Pemanggilan
harus memenuhi syarat syah yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3
hari kerja, dan disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/Lurah setempat
bila yang bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat
diulangi sampai dua kali atau langsung dilanjutkan proses eksekusinya.[43]
E.2.1.
SITA EKSEKUSI
Apabila batas waktu yang diberikan
kepada Debitur dan atau Penjamin untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya
secara sukarela telah lewat waktu (tidak ada pelunasan/perdamaian), maka
selanjutnya Bank/Kreditur mengajukan permohonan Sita Eksekusi atas tanah yang
dijaminkan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Penetapan
sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning, dan harus disusul
dengan tahap penetapan penjualan umum/lelang oleh jawatan tersendiri dan setiap
proses dibarengi dengan tata cara serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Secara garis besar ada dua macam cara
peletakan sita yaitu Sita Jaminan
dan Sita eksekusi.
Sita Jaminan mengandung arti bahwa,
untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari barang-barang yang
disita tidak dapat dialihkan, diperjual belikan atau dengan jalan lain dipindah
tangankan kepada orang lain. Ada dua macam Sita Jaminan yaitu Sita Conservatoir (Conservatoir beslag) yaitu sita jaminan terhadap barang-barang
milik tergugat baik yang bergerak atau yang tidak bergerak selama proses
berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan lain perkataan bahwa
barang-barang tersebut tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dengan
jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Jenis Sita Jaminan yang lain
adalah Sita Revindicatoir (Revindicatoir beslag), yaitu bukan
hanya barang-barang tergugat saja yang dapat disita, akan tetapi juga terhadap
barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada pada penguasaan
tergugat juga dapat diletakkan sita jaminan.[44]
Sita Eksekusi adalah sita yang
ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[45]
Ada dua macam sita eksekusi,
yaitu Sita Eksekusi yang langsung, adalah sita eksekusi yang langsung
diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau
termohon eksekusi. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta hipotik atau
grosse akta hak tanggungan yang berkepala Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau sita eksekusi lanjutan
apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita
eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang
harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi
lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian di lelang. Jenis
sita eksekusi yang lain adalah Sita
Eksekusi yang tidak langsung, adalah sita eksekusi yang berasal dari sita
jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi
otomatis berubah menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk
menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk
mencari nafkah (Pasal 197 ayat (8) HIR).[46]
Letak
perbedaan yang paling pokok antara sita jaminan dan sita eksekusi adalah pada
tahap proses pemeriksaan perkara. Pada Sita Jaminan, tindakan paksa perampasan
hak untuk ditetapkan sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada saat
proses pemeriksaan perkara, sedangkan sita eksekusi penyitaan yang bertujuan
menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran
sejumlah uang kepada penggugat/pemohon dilakukan pada tahap proses perkara yang
bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.[47]
Makna
sita eksekusi yang dapat dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1)
HIR, adalah Penyitaan harta kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui
tenggang masa peringatan. Penyitaan sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin
jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak pemohon (Kreditur/bank). Cara
untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang
harta kekayaan termohon yang telah disita. Perampasan harta kekayaan
debitur/Termohon eksekusi adalah sebagai dana pembayaran sejumlah uang yang
dihukumkan kepadanya.[48]
E.2.2.
TATA CARA SITA EKSEKUSI
1.
Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri
Merupakan
syarat formal pertama, surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita
ekseskusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya
Surat Penetapan tersebut adalah :
a)
Termohon
tidak mau menghadiri panggilan
peringatan tanpa alasan yang syah.
b)
Termohon
tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2.
Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita
Surat
perintah/penetapan sita eksekusi berisi
perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau
seluruh harta kekayaan termohon yang jumlahnya disesuaikan dengan patokan dasar
yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR Isi pokok surat perintah sita eksekusi
adalah :
·
Penunjukan
nama pejabat yang diperintahkan
·
rincian
jumlah barang yang hendak disita eksekusi.
Undang-undang
memisahkan fungsi Ketua Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua
Pengadilan Negeri berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin
jalannya eksekusi (Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita
sebagai pejabat yang menjalankan eksekusi secara mutlak. Pejabat yang terlibat dalam eksekusi
merupakan satu kesatuan yang utuh, baik dalam pelaksanaan maupun pertanggungjawabannya.
3.
Pelaksanaan dibantu Dua Orang Saksi
Merupakan
syarat formal, baik pada sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal
197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi akibatnya sita eksekusi
dianggap tidak sah. Kedua orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu
berkedudukan sebagai pembantu dan sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi.
Agar syarat formal terpenuhi maka kedua orang pembantu yang menyaksikan
jalannya pelaksanaan sita eksekusi harus mencantumkan nama, tempat tinggal, dan
pekerjaan kedua saksi dalam berita acara sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut
menandatangani asli dan salinan berita acara sita eksekusi, sebagai syarat sah
berita acara Sita Eksekusi. Syarat penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7)
HIR adalah: telah berusia 21 tahun, berstatus penduduk Indonesia, dan memiliki
sifat jujur atau dapat dipercaya, umumnya diambil dari pegawai Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
4.
Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat
Berdasarkan
Pasal 197 ayat (5),(9) HIR tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan
persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya
barang yang hendak di sita.Hal ini disyaratkan agar panitera atau juru sita
dapat melihat sendiri jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita
bahkan harus dapat memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon,
hal ini disebabkan penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.
5.
Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi
Merupakan
satu-satunya bukti otentik kebenaran sita eksekusi. Sita eksekusi sebagai tahap
awal menuju penyelesian eksekusi
merupakan tindakan yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua
Pengadilan Negeri dan juru sita. Tanpa berita acara, sita eksekusi dianggap
tidak pernah terjadi.
Hal
penting yang harus tercantum dalam
Berita Acara Sita Eksekusi adalah :
·
Memuat
nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.
·
Merinci
secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
·
Ditandatangani
Pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
·
Tidak
diharuskan hukum ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangai berita
acara.
·
Pemberitahuan
isi berita acara kepada pihak tersita, maksudnya untuk perlindungan hukum.
6.
Penjagaan Yuridis Barang yang Disita
Berdasarkan
Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap
berada ditangan tersita, sebab bila
penjagaan dan penguasaan barang yang disita diberikan kepada pemohon sita maka seolah-olah sita itu
sekaligus langsung menjadi eksekusi. Pihak tersita tetap bebas memakai dan
menikmatinya sampai pada saat dilaksanakan penjualan lelang. Penempatan barang
sita eksekusi tetap diletakkan di tempat
mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat
lain dengan alasan demi keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut
secara tegas dalam berita acara sita,
sebagai syarat formal hak penjagaan.
Sepanjang
barang yang habis dalam pemakaian, tidak boleh dipergunakan dan
dinikmati tersita.
7.
Ketidakhadiran Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.
syarat-syarat yang paling pokok mendukung
keabsahan tata cara sita eksekusi antara lain :
Barang yang disita benar-benar milik pihak
tersita (termohon)
Mendahulukan penyitaan barang yang bergerak,
dan apabila tidak mencukupi baru dilanjutkan terhadap barang yang tidak
bergerak, sampai mencapai batas jumlah yang dihukum kepada penggugat.
Tata cara pengumuman Sita Eksekusi, pengumuman ini
khusus mengenai sita yang diletakkan terhadap barang yang tidak bergerak,
sedang terhadap barang yang bergerak tidak diperlukan syarat pengumuman sita
(Pasal 198 ayat (1) HIR). Tata cara yang ditentukan dalam pasal 198 ayat (1)
HIR terdiri dari dua instansi, yaitu :
1.
Mendaftarkan
berita acara sita dikantor yang berwenang untuk itu dengan cara “menyalin”
berita acara sita dalam daftar yang ditentukan :
Setelah sita eksekusi diumumkan dengan cara
mendaftarkan berita acara sita dikantor yang berwenang barulah sita tersebut
mempunyai kekuatan hukum mengikat
terutama pada pihak ketiga disamping sita eksekusi tersebut sudah sah secara
formal serta kekuatan hukum mengikatnya berlaku kepada semua pihak. Begitu
suatu sita eksekusi dikatakan mempunyai daya ikat maka terhadap sita eksekusi
tersebut tidak dapat tergoyahkan dan mempunyai kekuatan eksekutorial.[49]
E.3.1.
LELANG
Setelah pengadilan mengeluarkan
Penetapan Sita Eksekusi berikut Berita Acara Sita Eksekusi, dan terhadap pelaksanaan sita eksekusi itu telah
berdaya ikat, maka Bank/Kreditur dapat segera mengajukan permohonan lelang
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengertian
lelang berdasarkan Pasal 200 ayat(1) HIR dikaitkan dengan Pasal 1 Peraturan
Lelang (LN. 1908 No. 189) secara terperinci adalah : Penjualan di muka umum
harta kekayaan termohon yang telah di
sita eksekusi atau dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik
termohon (debitur), yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang
dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang (juru lelang) dan cara
penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat, atau semakin
menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).
Pengadilan
Negeri yang hendak melakukan eksekusi pembayaran sejumlah uang harus meminta
bantuan kantor lelang untuk menunjuk seorang pejabat juru lelang menjual barang
yang disita (Pasal 1 a Peraturan Lelang LN 1908 No. 189), pengecualian
ketentuan tersebut diatur dalam pasal dan ayat
yang sama yaitu “Dengan peraturan
pemerintah penjualan lelang dapat dibebaskan dari campur tangan juru lelang”.
Pasal 2 LN. 1908 No.189 memberikan hak pada juru lelang untuk menunjuk kuasa
menggantikannya, dan perbuatannya itu tidak membuat batal lelang yang
dilakukan.[50]
Penentuan
penjual lelang sangat penting sebab penjual
lelanglah yang berhak menentukan syarat-syarat penjualan lelang (Pasal 200
ayat(1) HIR dan Pasal 1 b beserta Pasal 21 Peraturan Lelang) yaitu pejabat atau orang yang ditentukan
undang-undang dan peraturan yang diberi kuasa mewakili pemilik untuk menjual
lelang suatu barang . Pada eksekusi penjualan lelang menurut pasal 195, 196
dan 197 ayat(1), serta 224 HIR pihak
penjual lelang adalah Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri. Dengan
kata lain undang-undang memberi kuasa kepada Ketua Pengadilan Negeri menjual
lelang barang harta kekayaan termohon, guna memenuhi pembayaran kepada pihak
pemohon. Sedang menurut Pasal 4 dan 5 UU No. 49 Prp tahun 1960 PUPN bertindak
sebagai penjual mewakili pihak debitur.[51][52]
E.3.2.
TATA CARA PENGAJUAN LELANG
Pasal 5 kalimat pertama Peraturan
lelang menyatakan “Seorang yang bermaksud
mengadakan penjualan di muka umum memberitahukan hal itu kepada juru lelang,
dan dalam pemberitahuan itu disebutkan kapan hari penjualan ingin dilakukan”.
Kalimat kedua pasal 5 diatas menegaskan bahwa permintaan lelang yang diterima
kantor lelang ditulis dalam daftar
sehingga yang berkepentingan dapat melihat hal-hal sehubungan dengan permintaan
lelang, tujuannya selain memenuhi fungsi administratif juga memberi kesempatan
bagi pihak yang berkepentingan melihat dan meneliti surat- surat yang
bersangkutan. Kalimat ketiga pasal yang sama menyatakan bahwa pada prinsipnya
kantor lelang terikat pada hari yang ditentukan oleh peminta lelang sepanjang
hal itu sesuai dengan aturan khusus yang dikeluarkan Menteri Keuangan.
Dokumen
yang harus disampaikan ke Kantor Lelang untuk melaksanakan pelelangan
berdasarkan grosse akta hak tanggungan adalah :
Pasal
7 Peraturan Lelang menegaskan bahwa juru lelang tidak berwenang menolak
permintaan lelang sepanjang permintaan masih meliputi kawasan daerah hukum
kantor lelang yang bersangkutan.
Pasal
200 ayat (4) HIR memberikan hak kepada pihak tereksekusi dalam hal ini debitur
untuk mengatur urutan penjualan barang yang akan dijual, tetapi hak yang
diberikan hanya sebatas itu saja.
Yang
berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah penjual lelang yaitu Pengadilan
Negeri tetapi pemberian syarat itu dibatasi oleh Tambahan Lembaran Negara No.
4299 yaitu, harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan
Peraturan Lelang. Hak Penjual Lelang selain menentukan syarat penjualan adalah
menentukan cara pelelangan dan mengubah cara pelelangan terhadap barang yang
telah dilelang, apabila penjual belum meluluskan penjualan lelang yang
bersangkutan. Syarat-syarat lelang yang diatur dalam Peraturan Lelang No.189
tahun 1908 antara lain :
a)
Penawaran
dilakukan melalui pendaftaran (pasal 9 alinea kedua) dengan menulis nama, pekerjaan
dan harga penawaran dengan rupiah dan ditandatangani oleh yang bersangkutan ke
kantor lelang setempat, akan tetapi ketentuan ini dapat disimpangi.
b)
Seorang
peminat hanya dibolehkan mengajukan satu surat penawaran (pasal 9 alinea
ketiga).
c)
Peminat
menyetorkan panjar lebih dulu, sebagai tanda kesungguhannya secara lunas tunai
dalam jangka waktu tertentu ke tempat penjual atau kantor lelang.
d)
Bila
patokan harga terendah tidak tercapai, penjualan lelang ditunda dan akan diadakan pengumuman lelang lanjutan atas
biaya debitur.
e)
Bila
patokan harga terendah tidak tercapai
lelang dapat dilanjutkan dengan
penawaran langsung (terbuka dan lisan) secara
tawaran meningkat atau menurun dan
menyerahkan penetuan harga yang patut pada pihak penjual.
f)
Pembayaran
dengan tunai, sesuai pasal 22 Jo.Pasal 29 Peraturan Lelang, berdasarkan praktek
diberi batas waktu 24 jam.
Agar
syarat penjualan lelang yang sah secara materil mengikat dan sah secara formal
maka,syarat lelang yang bersangkutan harus dilampirkan pada surat permohonan lelang ke kantor lelang dan syarat lelang
harus terbuka untuk umum.
Harga
patokan terendah adalah harga yang
dianggap sesuai dengan nilai barang yang ditentukan lebih dahulu (minimall 3
hari sebelum lelang) oleh pengawas
Kantor Lelang Negara (Pasal 9 alinea pertama) berdasarkan kepatutan, keadaan
atau kondisi barang yang hendak
dilelang, faktor ekonomis. Disamping itu tujuannya adalah sebagai indikator
harga penjualan lelang yang dapat disetujui dan dibenarkan. Tidak adanya
patokan harga terendah tidak menyebabkan lelang menjadi batal, lelang yang
telah dilakukan adalah sah demi melindungi kepentingan pembeli lelang
yang beritikad baik.
Pembocoran
patokan harga terendah kepada pihak lain (Pihak penjual, pemohon atau termohon
lelang) dari pengawas kantor lelang mengakibatkan penjualan lelang batal.
Pengumuman
lelang merupakan syarat formal penjualan lelang, tidak terpenuhinya syarat ini
menyebabkan lelang batal demi hukum. Kantor lelang terlebih dahulu akan
melakukan pengecekan ke Kantor Pertanahan atas dokumen-dokumen tanah yang akan
dilelang dengan meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), selanjutnya
Kantor Lelang mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
mengenai tanggal pelaksanaan lelang.[53]
Pengumuman
lelang benda bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (6) HIR, yaitu jumlah
Pengumuman tidak ditentukan, dilakukan pada waktunya maksudnya adalah dapat
dilakukan sesaat setelah sita eksekusi atau mulai aanmaning bila benda tersebut
sudah disita jaminan, pengumuman dilakukan menurut kebiasaan setempat, akan
tetapi perlu diingat bahwa penjualan lelang paling cepat delapan hari dari
tanggal penyitaan barang.
Pengumuman
dan penjualan barang yang tidak bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (9) HIR
hanya satu kali melalui surat kabar selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari
penjualan. Sedangkan Pasal 200 ayat (7) dikatakan pengumuman penjualan lelang
barang yang bergerak jila bersamaan serentak dengan barang yang tidak bergerak
mesti dilakukan 2 kali berturut-turut dengan selang minimum 15 hari.
tetapi
dalam praktek Pengadilan Negeri menghendaki pengumuman lelang untuk benda tidak
bergerak dilakukan 2 kali dengan selang 15 hari melalui surat kabar, dan
pelaksanaan penjualan lelang sendiri baru bisa dilaksanakan 14 hari setelah pengumuman kedua.
Bentuk
penawaran lelang yang ada dan biasa digunakan penawaran tertulis, ditulis dalam
bahasa Indonesia, dengan huruf latin, memuat dengan jelas identitas penawar (nama, pekerjaan, tempat tinggal),
ditandatangani penawar. Apabila patokan harga terendah belum tercapai penawaran
dilanjutkan dengan penawaran lisan dengan syarat yang ditetapkan penjual.[54]
Lelang
dilaksanakan di Kantor Pengadilan Negeri, Kantor Lelang Negera atau di Lokasi
tanah dan dipimpin oleh Panitera Kepala Pengadilan Negeri didampingi oleh
Pejabat Kantor Lelang.
Pengaturan
risalah lelang terdapat dalam Pasal 35 Peraturan Lelang. Yang dimaksud dengan
risalah lelang adalah sama artinya dengan “berita acara’ Lelang, yang merupakan
landasan otentik penjualan lelang, tanpa risalah lelang, lelang yang dilakukan
dianggap tidak sah. Risalah lelang mencatat segala peristiwa yang terjadi pada
penjualan lelang.
Yang
membuat risalah lelang adalah juru lelang. Pola rincian isi risalah lelang
telah diatur dalam pasal 37 Peraturan Lelang, yaitu terdiri dari :
A. Bagian Kepala, yang terdiri dari :
B.Bagian Badan, terdiri dari :
C. Bagian Kaki, terdiri dari :
Bila
pembeli bertindak untuk dan atas nama kuasa maka surat kuasanya dilampirkan dan
dicatat dalam berita acara, sedang bila pemberian kuasa itu secara lisan maka
diterangkan dalam berita acara.
Penandatanganan
risalah lelang berdasarkan pasal 38 Peraturan Lelang ada dua cara yaitu :
1.
Penandatanganan
setiap lembar oleh juru lelang yang bersangkutan (Pasal 28 ayat(1)), bila tidak
dilakukan penjualan lelang dapat dibatalkan.
2.
Agar
risalah lelang sempurna sebagai akta otentik, selain ketentuan diatas pada
bagian akhir risalah lelang harus ditandatangani oleh juru lelang dan pihak penjual. Ketidak hadiran pihak penjual tidak mengakibatkan
lelang tertunda, cukup dicatat dalam risalah lelang sebagai ganti tanda tangan
pihak penjual yang tidak hadir.[55]
Pembeli
dianggap sungguh-sungguh telah mengetahui apa
yang telah ditawar, beli olehnya. Apabila terjadi sesuatu yang kurang
menyenangkan ia tidak dapat menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan
dan melepaskannya semua hak untuk meminta ganti kerugian apapun. Pembeli juga
tidak boleh menguasai barang yang dibelinya
sebelum ia melunasi uang pembelian yang terdiri dari harga pokok, bea lelang
dan uang miskin.[56]
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid
I.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Ali, Chidir.Yurisprudensi Tentang Hukum Pembuktian Jilid
II.
Bandung : Binacipta, cet.I, 1981.
Asser, C. Pengajian Hukum Belanda. Jakarta : Dian
Rakyat,
cet.I, 1991.
-------Rechtspraakkoverzicht Bewijslastverdeling.
Kluwer :
Gouda Quint bv-Arhem, 1995.
-------Bewijslatverdeling. Kluwer : Gouda Quint
bv-Arhem,
1995.
Anser, W.D.H. Perubahan Hukum Acara Perdata Nederland.
(Alih
Bahasa oleh Retnowulan Sutantio)Jakarta :
Bina Justitia,
Mahkamah Agung, 1994.
Bidara.O . et.al. Hukum
Acara Perdata. Cet.2. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987.
Binawan Al Andang. Hukum,
Hakim, Hikmat Catatan Tambahan Untuk Prof. Satjipto Rahardjo. Kompas
tanggal 1 November 2002.
Budiarto, Ali.Kompilasi
Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung Tentang Hutang Piutang.Cet.1. Jakarta
: Ikahi. April 2000.
Bachar,Djazuli.
EksekusiPutusan Perkara Perdata, Segi
Hukum dan Penegakan Hukum. Cet. 2. Jakarta : CV. Akademika Pressindo
Anggota IKAPI, 1995
Dijksterhuis
H.L.G- Wieten. Bewijsrecht In Civiele
Procedure. Kluwer : Deventer, Tweede Druk, 1992.
Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Rancangan UU-RI Tentang Hukum Acara Perdata.Direktorat
Perundangan-Undangan, Tahun 1999/2000.
Dirdjosisworo, Soedjono. Memorandum Hukum (Media
Untuk Melatih Penulisnya Menerapkan Hukum Positif Dalam Meyelesaikan Perkara).
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Harahap,
M. Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata. Cet. 3. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
1991.
Koesmojo, Ida. Peraturan Baru Hukum Pembuktian Dalam
Penyelesaian Perkara Perdata di Nederland. Jakarta : Bina
Justitia, 1994.
Koesnoe, Moh. Dasar-Dasar Ke-Tidak Pastian Hukum
Dalam Tata Hukum Kita Dewasa Ini (Suatu
Lintasan Tentang Dasar Perkembangannya)Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 133,Oktober 1996.
Mulyadi, Lilik. Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara
Perdata Pada Praktek Pengadilan. Jakarta : Jambatan,
1996.
Mahkamah Agung RI. Abstrak
Surat Petunjuk Mahkamah Agung RI Tahun 1951-1993. Jakarta:1997.
----- Pedoman
Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Buku II.Cet.2. Proyek
Pembinaan Tehnis Yudistisial Mahkamah Agung RI, 1997.
----- Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1996.
----- Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1997.
----- Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1998.
----- Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1999.
----- Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 2000.
----- Abstrak Surat Petunjuk Mahkamah agung RI Tahun
1951-1993. Mahkamah Agung, 1997.
-----Himpunan
Pranata Peradilan.Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, 1979.
----- Himpunan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tahun 1951-1978. Direktorat Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung, 1979.
------ Pendalaman Materi Hukum I,II
dan III. Proyek Peningkaan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung
RI, 1993.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Cet. 3. Bandung : Bina Cipta, 1989.
Supomo,
R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri.
Cet. 9. Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
1986.
Sutantio,
Retno Wulan., Iskandar, Oeripkartawinata.
Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Cet. IV. Bandung : Mandar
Maju, 1989.
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi Tentang Struktur Ilmu
Hukum. Bandung: Mandar Maju,1999.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan, Pribadi
Penanggungan (Borgtoch) Dan Perikatan
Tanggung
Menanggung. Bandung : P.T Citra
Aditya Bakti, 1995.
Setiawan. Aneka Masalah hukum dan Hukum Acara
Perdata. Bandung : Alumni1992.
Tampubolon,
Thomas E. “Masalah Eksekusi Lelang dalam Praktek”. Makalah disampaikan pada
Seminar Hak Tanggungan di Jakarta, 3 Juli 1993.
Teknis
Peradilan Perkara Perdata. Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia
dengan Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Kepala Pengadilan Tingkat
Pertama dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia. Seminar diadakan di
Bandung ,16-20 Januari 1994.
[1] Surat
Edaran Menteri Dalam Negri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh
Indonesia.
[2] Putusan
MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai
sebagaimana surat
kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.
[3] Tim
Redaksi Tatanusa . Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara
kepailitan. Jakarta:PT.
Tatnusa, cet. 1, thn. 1999.
[4]
Soebijakto. Makalah yang disampaikan dalam Program Pendidikan Lanjutan Hukum
Bidang Konsultan Hukum dan Kepengacaraan, September 1992-Januari 1993. FHUI.
[5] Ali
Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang
Piutang.Jakarta: Ikahi, Cet. I., April 2000.
[6] Putusan Pengadilan Negri Suarabaya tanggal.
20 Maret 1979 No. 145/1978/Perdata jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya
tanggal. 19 Maret 1984 No. 175/1983/Perdata jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal. 18 Februari 1988 No. 488K/Pdt/1986.
[7] Putusan
MA-RI No. 431 K/Sip/1973 tgl. 9 Mei 1974.
[8] Loc.
Cit.Tim Redaksi Tata Nusa.
[9] Putusan
MA-RI No. 4 K/Rup/1958 tgl. 13 Desember 1958.
[10] Putusan
MA-RI No. 2678 K/Pdt/1992 tgl. 27 Oktober 1994 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Aceh No. 41 K/Pdt/1992/PT. Aceh tgl. 13-4-1992 jo Putusan Pengadilan Negri Lhokseumawe
No.477/Pdt/1991/PN. Lhokseumawe tgl. 19Nopember 1991.
[11] Putusan
MA-RI No. 1149 K/Sip/1975 tgl. 17
April 1969 .
[12] Darwan Prinst, S.H. Strategi Menyusun dan Menangani
Guugatan Perdata., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1992, hal. 156.
[13] Rubini,
S.H. dan Chaidir Ali, S.H. Pengantar
Hukum Acara Perdata,penerbit: Alumni, Bandung,1974,
hal. 105.
[14] Ridwan
Syahrani, S.H.,Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum,penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta,1988, hal. 83.
[15] Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia,penerbit: Liberty,Jogyakarta,1993,Hal.
174.
[16] Riduan
Syahrani, Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[17]
Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV.
Mandar Maju,1997), hal.149.
[18]
sutantio,op.cit., hal 163.
[19] Supomo,
Prof. Dr.
, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.
[20] Ibid.
[21] R.
Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata
Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.
[22] R.
Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2,
(Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997),
hal.171-172.
[23] M.
Yahya Harahap, S.H., Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991),
hal. 1
[24] Prof.
R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata,
cet. 3, (Bandung; Binacipta, 1989) hal.130.
[25] Djazuli
Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara
Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hal. 6
[26] Prof.
Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri, cet. 9, (Jakarta :PT.Pradnya Paramita, 1986), hal 119
[27]
Djazuli, Op.cit., hal 12
[28] ibid
[29] M.Yahya
H. S.H.,Op.cit.,hal 2.
[30] Ny.
Retnowulan Sutantio, S.H., Iskandar Oeripkartawinata, S.H., Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
cet. VI.(Bandung:Mandar Maju, 1989), hal. 122
[31] Djazuli
Op.cit, hal. 13-19
[32]
M.Yahya.H. Op.cit. hal 6
[33]
Djazuli, Op.cit.,hal 30
[34] M Yahya
H. Op.cit.,hal. 7-9
[35] Prof.
R.Subekti, S.H., Op.cit, hal 127
[36] M.
Yahya H.Op.Cit., hal 12
[37] ibid, hal 18
[38]
RetnoWulan, Iskandar, Op.cit.,123-122
[39]
wawancara dengan staff DPK- KP Bank Danamon Indonesia.
[40] M.
Yahya H., Op.cit.,hal 26-27
[41]
Djazuli, Op.cit.,hal 74
[42] ibid.,hal 75
[43] Pasal
122dan 390 HIR
[44] Ny.
Retnowulan S., Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit.,
hal 91
[45] M.
Yahya H.,Op.cit.,hal 62
[46] Teknis
Peradilan Perkara Perdata, Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Ri dengan
Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dari Semua Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, (Bandung: 16-20 Januari
1994), hal 30-31
[47] M.
Yahya H. Op.cit., hal 62
[48] ibid.
[49] ibid.,hal 68-92
[50] ibid.,103
[51] ibid.,hal 107
[52]
Op.cit., Djazuli Bachar, hal 64
[53] Thomas
E. Tampubolon, SH, Masalah Eksekusi
Lelang Dalam Praktek, Business Dinner
Meeting AAI, Hotel Grand Hyatt, Jakarta,
3 Juli 1993.
[54] Op.cit. M. Yahya H., hal102-162.
[55] ibid,hal 189
[56] Bahan
Rapat KerjaNasional Mahkamah Agung RI, Loc.cit.,
hal 44
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.