NEGARA HUKUM INDONESIA
Pengantar
Pertama-tama saya ucapkan selamat
kepada keluarga besar Universitas Jayabaya atas terbentuknya kepengurusan
organisasi alumni yang pelantikannya kita saksikan hari ini. Kepada segenap
pengurus, di bawah kepemimpinan tokoh nasional, Bursah Zarnubi, kita harapkan
dapat mengemban amanat sebagai pengurus guna menyumbangkan tenaga, pikiran, dan
bahkan materi bagi kepentingan kampus dan civitas akademika Universitas
Jayabaya serta masyarakat, bangsa, dan negara pada umumnya. Semua alumni yang
berasal dari fakultas atau bidang apa saja sama-sama dituntut untuk berbuat
sesuatu bagi perbaikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sehingga apa yang dicita-citakan ‘the
founding leaders’ Indonesia pada tahun 1945 dan amanat reformasi dapat kita
wujudkan bersama-sama secara konsisten, berkelanjutan dan berkesinambungan dari
waktu ke waktu.
Salah satu cita-cita bernegara yang
penting yang diwariskan oleh ‘the founding leaders’ Indonesia
itu kepada generasi kita sekarang ialah cita negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam bernegara, umat manusia memang tidak
mengenal adanya konsep Negara Ekonomi atau pun Negara Politik. Yang ada adalah
doktrin mengenai Negara Hukum. Negara kita diimpikan oleh ‘the founding leaders’ sebagai Negara Hukum atau ‘Rechtsstaat’
menurut tradisi Eropah Kontinental atau pun ‘The Rule of Law’, menurut tradisi Anglo-Amerika. Negara Indonesia ialah
‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’ (negara kekuasaan) atau pun
korporatokrasi. Namun demikian, yang menjadi masalah pokok kita sekarang ini
adalah bahwa perwujudan cita Negara Hukum itu sendiri masih sangat jauh dari
kenyataan. Bahkan, dari waktu ke waktu, ciri-ciri negara hukum ideal itu
sendiri dalam kenyataannya juga belum kunjung mendekati yang harapan.
Sejak reformasi pada tahun 1998,
kita telah melakukan perubahan mendasar di politik yang semakin terbuka dan
demokratis. Demikian pula di bidang ekonomi, reformasi juga telah dijalankan
secara besar-besaran. Reformasi politik telah diarahkan untuk membuka ruang
kebebasan yang luas bagi segenap warga negara, sedangkan reformasi ekonomi
dikembangkan secara sungguh-sungguh untuk memenuhi tuntutan ekonomi pasar yang
semakin terbuka dalam rangka memberikan jaminan bagi upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat. Namun demikian, yang menjadi masalah kita ialah bahwa
pembangunan demokrasi politik dan pembangunan ekonomi kesejahteraan itu
memerlukan dukungan hukum. Demokrasi politik tanpa diimbangi oleh ‘the rule of law’ akan menghasilkan
kebebasan yang tidak teratur dan terkendali. Tanpa dukungan hukum, pembangunan
ekonomi pasar juga tidak akan menghasilkan pertumbuhan yang merata atau yang
berkualitas. Sebaliknya, hukum juga memerlukan dukungan politik yang sehat dan
bertanggung-jawab serta perkembangan ekonomi masyarakat yang menjadi basis
sosial untuk terbentuknya lapisan masyarakat hukum yang teratur.
Karena itu, sistem politik dan
ekonomi memerlukan hukum sebagaimana hukum membutuhkan politik dan ekonomi yang
berkembang. Justru disinilah letak masalah yang kita hadapi dewasa ini sebagai
bangsa. Reformasi kebebasan politik sudah berkembang sangat luas dan dinamis,
kebijakan perekonomian juga sudah mengikuti arus tuntutan pasar yang juga
sangat dinamis dan makin mengglobal. Tetapi reformasi hukum dan peradilan masih
terseok-seok. Lembaga penegakan hukum dan peradilan kita masih belum berubah
secara mendasar mengikuti langgam perubahan di bidang-bidang politik dan
ekonomi. Perubahan-perubahan di lingkungan peradilan juga sudah dilakukan,
sifatnya parsial. Misalnya, UU tentang Mahkamah Agung khusus diubah pada tahun
2008 hanya sepanjang mengenai batas usia pension hakim dari 67 tahun ke 70
tahun. Bukankah ide perubahan seperti ini jelas bersifat sangat parsial dan
sama sekali bukan merupakan solusi untuk mengatasi berbagai carut-maruk
permasalahan yang dihadapi oleh dunia peradilan dan penegakan hukum kita.
Di masa yang akan datang, kita
perlu mengadakan evaluasi menyeluruh tentang sistem dan kinerja peradilan dan
lembaga penegakan hukum kita. Bahkan, cita Negara Hukum Indonesia sebagai yang
diamanatkan dalam UUD 1945 perlu terlebih dulu kita jabarkan menjadi
kebijakan-kebijakan hukum yang jelas, terarah menuju peta jalan yang seharusnya
dalam operasionalisasinya di lapangan. Dengan begitu, cita negara hukum itu
tidak hanya menjadi jargon yang kosong. Semua aparat hukum memiliki pedoman
kerja yang jelas dalam mewujudkan cita-cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Kondisi
Negara Hukum Kita Dewasa Ini
Kondisi
Negara Hukum Indonesia
kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Hukum diperlukan agar
kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dapat memperoleh bentuk resmi
yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya untuk umum. Karena hukum
yang baik kita perlukan dalam rangka pembuatan kebijakan (policy making) yang diperlukan merekayasa, mendinamisasi, mendorong,
dan bahkan mengarahkan guna mencapai tujuan hidup bersama dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, dalam rangka
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut (policy
executing), hukum juga harus difungsikan sebagai sarana pengendali dan
sebagai sumber rujukan yang mengikat dalam menjalankan segala roda pemerintahan
dan kegiatan penyelenggaraan negara.
Namun
dalam kenyataan praktik, baik dalam konteks pembuatan kebijakan (policy making) maupun dalam konteks
pelaksanaan kebijakan (policy executing),
masih terlihat adanya gejala anomi dan anomali yang belum dapat diselesaikan
dengan baik selama 11 tahun pasca reformasi ini. Dari segi sistem norma,
perubahan-perubahan telah terjadi dimulai dari norma-norma dasar dalam
konstitusi negara yang mengalami perubahan mendasar. Dari segi materinya dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 telah mengalami perubahan 300 persen dari isi aslinya
sebagaimana diwarisi dari tahun 1945. Sebagai akibat lanjutannya maka
keseluruhan sistem norma hukum sebagaimana tercermin dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan harus pula diubah dan diperbarui.
Sebenarnya, upaya pembaruan hukum
itu sendiri tentu dapat dikatakan sudah berjalan selama 11 tahun terakhir ini.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa: Pertama, perubahan-perubahan tersebut
cenderung dilakukan secara cicilan sepotong-sepotong tanpa peta jalan
(road-map) yang jelas. Akibatnya, perubahan sistem norma hukum kita selama 11
tahun masa reformasi ini belum menghasilkan kinerja Negara Hukum yang kita
diidealkan. Kedua, pembentukan pelbagai peraturan perundang-undang baru telah
sangat banyak menghasil norma-norma hukum baru yang mengikat untuk umum. Akan
tetapi norma-norma baru itu belum secara cepat tersosialisasikan secara umum
sehingga pelaksanaannya di lapangan banyak menghadapi kendala dan kegagalan.
Sebaliknya, norma-norma hukum yang lama, sebagai akibat sudah terbentuknya
norma hukum yang baru, tentu sudah tidak lagi dijadikan rujukan dalam praktik.
Ketiga, di masa reformasi ini
banyak sekali lembaga baru yang kita bentuk untuk maksud yang mulia, yaitu agar
kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang sudah berubah sebagai masyarakat
demokratis dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh fungsi-fungsi
kekuasaan negara. Pembentukan lembaga-lembaga baru itu dilakukan sekaligus
dengan mengubah fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Akan tetapi
dalam kenyataan praktik sampai sekarang ternyata banyak sekali lembaga-lembaga
baru yang kinerjanya belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam sistem
kenegaraan baru berdasarkan UUD 1945, sementara lembaga-lembaga yang lama sudah
lumpuh dan tidak lagi menjalankan fungsi yang diambil alih oleh lembaga baru.
Akibatnya, timbul gejala tumpang tindih akibat banyaknya lembaga yang menangani
satu fungsi yang sama, sementara di pihak lain banyak fungsi yang ada lembaga
yang menanganinya sama sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sesudah 11
tahun masa reformasi ini, kita menghadapi keadaan anomi dan anomali. Keadaan
anomi mencerminkan keadaan yang seolah-olah ketiadaan norma (a-nomous),
sedangkan keadaan anomali menegaskan adanya kekacauan structural dan fungsional
dalam hubungan antara lembaga dan badan-badan penyelenggara fungsi kekuasaan
negara.
Dalam
konteks pembuatan aturan, perhatikanlah bagaimana kinerja lembaga-lembaga
legislasi dan regulasi kita, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kinerjanya
sebagian terbesar masih belum professional dan mengarah kepada upaya perbaikan
sistem hukum kita secara keseluruhan. Baik DPR, DPD, DPRD, biro-biro hukum
pelbagai instansi pemerintahan masih bekerja secara serabutan dantanpa arah
yang jelas, melainkan hanya berdasarkan kebutuhan dadakan dan didasarkan atas
pesanan atau pun perintah yang bersifat sesaat dan seperlunya. Demikian pula di
bidang pelaksanaan kebijakan (policy executing), yang menentukan justru adalah
atasan atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan. Sistem birokrasi
penerapan hukum kita masih sangat personal, belum melembaga secara kuat, dan
masih sangat tergantung kepada keteladanan pimpinan.
Begitu
pula dalam proses penegakan hukum (law
enforcement), aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim
pemutus, dan aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja yang
tradisional dan cenderung primitif. Lihatlah bagaimana kasus Bibit dan Chandra
memberi tahu kepada kita semua mengenaki kebobrokan dunia penegakan hukum kita.
Dari kasus ini jelas tergambar betapa buruknya cara kerja lembaga penyidik di
Negara kita. Sebaliknya, lihat pula kasus terungkapnya kasus istana dalam
penjara yang melibatkan Artalyta Suryani yang menikmati kamar tidur mewah yang
jelas tidak adil bagi narapidana lain yang tidak berpunya. Dengan perkataan
lain, kita menghadapi banyak masalah mulai dari lembaga penyidik sampai ke
lembaga pemasyarakatan.
Mengenai
kasus Bibit dan Chandra, misalnya, telah menyedot perhatian publik yang sangat
luas selama berbulan-bulan. Namun, solusi yang diambil kemudian adalah
penghentian perkaranya oleh Kejaksaan atas tekanan publik. Solusi demikian juga
mencatatkan preseden yang sangat buruk dalam penegakan hukum yang tunduk kepada
tekanan politik. Sekali aparat penegak hukum takluk kepada tekanan politik yang
datang dari bawah (civil society),
maka pada saat yang lain jangan salahkan jika ada orang yang menilai bahwa
aparat yang sama akan tunduk dan takluk pula kepada tekanan politik (state) yang datang dari atas ataupun
dari samping (market). Namun
demikian, semua sudah menjadi bubur, apa boleh buat, kasus Bibit dan Chandra
sudah berakhir, dan kita harus siap menutup buku mengenai hal ini. Akan tetapi,
dari kasus Bibit dan Chandra, kasus Istana Artalyta di LP, serta kasus-kasus
lainnya, seperti kasus Bank Century dan sebagainya, kita dapat berkaca mengenai
bobroknya sistem penegakan hukum di Negara kita. Jalan yang tersedia di hadapan
kita hanya satu, yaitu bahwa kita harus melangkah ke depan untuk memperbaiki
sistem hukum dan peradilan di tanah air kita sebagaimana mestinya dengan cetak
biru dan peta jalan (road-map) yang jelas berdasarkan UUD 1945.
Untuk
itu, kita dapat mengusulkan kiranya sistem peradilan kita dievalusasi dan
diadakan perubahan mendasar agar proses peradilan dan produk putusan pengadilan
dapat ditingkatkan menjadi lebih bermutu dan benar-benar menjamin keadilan
daripada yang ada sekarang. Misalnya, kita mesti memperbaiki kondisi-kondisi
untuk menjamin independensi peradilan secara benar dan memperbaiki sistem
peradilan yang menjamin mutu putusan seperti dengan menerapkan kebijakan
pembatasan perkara di Mahkamah Agung sambil memperkuat kedudukan dan peranan
Pengadilan Tinggi di setiap ibukota provinsi. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, di lingkungan peradilan, sebaiknya segera diadakan sistem kamar dalam
penanganan perkara, tidak lagi sistem majelis seperti yang dipraktikkan selama
ini. Dengan sistem kamar itu, perkara-perkara (i) pidana, (ii) perdata umum,
(iii) bisnis, (iv) agama, (v) tatausaha Negara, dan (vi) militer dapat
ditangani secara professional oleh hakim yang memang mengusasi bidang hukum
terkait.
Demikian
pula dengan aparat dan aparatur penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembelaaan, dan pemasyarakatan juga perlu segera direformasi secara mendasar.
Polisi, sejak berpisah dari TNI (ABRI) tentu harus mengubah wataknya menjadi
organisasi sipil. Pendekatannya jangan lagi militeristik. Polisi adalah
pengayom masyarakat bukan bermusuhan dengan masyarakat. Kejaksaan dan
lembaga-lembaga penuntut khusus lain, yaitu KPK juga harus lah bertindak
professional sebagai lembaga penegak keadilan, bukan sekedar merupakan lembaga
penegak peraturan.
Yang
tidak kalah peliknya juga adalah profesi advokat yang masih jauh dari idealitas
profesionalnya sebagai penegak hukum. Apalagi sampai sekarang, persatuan para
advokat dalam wadah tunggal sampai sekarang juga terus menghadapi kendala yang
para advokat sendiri tidak juga kunjung dapat menyelesaikannya sendiri. Padahal
para advokat mengimpikan watak independensi yang kokoh bagi kedudukan
professional mereka. Namun, jika para advokat justru tidak dapat menyelesaikan
sendiri masalah internal mereka, apa alasannya untuk mencegah agar
fungsi-fungsi Negara yang relevan ikut berperan jikalau kepentingan rakyat dan negara
justru menuntut berfungsinya organisasi tunggal para advokat yang oleh UU
Advokat telah dikukuhkan sebagai aparat penegak hukum?
Cita
Negara Hukum dalam UUD 1945
Seperti kita ketahui, dalam rangka perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan
Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD
1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa
yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum,
bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada
pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan
Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan
social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan
kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya,
dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk
menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi
(the supreme law of the land), dibentuk
pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus
‘the ultimate interpreter of the constitution’.
Konsep Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan
konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan
konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari
perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai
faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena
itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau
prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika
Serikat menjadi jargon “the Rule of Law,
and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum
itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”[2],
jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama
dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di
zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara
lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The
Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1.
Perlindungan hak asasi manusia.
2.
Pembagian kekuasaan.
3.
Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan
A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah “The Rule of
Law”, yaitu:
1.
Supremacy of Law.
2.
Equality before the law.
3.
Due Process of Law.
Keempat
prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di
zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri
penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu
adalah:
1.
Negara harus tunduk pada hukum.
2.
Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Professor
Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara
Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern[3].
Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang
kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian
keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan
antara ‘rule of law’ dalam arti
formil yaitu dalam arti ‘organized public
power’, dan ‘rule of law’ dalam
arti materiel yaitu ‘the rule of just
law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi
negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif,
terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi
oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran
pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti
peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan
bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the
rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada
sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun
istilah yang digunakan tetap ‘the rule of
law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam
istilah ‘the rule of law’ yang digunakan
untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.
Namun demikian, terlepas dari
perkembangan pengertian tersebut di atas,
konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad
ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian
Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli
selalu saja mengemukakan empat unsur ‘rechtsstaat’,
dimana unsurnya yang keempat adalah adanya ‘administratieve
rechtspraak’ atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok Negara
Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum Modern itu
dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah karena
konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat)
sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi
intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu
sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah Konstitusi baru
dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping Mahkamah Agung atas jasa
Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di
Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha Negara
merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena abad
ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum
kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk merumuskan
secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan praktek
ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.
Menurut Arief Sidharta[4],
Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara
Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima )
hal sebagai berikut:
1.
Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia
yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2.
Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika
kehidupan bersama dalam masyarakat
bersifat ‘predictable’.
Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu
adalah:
a.
Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b.
Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan
tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c.
Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat
undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d.
Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif,
rasional, adil dan manusiawi;
e.
Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena
alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f.
Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin
perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
3.
Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before
the Law)
Dalam
Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang
tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam
prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di
hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan
yang sama bagi semua warga Negara.
4.
Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu
diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a.
Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
diselenggarakan secara berkala;
b.
Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat;
c.
Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan
mengontrol pemerintah;
d.
Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian
rasional oleh semua pihak;
e.
Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f.
Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g.
Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk
memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
5.
Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan
masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai
berikut:
a.
Asas-asas umum peerintahan yang layak;
b.
Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang
bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c.
Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya,
memiliki tujuan yangn jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya,
pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Muhammad
Tahir Azhary[5],
dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa
ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan)
prinsip, yaitu:
1.
Prinsip kekuasaan sebagai amanah;
2.
Prinsip musyawarah;
3.
Prinsip keadilan;
4.
Prinsip persamaan;
5.
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia;
6.
Prinsip peradilan yang bebas;
7.
Prinsip perdamaian;
8.
Prinsip kesejahteraan;
9.
Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne
Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera[6],
membagi konsep ‘rule of law’ dalam
dua kategori, “formal and substantive”.
Setiap kategori, yaitu “rule of law”
dalam arti formal dan “rule of law”
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep
Negara Hukum atau “Rule of Law” itu
sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
1.
Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya
difungsikan sebagai “instrument of
government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat
kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat
tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai
modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
2.
Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i)
prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat
retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii)
jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang
‘formal legality’ itu, diidealkan
bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
3.
Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh
hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation”
demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”[7].
Seperti dalam “formal legality”,
rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum
yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang
berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule
of law dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian
hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka
praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi
otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian.
4.
“Substantive Views”
yang menjamin “Individual Rights”.
5.
Rights of Dignity and/or Justice
6.
Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation
of community.
Cita Negara Hukum Indonesia
Dalam
rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu dan juga
dalam rangka penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat
saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara
Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di
zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama
yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum (The Rule of Law,
ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya, yaitu:
1.
Supremasi Hukum
(Supremacy of Law):
Adanya
pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi
hukum (supremacy of law), pada
hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang
‘supreme’. Bahkan, dalam republik
yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2.
Persamaan dalam
Hukum (Equality before the Law):
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan
mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat
tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih
maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui
‘affirmative actions’ yang tidak
termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku
terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya
terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi
perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum
wanita ataupun anak-anak terlantar.
3.
Asas Legalitas
(Due Process of Law):
Dalam
setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu
bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis
tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian
nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh
karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara
dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip
‘frijs ermessen’ yang memungkinkan
para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan
menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun
peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka
menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4.
Pembatasan
Kekuasaan:
Adanya
pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
bersifat ‘checks and balances’ dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama
lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke
dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan
tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ
Campuran Yang Bersifat Independen:
Dalam
rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan
organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi
Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional
(KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan
atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam
kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga
tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk
menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga
atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena
fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang
aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol
sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan
kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan
untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut
dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya
peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa . Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada
kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses
pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam
menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun
peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum
tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut
tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan
tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan
hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’
tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court ):
Di
samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim
mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik
dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan
Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah
Agung yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi
(constitutional court) ini adalah
dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and
balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan
untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi pengujian
konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan
memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang
mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan
mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap
penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya
Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya
perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum
bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak
asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang
penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya
menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara
tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan
itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang
disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya
tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat
disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische
Rechtsstaat):
Dianut
dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga
setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan sepihak oleh dan/atau hanya
untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip demokrasi. Karena
hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa
kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam
Negara Hukum yang nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di
dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas
hukum.
11. Berfungsi Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum
adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum
itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan
melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy)
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita
nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa
Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi
sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia
itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi
sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas
aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya
transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan
dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh
peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena
sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari
‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus
mengenai cita Negara Hukum Indonesia
yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula
dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama
Pancasila. Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur yang terkandung dalam
gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri yang
ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi
nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya
prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan
Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila.
Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi
yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan
dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai
ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan
prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau ekspresi
kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang
menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan
kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan
penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara
Pancasila.
Dalam sistem konstitusi Negara kita,
cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan
gagasan kenegaraan Indonesia
sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide
Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan
ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’,
bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi
RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula
dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum
dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri
seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
Penutup
Demikianlah
beberapa catatan ringkas tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan kaitannya dengan gagasan Negara
Hukum Indonesia
masa depan. Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di satu segi menjadi salah satu
ciri penting konsep Negara Hukum Indonesia
pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan di pihak lain, keberadaannya juga penting untuk merealisasikan
perwujudan cita-cita Negara Hukum itu sendiri, dimulai dengan mengawal tegaknya
konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (the supreme law of the land). Mahkamah Konstitusi mempunyai kedudukan
yang penting sebagai salah satu organ konstitusional pelaksana kekuasaan
kehakiman yang merdeka di samping dan sederajat dengan Mahkamah Agung. Mahkamah
Konstitusi mempunyai fungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditaati dan ditegakan dengan setegak-tegaknya, sekaligus dalam
rangka mengendalikan, mengawal dan mengarahkan proses demokrasi kehidupan
kenegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sebagai pengawal konstitusi dan pengarah demokrasi, Mahkamah Konstitusi
juga berfungsi sebagai penafsir tertinggi atas Undang-Undang Dasar melalui
putusan-putusannya sebagaimana mestinya. Karena itu, dapat dikatakan kedudukan
dan peranan lembaga ini sangat penting dan strategis dalam rangka bekerjanya
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia di masa yang akan datang, guna
mendukung upaya membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita yang semakin
demokratis, damai, sejahtera, mandiri, bermartabat, dan berkeadilan.
[1] Pendiri dan Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008) dan Ketua Dewan Pembina Ikatan
Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), Ketua Dewan Penasihat ICMI, Penasihat
KOMNASHAM, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
[2] Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics,
edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J.
Saunders.
[3] Utrecht ,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia ,
Ichtiar, Jakarta ,
1962, hal. 9.
[4] B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara
Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun
II, November 2004, hal.124-125.
[5] Muhammad
Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 64 dst.
[6] Brian Tamanaha (Cambridge University Press, 2004),
lihat Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum
Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II,
November 2004, hal. 83-92.
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.