Sebagaimana kita ketahui bersama,
Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau. Selain itu, Indonesia
adalah negara agraris yang masyarakatnya mengandalkan hidup dari bertani dan
bercocok tanam. Kondisi yang demikian menjadikan mayoritas masyarakat Indonesia
banyak bermukim di pedesaan dengan mata pencarian sebagai petani, peternak,
berdagang, buruh, nelayan dan lain-lain yang tidak membutuhkan ketrampilan
khusus dan pendidikan tinggi. Perbedaan mata pencaharian ini, dipengaruhi oleh
keadaan alam dan lingkungan masyarakat yang secara teritorial dan letak
geografis membedakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Untuk itu
manusia dalam mencapai kebutuhan hidup dan tujuannya harus melakukan interaksi
antara masyarakat yang dengan masyarakat yang lainnya.
Manusia adalah makhluk sosial, guna
memenuhi kebutuhan baik kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan
tersiser yang ada dalam dirinya maka manusia harus mau memasuki dunia pergaulan
dalam kehidupan yang tidak dapat dihindarkan lagi, pergaulan atau interaksi
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dengan berbagai alasan dan
motif yang semakin kompleks dan penuh dengan keunikan. Pergaulan manusia yang
berada di tengah-tengah masyarakat, ternyata mempunyai dampak tertentu terhadap
manusia itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan akibat pergaulan antar manusia itu
bisa berupa dampak positif dan bisa berupa berupa negatif.
Dalam lingkungan pergaulan yang baik
dan kondusif, manusia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan baik, terbimbing,
dan terarah sesuai dengan suara hati nurani yang bersih. Lingkungan kondusif
seperti ini menjadikan manusia sehat baik segi jasmani maupun segi rohaninya,
sehingga dengan taraf kecakapan dan kecerdasan sosial yang dimilikinya, manusia
akan sanggup memecahkan segala permasalahan yang sering dijumpai dalam
kehidupannya Pergaulan yang baik adalah pergaulan yang masih mengindahkan
batas-batas pergaulan yang diijinkan oleh norma-norma hukum serta menurut norma
ajaran agama yang diyakini kebenarannya. Sebaliknya, lingkungan pergaulan yang
"tidak sehat" dapat pula mengantarkan seseorang kepada perkembangan
pribadi yang menyimpang. Kepribadian yang menyimpang dapat diidentifikasi
dengan perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma-norma hukum atau
adat-istiadat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kepribadian menyimpang
seperti ini, tidak jarang pada akhirnya mengantarkan seseorang berada pada
titik kerendahan dan kehinaan hidup.
Pergaulan yang bebas,
"merdeka" dan tidak terkontrol sering melahirkan anggota masyarakat
yang acuh dan tidak perduli terhadap lingkungan sosial dan masyarakatnya.
Ketidakpedulian tersebut akan melahirkan pribadi-pribadi yang senantiasa
melakukan pelanggaran, baik pelanggaran pada norma sosial, norma agama, dan norma
hukum. Pribadi-pribadi yang demikian tidak jarang melakukan tindakan-tindakan
merusak dan melawan hukum baik secara terangterangan maupun secara tersembunyi
seperti perampokan, pencurian, perkosaan, dan bentuk-bentuk penyakit sosial
masyarakat lainnya. Secara "tersembunyi", bisa dengan menggunakan
ilmu hitam seperti gendam, guna-guna, santedteluh dan hal-hal lain yang
bersifat magis. Hal yang terakhir ini, sudah menjadi rahasia umum dikalangan
masyarakat indonesia pada umumnya, dan masyarakat . pada khususnya. Bahwa
kehidupan yang berbau mistis ini dianggap paling menguntungkan bagi seseorang
atau kelompok orang yang bisa digunakan untuk menyakiti, Menyiksa,
membinasakan, dan/atau menghancurkan keharmonisasian pada orang yang dianggapnya
sebagai musuh. Pola kehidupan yang bersifat mistis dan negatif dengan
menggunakan media magic ini di dalam masyarakat dikenal dengan sebutan
"Teluh". Teluh digunakan seseorang dalam rangka untuk mencari dan
menuruti kepuasan yang bersifat pribadi dengan dasar sirik, iri dan dengki
untuk suatu tujuan tertentu (jabatan atau kedudukan, mancari suami/istri bahkan
untuk menyakiti atau membinasakan orang). Keadaan atau fenomena seperti ini,
masih sering kita jumpai di tengah kehidupan masyarakat. Sehingga tidak jarang
ditemukan adanya korban-korban yang teraniaya sehingga anggota badannya menjadi
cacat, atau bahkan meninggal sebagai akibat dari perbuatan tukang teluh atau
dukun santet.
Keadaan seperti yang tergambar di atas
adalah sesuatu yang nyata. Namun, sampai saat ini pelaku
"penyantetan" (tukang teluh) tidak pernah sampai menyeret pelakunya
masuk ke lembaga peradilan. Karena memang ada aturan yang jelas untuk menghukum
seseorang jika ditengarai melakukan tindak pidana. Sehingga berlakulah
pengadilan masyarakat yang sama sekali tidak sesuai dengan semangat di
Indonesia yakni sebagai negara hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima.
Tidaklah mudah membuat hukum pidana, karena meliputi 3 aspek kehidupan manusia,
manusia sebagai individu (kita harus menghormati hak-hak asasi manusia),
manusia sebagai mahluk sosial (bagaimana manusia berinteraksi dengan sesamanya)
dan manusia sebagai mahluk budaya (yang menghasilkan karya-karya kebudayaan
yang harus dilindungi oleh hukum). Profesor Muladi pernah mengutarakan bahwa
dalam mempidana atau mengkriminalisasi harus sangat memperhatikan syarat-syarat
yang banyak dan sifatnya limitatif. Ini karena hukum pidana sifatnya adalah
Ultimum Remedlum. Harus diakui bahwa rancangan KUHPidana saat ini menanggalkan
proses-proses untuk mengartikulasikan realitas disiplin non-hukum (sosial,
ekonomi, dan politik, misalnya) dalam perumusannya. Padahal, faktual proses
transisi demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap
kepentingan publik secara adil dan pantas. Untuk itu, pembaruan KUHPidana harus
menyentuh ranah realitas sosial politik Indonesia bahwasanya posisi tawar
masyarakat (society) tidak cukup kuat di hadapan aktor lainnya seperti aparatus
birokrasi dan sektor swasta (termasuk korporasi). Maka dislnllah peranan aparat
penegak hukum (pollsi, jaksa, dan hakim) untuk mengadakan proses peradilan
dengan -seharusnya- tidak bersandar pada hukum formal saja, tetapi juga
bersandar pada hukum non-formal yang didasarkan pada tradisi masyarakat dengan
menyelesaikan persoalan pelaku teluh yang memenuhi rasa keadilan pada
masyarakat. Oleh karena itu, masalah teluh dengan aspek yuridisnya menarik
perhatian saya untuk diteliti sehingga bisa memberikan pendapat kepada penegak hukum
dalam memecahkan masalah teluh di .. Meskipun peneliti menyadari bahwa
persoalan tersebut sungguh sangat
rumit, karena unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu proses
peradilan sulit untuk dijangkau (adanya pelaku, adanya saksi, dan adanya
barang bukti). Karena ranah magis sulit untuk bisa dibuktikan secara ilmiah dan
logis.
Karakteristik dan Motivasi Teluh
Berdasarkan hasil wawancara dengan
tukang teluh dan dari beberapa narasumber, dapat diketahui bahwa teluh sudah
merupakan fakta sosial. Hal ini berarti bahwa teluh telah hidup dan berkembang
dikalangan masyarakat tertentu. Sekalipun -diberbagai tempat- terdapat
perbedaan penamaan terhadap istilah ini. Namun, pada hakikatnya pekerjaan teluh
mempunyai motivasi dan tujuan tertentu. Demikian pula, baik pelaku teluh dan
pekerjaan teluh memiliki karakteristik tertentu. Sesuai dengan keadaan
geografis dan struktur masyarakatnya, tidak dipungkiri terdapat perbedaan
karakteristik di antara pelaku-pelaku teluh di beberapa daerah, dan cara
kerjaannya berbeda satu sama lain. Karakteristik dari tukang teluh atau pelaku
teluh dan pekerjaan teluh yang akan dikemukakan adalah kasus yang hidup dan
berkembang di daerah Jawa Timur khususnya di . dan Jember. Berdasarkan hasil
wawancara terhadap beberapa narasumber dan menurut hasil penelitian yang
dilakukan selama ini. Pada umumnya pelaku teluh atau tukang teluh memiliki
karakteristik sebagai berikut :
- Pelaku
teluh bersikap angkuh dan tidak disukai oleh anggota masyarakat di
lingkungan sekitarnya.
- Pelaku
teluh rata-rata hanya berpendidikan rendah, sekolah dasar, bahkan ada
diantaranya yang buta huruf.
- Pelaku
teluh mempelajari cara-cara melakukuan teluh dari seorang guru. Hanya sebagian
kecil yang mewarisi dari leluhurnya, dengan kata lain, teluh sebagian
besar dipelajari sejak usia muda dan sedikit sekali yang diwariskan dari
leluhurnya.
- Sekalipun
bukan profesi utama, tetapl pelaku teluh menerima imbalan untuk
melaksanakan tugasnya. Pekerjaan utamanya biasanya sebagai petani.
- Pelaku
teluh dalam melakukan tugasnya kebanyakan atas suruhan orang lain, dan
sedikit sekali yang melakukannya hanya untuk kepentingan pribadi.
- Sebagian
pelaku teluh berusia lanjut.
- Pelaku
atau tukang teluh bertempat tinggal jauh dari kota.
Alat-alat Teluh
Karakteristik pekerjaan teluh
umumnya dilakukan melalui perantara alat atau sarana berupa benda-benda sebagai
simbol. Sarana atau alat yang dipergunakan berupa berbeda-berbeda. Benda-benda
tersebut satu sama lain sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh mereka yang
menyuruh melakukan peneluhan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa sarana atau
alat yang dipergunakan dalam praktek pekerjaan teluh.
- Alat
pertama disebut puputiran, berupa boneka-boneka yang dibuat dari jerami.
Boneka dilambangkan sebagai korban atau sasaran terhadap siapa teluh itu
akan ditujukan.
- Alat
kedua terdiri dari baskom berisi air dan pisau. Kedua alat ini ditujukan
untuk membuat korban atau sasaran mati, dengan cara menusukkan pisau atau
gunting kepada boneka tad! dan menancapkan pisau ke dalam baskom berisi
air. Jika air berubah warna menjadi merah berarti pekerjaan teluh sukses
dengan tepat mengenai sasarannya.
- Alat
ketiga disebut memerangan yang dipergunankan dengan tujuan yang sama
dengan alat pertama dan alat kedua dlatas. Namun, dengan alat ini terleblh
dahulu korban akan merasakan gatal-gatal di seluruh anggota tubuhnya.
- Alat
keempat biasa disebut sebagai alat pelengkap berupa jarum, paku atau
sendok. Tujuan penggunaan alat keempat ini adalah membuat korban menderita
terlebih dahulu sebelum pada akhirnya korban mati karena psnderitaannya.
Macam-macam Teluh
Sejalan dengan penggunaan alat-alat
tersebut diatas, diperoleh petunjuk terdapat tiga jenis teluh sesuai dengan
permintaan pemesan dan tujuannya. Ketiga macam teluh itu adalah:
- Teluh
wrejit, yakni semacam teluh yang paling ganas oleh karena korban teluh ini
akan mengalami muntah darah segar dan biasanya dalam waktu singkat korban
akan mati.
- Teluh
ganggong, yakni semacam teluh yang mengakibatkan korban akan menderita
pada salah satu bagian tubuhnya terus-menerus sampai korban mati jika
tidak diberikan penawar.
- Teluh
buncit, yakni semacam teluh yang dapat mematikan usaha ekonomi. Dengan
cara mananam botol berisi tanah berasal dari kuburan. Biasanya ditempatkan
pada sekitar pekarangan usaha atau tempat tinggal seseorang yang akan
dijadikan mangsa teluh.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan
teluh -baik dari segi alat yang digunakan dan macam teluh serta akibat yang
ditimbulkan- sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
penggunaan teluh adalah membuat korban teraniaya selama hidupnya dan tidak
tertutup kemungkinan diakhiri dengan kematian korban. Pada umumnya motivasi
dari perbuatan teluh adalah dendam kesumat atau persaingan usaha yang tidak
sehat antara yang menyuruh melakukan pekerjaan teluh dengan korban teluh.
Arti dan Peranan Teluh Sebagai Fakta
Sosial
Teluh sebagai salah satu fakta
sosial yang tumbuh dan berkembang terutama di masyarakat yang berdiam di daerah
pantai utara atau selatan pulau jawa. Kejadian-kejadian yang diakibatkan karena
pengaruh perbuatan teluh telah diketahui oleh masyarakat dan aparat penegak
hukum. Dari hasil wawancara dengan petugas pengadilan di . diperoleh petunjuk
bahwa terdapat beberapa tukang teluh masih aktif yang sebagian besar
diantaranya telah tidak aktif melakukan perbuatan teluhnya dan menandatangani
surat pernyataan di Kepolisian setempat. Berdasarkan wawancara tersebut diatas
jelaslah bahwa pekerjaan teluh memang ada dan pada umumnya teluh di masyarakat
bersifat pasif dalam arti tukang teluh menunggu order dari orang-orang yang
menghendaki jasanya untuk melampiaskan sifat busuknya. Namun demikian, mereka
yang memiliki ilmu teluh dipersyaratkan agar dalam setahun harus dipergunakan
atau memiliki korban. Jika tidak dipergunakanakan membawa akibat buruk bagi
pemiliknya. Hal terakhir inilah yang membuat orang yang memiliki ilmu teluh
menjadi aktif dengan mencari orang yang memerlukan jasanya atau ia akan
mempergunakan ilmunya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dari hasil wawancara
tukang teluh di daerah . telah diperoleh keterangan bahwa ada seseorang yang
ditunjuk menjadi perantara dan sudah tentu mereka yang dipereaya sepenuhnya
oleh pemilik ilmu ini. Beberapa kasus kematian dalam pemilihan calon-calon
lurah di beberapa tempat di daerah Jawa Timur menurut pengetahuan masyarakat
setempat adalah disebabkan perbuatan teluh dari calon lawannya. Segala sesuatu akibat
yang berupa kecelakaan sehingga korban cacat seumur hidup atau mati disebabkan
pengaruh perbuatan teluh, terutama bag! masyarakat sudah merupakan hal biasa.
Bagi mereka yang memerlukan tukang teluh
untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya teluh merupakan sarana yang
ampuh. Bahkan dianggap paling efesien dan tidak ada resiko untuk berhadapan
dengan pihak yang berwajib. Sekalipun perbuatan teluh adalah dosa, namun
perbuatan teluh masih ada yang memerlukannya. Teluh memiliki arti dan peranan
yang sangat penting dikalangan masyarakat tertentu berkaitan dengan masalah
kuat tidaknya keyakinan beragama dan juga perasaan kesusilaan masyarakat.
Khususnya bagi pihak korban teluh merupakan suatu mala petaka yang dapat
terjadi setiap saat dan tidak dapat diduga sebelumnya. Bahkan bagi penegak
hukum teluh merupakan suatu misteri karena ia tidak tampak, tidak terbukti dan
tidak dapat dideteksi baik sgbelum, pada saat dan. sesudah perbuatan teluh dilakukan.
Teluh bagi
khususnya penegak hukum merupakan suatu tantangan dan sekaligus penghinaan wdi
muka umum terhadap kepolisian oleh karena ia merajalela tanpa seorang petugas
kepolisian dapat menangkap, memBAP dan selanjutnya mengajukan ke sidang pengadilan.
Dampak negatif terhadap masyarakat adalah bahwa merajalelanya perbuatan teluh
telah menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi kewibawaan dari peran
penegak hukum sebagai sarana bagi ketertiban, kepastian, dan untuk
mencapai tujuan keadilan. Di lain pihak, teluh telah mengakibatkan timbulnya
anarki di kalangan anggota masyarakat yang telah dibuktikan dengan diajukannya
kasus-kasus pembunuhan terhadap tukang teluh ke pengadilan. Di lain pihak,
mereka yang menyuruh melakukan teluh tetap terlepas dari jangkauan yuridiksi
dan berkeliaran bebas di masyarakat.
Di abat ke-20
ini dikenal sebagai abad modern dimana kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi menguasai segala bidang kehidupan masyarakat. Sulit untuk dapat
diterima adanya perbuatan teluh dengan segala akibatnya sebagaimana telah
diuratlcan dimuka. Namun demikian, di lain pihak mempersoalkan masalah ini
sebagai suatu sikap ilmiah yang selalu ingin mengetahui tingkat kebenaran yang
dapat diukur dengan rasio. Bahkan saya berpendapat masalah ini merupakan suatu
tantangan dan bahkan kajian menarik, ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan yang
bersifat rasional terhadap suatu kasus.
Analisis Teori
Kontrol Sosial dan Anomi Terhadap Masalah Teluh
Analisis
kriminologi bertitik tolak dari kasus pembunuhan tukang teluh yang terjadi pada
tahun 2006 di Kabupaten Jember (no. Perkara: 884/Pid.B/2006/Pn.Jr.) dan tahun
2004 di . (No. Perkara:860/Pid.B/2004/Pn.Bwi.). Fakta yang terungkap dari dua
kasus tersebut di atas diketahui bahwa pelaku pembunuhan tukang teluh pada
umumnya lebih dari seorang, bahkan merupakan satu kelompok tertentu,
kadang-kadang warga satu desa. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga korban
teluh dan anggota kelompok lain yang merasakan adanya ancaman dan gangguan dari
praktaek teluh dimaksud. Sekalipun diantara para pelaku terdapat mereka yang
melakukan pembunuhan karena imbalan sejumlah uang akan tetapi sebagian besar
motivasi adalah karena kebencian terhadap praktek teluh yang dilakukan korban.
Bahkan dikalangan masyarakat dimana korban berasal terdapat kepuasan dan rasa
aman dengan dihilangkannya nyawa tukang teluh tersebut.
Dalam
pemeriksaan kepolisian dan pengadilan terungkap bahwa para tersangka dalam
pembunuhan tukang teluh secara terus terang dan tidak berbelit-belit telah
mengakui semua perbuatan membunuh tukang teluh tersebut. Bahkan keluguan para
tersangka dan tingkat pendidikan yang pada umumnya tidak tinggi menyebabkan
proses pemeriksaan terhadap mereka tidak mengalami kesulitan. Dari berita acara
proses pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik terungkap bahwa tersangka
mengetahui bahwa perbuatan mereka melanggar hukum namun mereka tetap
melakukanya dengan alasan untuk kepentingan ketentraman seluruh warga di
wilayah yang bersangkutan.
Tukang teluh rata-rata berusia
lanjut dan hubungan sosial dengan lingkungannya kurang baik. Hal ini disebabkan
oleh sikap dan tingkah laku mereka pada umumnya sombong dan kurang mau bergaul
dengan lingkungannya. Terkadang sering melakukan tindakan sewenang-wenang
dengan keandalan ilmu teluhnya. Kasus pembunuhan tukang teluh di . antara lain
ada yang bermotif balas dendam karena istri terdakwa direbut oleh tukang teluh.
Sementara itu menurut berita acara pemeriksaan para tersangka di muka penyidik
korban mengakui dihadapan para tersangka bahwa ia telah meneluh beberapa orang
dan pada saat ia diculik oleh para tersangka diakui masih ada sebagian orang
lagi yang akan diteluh. Dilain pihak dari
proses peradilan dan berita acara pemeriksaan tersangka oleh penyidik tidak
terdapat sedikitpun petunjuk mengenai identitas orang yang menyuruh tukang
teluh telah melakukan pekerjaannya. Berdasarkan perbuatan teluh pada
umumnya berasal dari desa yang bersangkutan atau pihak ketiga dari luar kota.
Berdasarkan informasi diketahui
bahwa pada umumnya perbuatan jahat tukang teluh disangkal oleh para kiayi yang
memiliki ilmu penangkal. Jika penangkal melalui white magic berhasil
dengan baik maka mereka cukup puas dan tidak melaporkan kepada polisi dan
persoalan dianggap selesai. Namun, jika terdapat korban teluh itu mati maka
pada umumnya mereka enggan untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum kecuali
hanya dengan satu cara yaitu membunuh tukang teluh tersebut. Mereka yang
melakukan pembunuhan terhadap tukang teluh dan kemudian menjadi kasus
pembunuhan serta diajukan ke pengadilan adalah termasuk keluarga korban dan
warga setempat yang merasakan kehidupan mereka tidak aman dan tidak tentram
serta terancam setiap saat oleh tukang teluh. Subyek III mengetahui bahwa
korban adalah pelaku pembunuhan atau yang membuat derita korban teluh namun
subyek II sulit membuktikannya. Bahkan subyaek III mengetahui bahwa polisi
tidak dapat menangkapnya karena hukum yang berlaku memerlukan adanya
bukti-bukti yang cukup. Keadaan ini terus berlangsung sehingga subyek III
mengalami suatu keadaan dimana menurut persepsinya penanganan yuridiksi
terhadap orang yang mereka anggap sebagai tukang teluh tidak menentu bahkan
tidak ada sama sekali.
Subyek III mengalami keadaan yang
disebut anomi dimana subyek III tidak lagi mengetahui norma mana yang harus
dipegang atau menjadi acuan. Dalam keadaan yang sedemikian subyek III akan
berpedoman kepada norma-norma yang dianut para leluhur yaitu bahwa ilmu-ilmu
setan harus dimusnakan. Hal ini berarti tukang teluh diperlakukan dengan
cara-cara khusus, dengan mempergunakan sepotong kayu waru kemudian dikuburkan.
Bahkan ada kepercayaan untuk memusnakan ilmu teluhnya kepala dan tubuh korban
harus terpisah. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi
para pelaku membunuh tukang teluh adalah satu-satunya cara yang paling tepat
untuk menghindarkan korban-korban teluh yang lebih banyak dan sekaligus
menghilangkan keresahan warga yang bersangkutan.
Berdasarkan
analisis tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa dalam kasus teluh telah
terjadi pergeseran peran diantara para subyek yang terlibat. Sebelum diajukan
ke pengadilan subyek II merupakan pelaku sedangkan diajukan kepengadilan
menjadi korban. Sebaliknya subyek III sebelum
diajukan ke pengadilan merupakan korban namun sesudah diajukan ke pengadilan
menjadi pelaku. Namun demikian identitas subyek I tetap tidak terungkap
sekalipun perkara sudah diperiksa di pengadilan. Berkaitan korban dengan
masalah teluh dapat dikatakan bahwa subyek korban kejahatan dan kekerasan
dilain pihak subyek III dapat dikatakan merupakan korban dari yuridiksi
sehingga keadaan subyek III merupakan akibat dari suatu disoperation.
Berdasarkan hasil analisis mikro sebagaimana
telah diuraikan dapat dikemukakan bahwa masalah teluh diakhiri dengan cara-cara
yang menyimpang dari prosedur yang telah ditetapkan. Faktor penyebab utama
keadaan dimaksud adalah sistim pembuktian menurut hukum acara pidana yang tidak
dapat menjangkau perbuatan tukang teluh. Bahkan tampak sistem pembuktian
menurut hukum acara pidana yang berlaku lebih terampil dalam menjaring
pelaku-pelaku pembunuhan terhadap tukang teluhnya. Dengan demikian jika secara
yuridis kasus teluh dipandang selesai dengan dijatuhkannya pidana terhadap
pelaku-pelaku pembunuhan tukang teluh maka dilihat secara sosiologis dan
kriminilogis kasus teluh di masyarakat tidak perna terselesaikan secara tuntas.
Hal terakhir disebabka.n pertama, subyek I tidak pernah benar-benar menjadi
salah satu pihak yang ikut berpekara. Alasan kedua, teluh berkaitan dengan
kepercayaan yang bersifat mistis dan juga merupakan media yang efektif untuk
menghilangkan nyawa orang tanpa meninggalkan jejak dan sulit dideteksi oleh
pihak yang berwajib. Teluh ternyata menarik banyak permintaan dan dibutuhkan
oleh kalangan masyarakat tertentu.
Alasan ketiga, kedudukan masalah
teluh dimasyarakat kita dan proses penyelesaiannya berkaitan erat dengan
tingkat kesusilaan masyarakat. Kiranya dalam segi yuridis apalagi pada tingkat
kepidanaan tampaknya penyelesaian masalah teluh masih jauh dari memadai. Bahkan
pada tingkat keperdataan penyelesaian masalah teluh antara para pihak tetap
sulit dapat diselesaikan. Apabila analisis makro ini benar maka dapat disimpulkan
bahwa masalah teluh -khususnya pada masyarakat Jawa Timur- memiliki kualitas
yuridis yang sangat rendah dalam arti masih diselesaikan secara mistis dan
tradisional serta lebih banyak tergantung pada tingkat perasaan kesusilaan
masyarakat. Kualitas yuridis masalah ini dapat ditingkatkan sampai tingkat
yusditisi jika para pihak yang terlibat berkehendak untuk dapat
menyelesaikannya melalui proses perdamaian antara subyek I dengan subyek III.
Teluh dalam Skets Delik
Pada umumnya teluh
berada pada tangan ahlinya yang biasanya dilakukan oleh apa yang disebut
sebagai dukun teluh. Ada yang menyebutkan dukun teluh tapi ada pula yang
menyaebutnya tukang santet. Kalau orang ingin menyantet seseorang maka ia harus
memakai jasa seorang dukun santet. Walaupun kebanyakan dukun tidak mau mengakui
bahwa ia seorang dukun santet tapi kenyetaannya di Jawa Timur seperti telah
diuraikan dalam bab terdahulu tidak sulit orang menjumpai tukang santet
harganya cocok. Dukun santet atau tukang santet dapat disebut sebagai pelaku
delik tapi ia tidak berdiri sendiri karena ia bekerja atas pesanan orang lain.
Jika delik penyertaan biasanya ia sebagai terbujuk dan kliennya sebagai
pembujuk.
Ilmu yang dimiliki oleh dukun santet
biasanya disebut ilmu sihir atau magic. Lazimnya magic dibagi atas sejumlah
bentuk-bentuk khusus seperti magic simpatetis misalnya seorang suami berlagak
di depan istri supaya istrinya muda tergoda, magic protektif gunanya untuk
menghindari malapetaka, magic destruktif atau bisa disebut magic hita.m yaitu
magic merugikan orang lain entah dengan santet entah dengan sihir misalnya
dengan menusuk-menusuk gambar atau boneka. Dukun duduk ditengah-tengah sajen
membentuk setengah lingkaran bersandingkan sajian makanan untuk roh-roh jahat
sambil membaca mantra memohon kehancuran korbannya. Sajen itu terdiri dari
sebongkah kemenyan yang utuh, sesekall beberapa benda berupa jerami setan
seperti cermln mungkin disertakan juga. Kalau orang mermaksud membunuh
korbannya dan tidak sekedar membuat sakit ia harus meremukkan kemenyan itu
menjadi butir kecil-kecil lalu dibungkus dengan kain mori putih diikat di suatu
tempat seolah-olah itu adalah mayat. Magic produktif atau magic putih
untuk memperoleh tanah subur atau panen besar dan magic prognatis untuk meramal
masa depan.
Ada tiga jenis sihir yang paling
ganas yakni tenung, jengges, dan santet. Gejala-gejala santet ialah muntah
darah, mulas yang nyeri sekali di perut, demam yang naik turun tanpa sebab yang
jelas. Dalam jengges, upacara seperti itu dilakukan dengan menggunakan beberapa
benda seperti paku, rambut, pecahan kaca, dan potongan-potongan besi serta
jarum. (mungkin akibatnya seperti fenomena manusia kawat dari Kalimantan). Dukun
mengucapkan mantera dan memusatkan perhatian pada maksud jahatnya dan dengan
demikian mampu membujuk makhluk-makhluk halus agar memasukkan benda-benda itu
ke perut si korban dan akan terdengar tetusan mendadak di sekelilingnya dan
kemudian jatuh sakit parah. Kadang-kadang sepotong kawat panjang digunakan
untuk dimasukkan kedalam lengan atau kaki si korban dengan demikian bisa
membuatnya lumpuh.
Istilah santet kadang-kadang juga
disebut tenung dengan cara memasukkan benda-benda asing ke perut korban tetapi
sesungguhnya ia merupakan satu jenis sihir dimana dukun harus mendekati si
korban sendiri dan merebanya dengan biji-biji sambil berkali-kali membaca
mantera dalam hatinya tanpa bersuara si korban kemudian terkena diare yang tak
bisa diobati. Di Jawa Timur, seperti telah diuraikan terlebih dahulu ada 4
(empat) jenis teluh yang ganas yaitu teluh wrejit, teluh ganggong, teluh
buncit, teluh ceceban. Teluh-teluh jenis ini kiranya masih.
Teluh wrejit, teluh ganggong, teluh
buncit dapat kita skets dalam delik-delik pembunuhan yakni mulai pembunuhan
biasa sampai ke delik pembunuhan berencana. Dikatakan sebagai delik pembunuhan
berencana karena perbuatan itu dilakukan dalam keadaau tenang-tenang yakni
pelaku bisa menimbang dulu dan memerlukan waktu. Delik seperti saya gambarkan
diatas mungkin dapat kita skets dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II
dan III yakni sebanyak jenis teluh yang sulit diinventerisasi Karena permintaan
teluh sangat tergantung pada klien. Di Jawa Timur teluh-teluh yang menonjol adalah
teluh yang berkenaan dengan delik pembunuhan atau penganiayaan. Tapi anehnya
banyak dukun teluh yang terkenal di masyarakat namun tiada seorangpun terjaring
sebagai terdakwa untuk diproses perkaranya di pengadilan. Ini bukan saja sulit
untuk menemukan pembuktiannya disamping teluh itu tidak nalar tapi orang yang
percaya kepada teluh mudah saja menetralisasikan ancaman dan bahaya teluh itu
dengan dukun yang ilmu magicnya lebih luhung dari dukun teluh semula. Orang
boleh saja berteori bahwa dengan alat bukti seperti tercantum dalam pasal 108
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana seorang dukun teluh dapat saja dijadikan
terdakwa kemudian dijatuhi hukuman. Namun, keyakinan hakim seperti yang
dituntut dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga sangat
memegang peranan karena alat bukti dan keyakinan merupakan dwitunggal dalam
menjatuhkan putusan. Keyakinan hakim bahwa teluh itu tidak nalar, tidak masuk
akal karena hanya sekedar kebohongan belaka maka delik yang menggunakan sarana
sarana teluh menjadi impian juga. Namun dukun teluh yang menjengkelkan ini
masih bisu diperangkap oleh hukum pidana kita melalui pasal 372 lihat juga
pasal 546 Kitab Undang-Undang Hukum.
Pasal ini tidak ada di Negri Belanda
tetapi merupakan pasal yang spesifik untuk indonesia sebagai negara jajahannya.
Kata-kata seperti "hij die zoogenaamde.... dan seterusnya pada ayat
satunya dan kata-kata h~f die onderwits geef in elmoes's of kunsten.....
" pada ayat duanya memperlihatkan kepribumiannya.
Apakah delik ini bermaksud
melindungi kemurnian Tuhan Yang Maha Esa dan menolak penduaan tuhan atau hal
ini hanya sekedar bertentangan dengan kesusilaan seperti yang diatur dalam
titel VI buku ke in Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kita harus hati-hati menempatkan
delik ini dalam rasio pembentukan hukum pidana yang akan datang, karena suatu
penempatan delik ini sebagian bertentangan dengan kesucian agama adalah
berlainan dengan delik yang bertentangan dengan kesusilaan atau kepatuhan
walaupun kepatuhan dan kesusilaan iti biasa mengalir dari kitab-kitab suci. Orang
yang beriman kuat dan percaya kepada ke-Esaan Tuhan tidak mungkin bisa membagi
kekuasaan Tuhan itu dengan roh halus atau roh jahat, dayang, dedemit,
gondoruwo, dan lain-lain semacam itu. Membagi kekuasaan Tuhan dengan roh halus
atau roh jahat adalah penajisan terhadap Kitab Suci tantang ke-Esaan Tuhan.
Tapi kita tidak boleh lupa karena tidak dapat kita ingkari dan itu menjadi
kenyataan bahwa magic putih dan magic hitam merupakan penumpang gelap dalam
batin seseorang dari sebagian anggota masyarakat.
Tiap usaha terang-terangan untuk
mengorganisir pendapat umum terhadap seorang tertuduh akan hampir pasti
gagalnya. Demikian pula di Jawa Timur orang tidak pernah mendapati seseorang
yang mempunyai reputasi luas sebagai dukun santet. Sekalipun beberapa dukun
dicurigai sebagai yang sangat bersedia melakukannya namun keberadaan mereka ini
tidak perna diasingkan. Dalam keadaan tertentu slhir blsa jadl perbuatan yang
mendekati sah walaupun secara moral masih bisa dipertanyakan sebagaimana kasus
induk semang dimana seseorang telah kecurian dua kali dalam sebulan oleh ulah
sang bapak, suatu pukulan yang benar-benar berat untuknya baik secara finansial
maupun psikologis. Apakah hal-hal yang berkenan dengan magic, guna-guna, sihir,
dan ngelmu ini perlu kita kriminalisasikan atau deskriminalisasikan. Untuk itu
kita harus mendengar terlebih dahulu pendapat dari para pemuka agama tapi
jangan lupa pendapat-pendapat aliran kepercayaan.
Sudah dapat kita perkirakan bahwa
dua golongan agama ini kiranya sulit dapat dibayangkan temu pikirannya karena
golongan islam atau golongan kristen yang sangat patuh pada Kitab-Kitab sucinya
sudah pasti menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut sebagai pci uuatan
kafir. Sedangkan aliran-aliran kepercayaan mungkin sebaliknya terutama mengenai
magic putih.
Analisa Penetapan Pasal 351, 338,
dan 340 KUH Pidana
Hukum dipandang
sebagai panglima dalam tata pemerintahan sehingga di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara harus ada penegakan hukum. Penegakan hukum dilakuakan terhadap tindak
pidana, diantaranya tindak pidana penganiayaan bahkan sampai pembunuhan. Tindak
pidana penganiayaan atau pembunuhan akhir-akhir ini banyak terjadi karena
timbul suatu perbedaan pendapat, iri, sakit hati, dendam, dan sebagainya yang
menimbulkan tindakan dari seseorang kepada orang lain di luar batas kewajaran.
Jenis tindak pidana yang sering terjadi adalah pemukulan, pengeroyokan,
pembunuhan, dan bahkan lebih ngeri lagi adalah sampai terjadi mutilasi.
Biasanya, tindak pidana pemukulan dilatar belakangi sakit hati sedangkan
pengeroyokan tindak pidana yang sudah direncanakan dan biasanya menggunakan
alat baik senjata tajam maupun menggunakan kayu, balok, atau alat lain yang bisa
melukai atau mencederai korbannya. Pelaksanaan pidana terhadap tindak pidana
penganiayaan tentu ada hambatan yang terjadi. Kasus seperti
yang diuraikan di atas, setidaknya masih bisa dijerat oleh pasal-pasal yang
terdapat dalam KUHP. Karena unsur-unsur yang dibutuhkan untuk suatu
penyelidikan perkaranya bisa terpenuhi. Berbeda dengan penganiayaan atau
pembunuhan dengan menggunakan media teluh. Korban merasakan penderitaan, baik
secara fisik maupun psikis bahkan sampai menemui ajalnya. Namun, orang yang dicurigai
melakukan perbuatan teluh tidak pernah sampai bisa dijerat dengan pasal-pasal
yang terdapat dalam KUHP, karena tidak cukup bukti. Untuk mengetahui lebih
mendalam tentang penerapan pidana terhadap tindak pidana penganiayaan,
pembunuhan dengan media teluh di Pengadilan Negeri . maka analisis persoalan
tersebut disajikan dalam penelitian ini.
Proses peradilan pidana adalah suatu
tahapan penyelesaian suatu perkara pidana secara menyeluruh mulai dari tahap
pemeriksaan pendahuluan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi),
yang melibatkan aparat lembaga peradilan mulai dari Penyelidik/Penyidik, 3aksa
Penuntut Umum, Hakim, dan Eksekutor sesuai dengan tugas dan wewenangnya
masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peradilan
adalah merupakan suatu instrumen bagi tatanan kehidupan sosial yang diposisikan
sebagai mekanisme yang bersifat terstruktur dan sistematik yang diharapkan
mampu memulihkan hak-hak atau kepentingan seseorang, kelompok masyarakat, badan
hukum akibat dari adanya perbuatan atau tindakan orang lain dan atau adanya
suatu keputusan/kebijakan pejabat publik, Untuk melakukan proses anatomi
terhadap suatu kasus atau perkara-apapun perkaranya-idealnya harus
dilakukan proses kajian terhadap kasus tersebut secara menyeluruh. Artinya,
setiap tahapan proses mulai dari tahap awal hingga tahap akhir harus dilakukan
kajian secara cermat, dan menggunakan pisau analisis teoritik yang dirujukkan
pada prinsip-prinsip yang bersifat normative dengan pendekatan secara formal
justice, social justice serta moral justice. Dengan demikian, basil
kajiannya akan lebih komprehensif dan akurat.
Perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain dengan sengaja sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP. Demikian juga
dirumuskan dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP dalam hal ini dirumuskan dengan
sengaja merusak kesehatan yang mengakibatkan matinya orang lain berarti
kualifikasi hukumnya sama. Perbuatan yang berakibat adanya suatu kematian orang
lain. Perbuatan ini tentunya ada unsur kesamaan atau minimal bersinggungan erat
dengan ketentuan pasal-pasal pidana lainnya yang berdekatan, misalnya
Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP), Penganiayaan yang menimbulkan
kematian (Pasal 351 ayat (3) KUHP) dan Pembunuhan biasa yaitu Pasal 338 KUHP.
ketiga pasal tersebut merupakan pasal-pasal pidana yang berdekatan dan samasama
mengatur tindak pidana yang menimbulkan kematian dengan kata lain, terdapat
unsur kesamaan, walaupun ada unsur lain yang membedakan. Kasus yang selama ini terjadi di ., yakni
perbuatan menyakiti, menganiaya, bahkan sampai pada meninggalnya korban dengan
menggunakan media teluh adalah merupakan kasus yang lazim diketahui
oleh masyarakat umum. Bahkan tidak tertutup kemungkinan-dan pasti- telah
diketahui oleh aparat penegak hukum. Namun, selama yang diketahui oleh
peneliti, pelaku kejahatan teluh tidak pernah dimejahijaukan.
Bebasnya pelaku teluh dari jerat
hukum, tidak terlepas lemahnya pembuktian. Karena tidak terpenuhinya unsur-unsur
yang harus ada untuk menuntut pelaku secara pidana. Lemahnya pembuktian
tersebut dan tidak sampainya pelaku ke meja hijau, menyebabkan timbulnya
kecurigaan pada masyarakat terhadap penegak hukum. Sehingga yang terjadi adalah
"pengadilan masyarakat" terhadap seseoramg yang dicurigai sebagai
tukang teluh. Perilaku masyarakat secara kolektif untuk "menghakimi"
seseorang yang dicurigai sebagai tukang teluh adalah tindakan anarkis yang
secara hukum tidak dapat dibenarkan. Namun, untuk memenuhi rasa aman, dan rasa
keadilan dalam masyarakat, peristiwa seperti itu sering terjadi. Sebab,
mengharapkan penegak hukum melakukan tindakan hukum terhadap pelaku teluh juga
hanya sebatas harapan. Alasan klasik yang selalu dikemukakan adalah tidak cukup
kuat-bukti untuk menyeret seseorang yang dicurigai sebagai pelaku teluh ke meja
hijau.
Sebenarnya, penyelesaian perkara
teluh, bisa saja dilakukan dengan pendekatan norma adat (social justice).
Namun, kalau cukup bukti, sedikitnya ada 2 pasal yang bisa digunakan untuk
menjerat pelaku. Yakni, pasal 340 dan 351 ayat 3 KUHP, masing-masing tentang
pembunuhan berencana dan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya orang
lain. Untuk pasal 340, ancaman pidananya bisa hukuman mati, penjara seumur
hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Sedangkan pasal 351 ayat 3 ancaman
hukumannya 7 tahun penjara. Selain itu, tidak menutup kemungkinan polisi akan
menjerat tersangka dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman
pidana 15 tahun penjara.
Melihat dampak
yang ditimbulkan dari perbuatan tukang teluh, sebenarnya perbuatan yang
dilakukan oleh tukang teluh adalah kejahatan berat. Konvensi Jenewa menegaskan
bahwa pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat dapat diletakkan pada
orang-orang yang: 1. memenuhi semua unsur tindak pidana, 2. memerintahkan
dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan, 3. gagal
mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya,
sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan
tersebut, 4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik
secara langsung maupun secara substansial, termasuk menyediakan sarana untuk
penyelesaian kejahatan tersebut, 5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan
atau menyepakati kejahatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 6. secara
langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan
tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 7. mencoba melakukan kejahatan itu
dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar
dirinya.
Uraian analisis
terhadap penerapan pasal 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku teluh di atas,
memberi wawasan kepada kita bahwa, sekalipun perbuatan yang dilakukan oleh
tukang teluh masuk pada kategori kejahatan berat, namun karena tidak cukupnya
bukti secara sah dan meyakinkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, maka pelaku teluh tidak bisa diajukan ke meja hijau dengan tuntutan
pasal-pasal tersebut di atas. Pelaku teluh masih bisa bebas berkeliaran tanpa
tersentuh "tangan hukum". Akhirnya pengadilan masyarakatlah yang
berbicara tentu saja dengan segala konsekwensi yang harus diterima oleh pelaku
pengadilan masyarakat tersebut.
Pandangan dan Sikap Masyarakat
Terhadap Pelaku Teluh
Untuk
mendeskripsikan tentang bagaiman pandangan dan sikap masyarakat . terhadap
fenomena pelaku teluh tersebut, dalam penelitian ini akan peneliti bedakan
menjadi dua kelompok masyarakat. Yakni, pertama masyarakat yang "melek
hukum", dalam hal ini aparat penegak hukum seperti, polisi, jaksa,
pengacara, dan hakim. Kedua adalah masyarakat awam yang akan dibedakan menjadi
dua yakni agamawan dan masyarakat biasa.
Pandangan dan
Sikap Penegak Hukum
Fenomena pelaku
teluh di kalangan masyarakat . adalah hal biasa. Tukang/palaku teluh di
kabupaten tersebut cukup banyak dan bervariasi ditinjau dari segi usia. Seperti
telah diuraikan di atas bahwa, teluh dengan segala macam atau jenisnya,
alat-alat sebagai media yang digunakan serta akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan yang dilakukan oleh tukang teluh sungguh luar biasa bahkan bisa
dikategorikan kejahatan berat Namun, karena perbuatan dilakukan dengan
menggunakan media gaib, sehingga tidak dapat dijerat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini karena teluh ddak bisa dibuktikan
secara logis dan ilmiah.
Kesimpulan
Mengenai
penerapan pasal 351, 338, dan 340 KUHP terhadap pelaku praktek teluh serta
tanggapan masyarakat . terhadap masalah tersebut, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Praktek teluh,
dengan segala motivasi dan akibat yang ditimbulkannya, meskipun melihat dampak
yang ditimbulkan bisa dikategorikan sebagai kejahatan berat. Namun, tidak
pernah bisa dituntut secara pidana dengan menggunakan pasal 351, 338, atau 340
KUHP. Karena dunia teluh adalah dunia magic (ilmu hitam) sehingga, tidak bisa
dibuktikan secara logis dan ilmiah.
2.
Sikap dan
tanggapan masyarakat terhadap pelaku teluh bisa diklasifikasikan ke dalam 2
kelompok besar yaitu:
·
Kelompok
penegak hukum, kelompok ini menganggap bahwa tukang teluh dengan segala
motivasi dan aktifitasnya tidak ada.
·
Kelompok
masyarakat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
o Agamawan (kiyai), berpendapat bahwa tukang teluh dengan
segala aktifitas dan motivasinya memang ada. Hal ini merujuk pada Alquran QS.
113.
o Masyarakat umum, menganggap tukang teluh itu memang ada
karena teluh hidup di antara mereka.
Daftar Pustaka
- Amiriddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar
Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafika Persada
- Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi. Jakarta: Eresco
- Departemen Agama RI dan Kerajaan Saudi Arabia. 1997.
Alquran dan Terjemahnya. Madinatul Munawwaroh: Mujamma’ AI-Malik Fahd
li-Tiba' Almush-haf As-Syariif.
- Depdiknas. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
- ---------------- 1998. Pedoman Umum Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
- Gosita, Arit. 1983. Masalah Korban Kejahatan.
Jakarta: Akademika Presindo. Harjowirojo, Marbangun. 1983. Manusia Jawa.
:Idayu.
- Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka.
- Moleong, Lexy Y. 2006. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
- Sianipar, T. Alwisol. 1989. Dukun, Mantra, dan
Kepercayaan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Karya Grafikatama.
- Tholip, M. 1986. Pergaulan Bebas Prostitusi dan
Wanita. Yogyakarta: Hidayat
No comments:
Post a Comment
Tiada batasan untuk kita belajar, lebih banyak membaca tentunya akan banyak pula pengetahuan yang kita dapatkan.